Mengapa pendidikan di negeri ini terasa berat, disibukkan beragam perumitan, hingga tidak juga menunjukkan kemajuan yang mengesankan? Padahal, anak bangsa sering berprestasi di level nasional dan internasional, alokasi dana pendidikan naik, serta aneka aturan pengelolaan pendidikan digulirkan. Ada yang ganjil dengan pendidikan kita.

Bagi almarhum Romo Mangunwijaya, pendidikan itu memang sederhana. Beliau terobsesi mengembangkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung bagi anak usia SD. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang baik bisa menjadi kendaraan bagi anak miskin untuk bertanggung jawab dan bermartabat.

Pendidikan yang baik menyentuh aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Dengan tumbuh berkembangnya keempat aspek hidup manusia itu diharapkan pada akhirnya peserta didik dapat mengurus dirinya sendiri dengan bermartabat dan bertanggung jawab.

Orientasi hidup tidak hanya berfokus pada diri sendiri atau kelompok eksklusifnya, tetapi lebih-lebih merujuk pada nilai-nilai hidup bersama sebangsa setanah air. Dalam konteks manusia Nusantara pendidikan menolong seseorang terampil hidup dalam keberagaman.

Ki Hajar Dewantara merumuskan dengan lugas hikmat pendidikan di Nusantara. Pendidikan mesti menumbuhkembangkan peserta didik sebagai pribadi unik, merdeka, dan bermartabat. Pendidikan adalah ikhtiar memerdekakan nasib manusia. Maka, Ki Hajar Dewantara menyerukan agar pendidikan dihindarkan dari upaya penyeragaman.

Pendidikan harus memperjuangkan keunikan dan martabat manusia. Ujungnya, pendidikan harus melahirkan pribadi-pribadi merdeka yang mampu menentukan nasib sendiri dengan cara yang bertanggung jawab dan bermartabat.

Penumpang gelap

Ada sejumlah negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan baik, seperti Selandia Baru, Australia, Denmark, Finlandia, Singapura, Kanada, Jerman, Inggris, dan Jepang. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018 negara-negara itu di bawah 10. Indonesia ada di urutan ke-89 dari 180 negara.

Apabila IPK baik adalah penanda kelugasan hidup berbangsa dan bernegara, apakah itu berarti pengelolaan pendidikan di negara dengan IPK baik juga diselenggarakan dengan lugas? Apakah IPK buruk merupakan penanda sebaliknya?

Apabila koruptor ibarat penumpang gelap, adakah penumpang gelap dalam dinamika pendidikan di negeri IPK buruk? Tindak koruptif tidak hanya dalam hal uang, tetapi juga dalam proses pembuatan hingga pelaksanaan peraturan.

Faktanya, hari-hari ini tidak mudah menemukan dinamika pembelajaran yang lugas, menyenangkan, dan mengasyikkan. Sejak dini anak-anak kita dibebani begitu banyak materi pelajaran. Beban pendidikan kian memberat oleh penumpang gelap yang mengusung muatan militansi primordial. Akibatnya, pendidikan tidak lagi memberdayakan dan memartabatkan. Tidak ada kelugasan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Ketidaklugasan penyelenggaraan pendidikan membuat sekolah/yayasan kesulitan melaksanakan beragam aturan pemerintah. Misalnya, ada kegamangan melaksanakan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang mengatur pembatasan jumlah siswa dan rombongan belajar. Adakah intensi lain di balik demi efektivitas mewujudkan prinsip keadilan dan pemenuhan hak memperoleh pendidikan bagi anak bangsa di Nusantara ini?

Kegamangan juga dirasakan ketika harus mengerjakan pengelolaan data pokok pendidikan agama misalnya, karena ada inkonsistensi pengelolaan pendidikan oleh oknum pemerintah.

Pendidikan tak lugas menghasilkan kesemuan: hanya membusukkan kehidupan berbangsa dan bernegara.