Terlalu lama terpajang sebagai hiasan seremonial, tanpa ketekunan perawatan, membuat Pancasila mengalami pelapukan. Untuk menghentikan proses degenerasi, cara melestarikan Pancasila harus keluar dari tendensi formalisme verbalistik menuju efektivitas operatif.

Apabila Pancasila dikehendaki ketahanan kemanjurannya, ia harus dibumikan secara efektif dalam tiga ranah peradaban: ranah tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera; bersamaan dengan penguatan Pancasila pada tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Tata nilai

Untuk dapat berkembang hebat, peradaban suatu bangsa harus tumbuh di atas landasan nilai. Meminjam ungkapan John Gardner, "Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak mengandung dimensi nilai moral guna menopang peradaban besar."

Nilai itu cahaya petunjuk yang menerangi jalan menuju tujuan. Tanpa tuntunan nilai, sehebat apa pun pembangunan fisik, kecerdasan, dan keterampilan yang kita kerahkan tidaklah memberikan nilai tambah yang signifikan karena bisa tersesat di banyak tikungan. Sebagai nilai inti moral publik, Pancasila bukanlah bahan hafalan, melainkan nilai hidup yang harus dialami dan dijalani penuh integritas dengan menjaga konsistensi antara pikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan; antara keyakinan, pengetahuan, kebijakan, dan tindakan.

Tata nilai Pancasila diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga. Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan "Yang Mahasuci", yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang, dan toleran; welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab; welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa.

Dengan spirit ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif, serta sanggup menjalin persatuan (gotong royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).

Pemangku utama yang mengemban urusan tata nilai ini adalah komunitas. Nilai Pancasila yang semula digali dari nilai-nilai hidup yang tumbuh di berbagai komunitas Tanah Air sudah sepantasnya dikembalikan ke komunitas sebagai perawat utamanya. Ada tujuh komunitas inti pembudayaan nilai Pancasila: komunitas sekolah, komunitas agama, komunitas permukiman, komunitas kerja, komunitas media, komunitas orpol dan ormas, serta komunitas adat.

Setiap komunitas tersebut memiliki titik tekan dan pendekatannya tersendiri dalam membudayakan nilai Pancasila, tetapi secara keseluruhan membentuk rantai nilai Pancasila secara holistik dan integral.

Dengan dikembalikan ke komunitas, lembaga-lembaga negara (non-persekolahan), ketimbang sibuk mengurusi sosialisasi Pancasila kepada masyarakat sebagai pemborosan sumber daya yang tidak efektif, lebih baik mengurusi pembudayaan nilai di lingkungan komunitas kerjanya sendiri (penyelenggara negara). Hal itu sesuai dengan tuntunan pokok pikiran keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. "Negara berdasarkan atas ketuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Oleh karena itu, undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur."

Alhasil, sebelum mem-Pancasila-kan masyarakat, penyelenggara negara harus terlebih dahulu mem-Pancasila-kan dirinya sendiri. Perlu diingat, pejabat dan aparatur negara tidak selalu punya kredibilitas dan kewibawaan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Terlebih dalam kondisi kemarau moral di lingkungan penyelenggara negara, yang diperlukan malah pembalikan peran. Justru tokoh-tokoh panutan masyarakatlah yang pantas menanamkan nilai Pancasila kepada penyelenggara negara.

Sementara itu, lembaga-lembaga negara dengan tugas pembinaan nilai kebangsaan, dalam menjalankan tugasnya harus bekerja sama dengan komunitas-komunitas tadi sesuai dengan kelompok sasaran. Tugas paling penting yang bisa dikerjakan lembaga-lembaga negara tersebut adalah membuat kerangka regulasi, pedoman dasar, fasilitasi, pengukuran dan monitoring, agar pembudayaan nilai yang dilakukan berbagai komunitas tadi memiliki irisan persamaan, koherensi dan jaminan mutu, sehingga secara serempak bisa memenuhi sasaran dan tujuan yang dikehendaki.

