Perusahaan media sosial nan memperantarai persebaran hoaks seperti memperoleh impunitas. Mereka tak dituntut memikul tanggung jawab. Padahal, kian kontroversial hoaks, kian populer platform media sosial yang menyebarkannya. Popularitas ini kemudian berkorelasi dengan kenaikan nilai saham perusahaan pemilik platform berikut potensi pendapatan iklannya. Kian banyak pengguna media sosial, kian banyak pula data perilaku pengguna internet yang ditambang untuk kebutuhan pengembangan kecerdasan buatan dan machine learning.

Impunitas perusahaan media sosial itulah yang menonjol dalam kontroversi tentang gelombang hoaks yang meresahkan masyarakat setelah pengumuman hasil Pilpres 2019. Perbincangan publik hanya mempersoalkan siapa yang bikin hoaks, siapa sasarannya, bagaimana reaksi masyarakat, serta apa tindakan pemerintah dan polisi menanganinya. Bagaimana posisi perusahaan media sosial yang turut menyebarkan hoaks yang mengharu biru perasaan orang banyak itu? Luput dari pergunjingan publik.

Tampak jelas kesenjangan penangan- an hoaks di Indonesia dan di Eropa atau Australia. Dalam perspektif mereka, beban tanggung jawab atas penyebaran ho- aks melalui media sosial terutama bukan hanya pada si pembuat hoaks, melainkan juga pada perusahaan media sosial. Perusahaan inilah yang menciptakan dan mengembangkan platform media sosial. Platform media sosial inilah yang memperantarai persebaran hoaks dan meme- tik untung dari besarnya perhatian publik atas hoaks itu. Maka, fokus penanganan hoaks tak hanya pada si pembuat hoaks, tetapi terutama sekali pada perusahaan pemilik platform media sosial.

Kenapa luput?

Mengapa tanggung jawab perusahaan media sosial luput dari perhatian di In- donesia? Karena kita umumnya tidak memperhitungkan media sosial sebagai entitas bisnis yang berorientasi ekono- mi. Kata sosial dalam "media sosial" sedemikian rupa menghegemoni kesadaran publik. Kita terlambat menyadari yang sedang kita hadapi tak hanya entitas sosial yang cuma-cuma memfasilitasi masyarakat berinteraksi sosial dengan cara baru, melainkan juga entitas bisnis yang motif utamanya instrumentalisasi dan komodifikasi. Para pengguna media sosial sesungguhnya adalah "instrumen" bagi perusahaan platform untuk menambang data perilaku sebanyak-banyaknya sekaligus sasaran iklan digital tertarget yang dalam praktiknya sedemikian jauh menerabas privasi para pengguna media sosial.

Dalam konteks inilah tuntutan agar perusahaan media sosial lebih bertanggung jawab secara hukum menguat belakangan. Bagaimana dan sejauh mana tanggung jawab itu mesti dirumuskan? Pertama, seperti diusulkan The Cairncross Review (2019), perusahaan media sosial bertanggung jawab mendidik penggunanya mengidentifikasi asal, kualitas, dan tingkat kepercayaan informasi media sosial. Masyarakat perlu diajari bagaimana menyeleksi, menilai, dan mempertimbangkan konten tersebar melalui platform media sosial. Dalam kaitan ini, menjalankan literasi media tak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab perusahaan media sosial.

Mereka yang dapat untung terbesar dari ketergantungan masyarakat terhadap media sosial semestinya berperan lebih nyata menghindarkan masyarakat dari dampak buruk media sosial. Pertimbangan lain, perusahaan media sosial yang paling memahami bagaimana platform media sosial bekerja dan berinteraksi dengan penggunanya. Mereka pula yang tahu kebutuhan membangun daya tahan pengguna menghadapi terpaan hoaks dan disinformasi.

Kedua, beberapa pihak mengusulkan perusahaan media sosial diwajibkan memoderasi konten yang terdistribusi melalui platform yang mereka kelola. Mereka harus menyunting konten yang merugikan publik atau melanggar undang-undang. Namun, langkah preventif ini menurut The Cairncross Review kurang mempertimbangkan perbedaan posisi perusahaan media sosial sebagai distributor konten dan pengguna media sosial sebagai pembuat konten.