Tata kelola

Setelah basis nilai diperkuat, peradaban suatu bangsa hanya bisa dimajukan dengan ketepatan tata kelola. Daren Acemoglu dan James A Robinson dalam bukunya, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2012), menengarai bahwa sebab pokok kegagalan suatu negara-bangsa bukan karena kurang adidaya atau sumber daya, melainkan karena salah urus alias salah desain kelembagaan dan tata kelola pemerintahan.

Tata kelola sosial-politik Pancasila diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.

Pemangku utama dalam urusan tata kelola pemerintahan ini adalah lembaga-lembaga kenegaraan. Adapun prioritas lembaga tersebut sebagai rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang.

Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, tetapi harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola mental-kultural (tata nilai), tata kelola sumber daya material (tata sejahtera), serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan.

Dalam kaitan dengan tata kelola demokrasi dan pemerintahan, berbagai elemen krusial harus mendapat perhatian yang serius. Beberapa di antaranya menyangkut penataan sistem hukum dan pemulihan kewibawaan otoritas hukum (nomokrasi) yang dapat menopang kesehatan demokrasi, persoalan institusi pemilihan yang padat modal, penataan ulang otonomi daerah, urgensi kehadiran pedoman direktif (haluan pembangunan) yang lebih solid, persoalan tumpang tindih kewenangan institusi-institusi negara, terlalu luasnya cakupan kelembagaan negara karena kehadiran beragam komisi negara, serta pentingnya perampingan birokrasi negara untuk menghindari jebakan negara pegawai, urgensi pembenahan sistem perwakilan yang lebih inklusif dan representatif dengan kesanggupan mengakomodasi segala kekuatan sosial-politik, serta pentingnya memperbaiki rezim negara kesejahteraan yang bersemangat gotong royong.

Tata sejahtera

Pada akhirnya, peradaban maju ditentukan oleh kesanggupannya mengolah sumber daya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam kaitan itu, setiap ideologi harus memiliki kerangka konseptual dan kerangka operatif tentang perwujudan masyarakat sejahtera yang diimpikan.

Pengembangan tata sejahtera diarahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya berlandaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat kooperatif), disertai penguasaan negara atas "karunia kekayaan bersama" (commonwealth) serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak; seraya memberikan nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.

Pemangku utama dalam urusan tata sejahtera ini adalah dunia usaha dan rezim perekonomian, dengan prioritas utamanya mengembangkan perekonomian berbasis semangat tolong-menolong (kooperatif). Dengan semangat itu, politik anggaran harus lebih berorientasi pada kesejahteraan umum. Kemampuan negara untuk menguasai dan mengelola kekayaan bersama (commonwealth)
serta cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan.

Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan teknologi, dengan memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakteristik (kondisi) keindonesiaan. Untuk itu, pengembangan teknologi harus beringsut dari lembaga riset negara menuju ranah industri- perusahaan; terintegrasi ke dalam sektor produktif.

Pembudayaan dimensi ideologi

Selain persoalan ruang lingkup pembumian di tiga ranah peradaban, kemanjuran pembudayaan Pancasila juga memerlukan proses aktualisasi tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Tantangan pertama dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana meyakinkan segenap warga negara bahwa nilai-nilai ideologi Pancasila itu cocok, relevan, dan ampuh sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Dalam urusan keyakinan ini, seperti dalam keyakinan keagamaan, bahwa kendati tidak ada seorang pun di antara pemeluk agama (yang masih hidup), yang sudah memasuki surga ataupun neraka, tetapi mereka yakin bahwa surga dan neraka itu ada.

Meyakinkan pemeluk agama  akan adanya surga dan neraka itu tidak mengandalkan penjelasan-penjelasan rasional, tetapi oleh pendekatan-pendekatan emotif (penghayatan) dengan mengandalkan daya pukau dan daya imajinasi dari kekuatan "mitos" (dalam arti positif). Pemupukan keyakinan dengan kekuatan mitos itu menggabungkan antara kekuatan narasi (kisah), daya-daya estetik, permainan, ritual, dan simbol.

Pengaruh kisah (sejarah, sastra, dan film) terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Dalam konteks pembentukan nasionalisme Indonesia sendiri, Bung Karno pernah menunjukkan secara canggih bagaimana mengembangkan berbagai mitos integrasi nasional dengan menautkan keindonesiaan dengan epos kebesaran Majapahit dan Sriwijaya. Dia juga acap kali mencuplik kisah-kisah pewayangan sebagai sumber teladan dalam menumbuhkan keyakinan kepada rakyatnya akan kemampuan bangsa Indonesia melalui berbagai tantangan.

Dimensi estetik dan simbolik dalam menumbuhkan keyakinan terhadap Pancasila itu kian penting dalam menjawab pertumbuhan generasi milenial. Suatu generasi yang lebih terbiasa menafsir dan merespons realitas melalui sarana-sarana simbolik dan ikonik. Dan, Indonesia dengan kekayaan kulturalnya yang luar biasa bisa menjadi tambang emas untuk mengembangkan berbagai mitos berbasis ekspresi simbolik, estetik, dan permainan dalam menumbuhkan dimensi keyakinan terhadap nilai-nilai Pancasila.

Tantangan kedua dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana menjelaskan nilai-nilai Pancasila melalui pendekatan keilmuan secara multidisiplin, antardisiplin, dan transdisiplin. Tujuannya agar setiap warga negara memahami keluasan dan kedalaman wawasan Pancasila serta konsekuensi-konsekuensi turunannya ke dalam berbagai bentuk pranata dan lembaga sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila juga harus mewarnai segala aspek pendidikan kewargaan. Berbagai teori bisa digunakan untuk menjelaskan perspektif Pancasila mengenai hubungan manusia dengan kosmos, agama dan negara, hak-hak asasi manusia, konsepsi kebangsaan, demokrasi, sistem hukum nasional, keadilan sosial-ekonomi, dan seterusnya.

Dalam usaha ini, selain kita harus menggali khazanah pengetahuan-kearifan bangsa sendiri, perlu juga dilakukan berbagai studi komparatif dengan pengalaman sejenis di negara-negara lain karena bagaimanapun nilai-nilai Pancasila memiliki dimensi-dimensi yang bersifat universal.

Tantangan ketiga dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana mendorong warga negara (khususnya peserta didik) untuk dapat mengembangkan laku hidup berdasarkan nilai dan konsepsi Pancasila. Pancasila tidak berhenti sekadar butir-butir hafalan, tetapi menjelma menjadi karakter yang mendarah daging dalam perilaku warga dalam kehidupan publik. Selama ini banyak guru mengajarkan pendidikan moral Pancasila seperti dokter yang memberikan resep kepada orang sakit.

Namun, petunjuk resep itu tak diamalkan oleh sang pasien dengan meminum obatnya; bahkan berusaha membeli obatnya pun tak sudi. Pendidikan karakter adalah ilmu amal (terapan) yang tidak diberikan kecuali untuk diamalkan. Guru mendidik (membudayakan) karakter dengan praktik keteladanan, murid mempelajari ilmu itu dengan mempraktikkan langsung laku terpuji. Pembelajaran Pancasila bisa dilakukan dengan membentuk kelompok- kelompok terbatas yang terdiri atas ragam identitas, lalu mendorong mereka untuk mengembangkan berbagai kegiatan dalam rangka pengamalan langsung sila-sila Pancasila.

Menguatkan titik temu

Last but not least, usaha membudayakan Pancasila itu memerlukan terang kesadaran tentang dasar ontologis Pancasila. Pada 1 Juni 1945, dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan "bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham". Lantas, ia katakan, "Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus."

Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari "persetujuan" dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk.

Maka dari itu, setiap kali bangsa Indonesia kembali ke 1 Juni, setiap kali itu pula kita diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan.

Dalam kerangka mengupayakan titik-titik persetujuan itu, kita harus mengupayakan demokrasi yang tidak berhenti sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan dengan obsesi kemenangan sebatas memecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Kita harus mengembangkan demokrasi yang bisa memenangkan dan membahagiakan seluruh bangsa Indonesia, dengan meletakkannya dalam kerangka perwujudan cita-cita nasional: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.