Secara teknis sulit membayangkan platform media sosial harus memeriksa jutaan konten buatan pengguna setiap hari. Memberikan kendali kuat kepada perusahaan media sosial untuk mengontrol konten juga dianggap pilihan berisiko. Perusahaan media sosial dapat secara ketat menyensor konten yang menyebar melalui platform mereka untuk menghindari sanksi, seperti terjadi dalam penerapan The Network Enforcement Act (NetzDG) di Jerman.

Ketiga, jika langkah preventif itu sulit dilakukan, perusahaan media sosial bertanggung jawab sesegera mungkin menghapus konten yang merugikan masyarakat atau melanggar hukum. Hal inilah yang diatur di Jerman dengan NetzDG dan di Australia dengan The Sharing of Abhorrent Violent Material Bill 2019. Dalam kedua undang-undang ini, perusahaan media sosial wajib membangun sistem deteksi persebaran hoaks pada platform masing-masing secara proaktif atau atas dasar pengaduan masyarakat. Begitu konten tersebut terdeteksi, perusahaan platform harus segera meresponsnya yang mengarah pada tindakan penghapusan konten. Kelalaian dalam mengambil langkah kuratif ini melahirkan sanksi denda yang berat.

Batas waktu

NetzDG memberi batas waktu 24 jam atau tujuh hari—untuk kasus yang kompleks—kepada perusahaan media sosial yang beroperasi di Jerman dan memiliki pengguna lebih dari 2 juta orang guna menyelidiki dan menghapus konten ilegal pada platform mereka setelah menerima pengaduan. Jika ketentuan ini tak dipenuhi, Pemerintah Jerman menerapkan denda sekitar Rp 805 miliar kepada perusahaan media sosial.

Muncul kekhawatiran akan dampak yang merugikan dari skema tanggung jawab seperti ini. Perusahaan media sosial dikhawatirkan akan secara ketat menyensor konten buatan pengguna. Seperti telah disinggung, hal ini untuk menghindari hukuman denda yang diterapkan undang-undang. Soal lain, sering kali tak cukup jelas definisi hoaks, konten berbahaya, atau konten merugikan yang mendasari penghapusan konten. Jangan-jangan mengkritik pemerintah juga dianggap hoaks?

Muncul potensi pelanggaran prinsip kebebasan berpendapat atau berekspresi di sini. Apalagi belum diatur secara memadai mekanisme banding atas keputusan penghapusan konten oleh perusahaan media sosial dengan alasan-alasan di atas. Jangan-jangan terdorong oleh ketakutan terhadap sanksi denda, perusahaan media sosial melakukan sensor secara serampangan?

Kejelasan definisi dan parameter tentang konten media sosial yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik serta tersedianya mekanisme banding atas keputusan penghapusan konten oleh perusahaan media sosial atau pemerintah perlu ditegaskan jika Indonesia ingin mengadopsi NetzDG Jerman. Hal yang tak kalah penting adalah menghindari sentralisasi pengelolaan konten kepada pemerintah atau perusahaan media sosial.

Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan pembentukan lembaga perwakilan publik sebagai regulator pengelo- laan konten media sosial. Pengaturan media sosial sebagai ruang publik baru tak diserahkan kepada industri atau pemerintah, tetapi kepada lembaga perwakilan publik yang mampu menjaga jarak dari tendensi pengendalian dan penguasaan yang sangat berpotensi datang dari arah industri ataupun pemerintah.

Lembaga perwakilan publik itu berfungsi: (1) mengawasi kinerja platform media sosial dalam mengendalikan konten media sosial; (2) merumuskan definisi dan parameter konten media sosial yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik dengan berpegang pada prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi; (3) menyusun standar pengawasan dan pengendalian konten media sosial; (4) memastikan penghapusan konten media sosial dilaksanakan secara hati-hati, berdasarkan parameter yang jelas dan  mekanisme yang transparan; (5) menjembatani kepentingan perusahaan media sosial, pemerintah, dan masyarakat; (6) merumuskan mekanisme banding atas penghapusan konten media sosial; (7) memutuskan sanksi untuk perusahaan media sosial atas penyebaran konten yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik.