Di atas kertas, cost recovery yang tinggi akan berakibat pada berkurangnya pendapatan negara seiring dengan berkurangnya bagian negara. Sebaliknya, semakin kecil cost recovery ,semakin besar bagian negara. Namun, hukum sebab-akibat itu ternyata tidak serta-merta berlaku, menekan cost recovery di tengah situasi ketidakpastian harga minyak dunia justru membuat investor semakin tidak tertarik berinvestasi dan produksi minyak tetap menurun.
Dalam situasi sekarang, pemerintah harus berhati-hati mengambil jalan tengah kepentingan negara sebagai penguasa migas berhadapan dengan kepentingan investor. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan sifat bisnis minyak yang unik karena mahal, rumit, dan berjangka waktu lama. Semangatnya bukan semata-mata memperkecil atau bahkan menghilangkan cost recovery,melainkan harus lebih fokus pada pengendalian, efisiensi, dan pengawasan.
Operasi perminyakan Indonesia saat ini lebih banyak memilih model hubungan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). PSC adalah model kerja sama buah pemikiran bangsa Indonesia. Dulu, PSC secara tegas dipilih sebagai pilihan model hubungan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dan selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994.
PSC diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 UU No 22/2001 tentang Migas. Pasal ini mengatur bisnis hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak bagi hasil atau kontrak lain yang paling menguntungkan negara. Saat ini PSC masih dinilai sebagai model yang paling menguntungkan karena negara terbebas dari risiko rugi di tahap eksplorasi dan eksploitasi. Modal yang ditanggung oleh kontraktor dihitung sebagai biaya operasi yang hanya dikembalikan jika kegiatan usaha hulu menghasilkan produksi komersial.
Migas adalah kekayaan alam yang langsung "dikuasai" oleh negara. Hak menguasai negara ini selanjutnya diimplementasikan melalui mekanisme "kuasa pertambangan", di mana pemerintahlah yang bertindak sebagai wakil negara. Dengan demikian, kontrak bagi hasil sejatinya adalah pertemuan antara negara yang diwakili pemerintah berhadapan dengan perusahaan (kontraktor kontrak kerja sama/K3S). Perusahaan hanyalah kontraktor negara yang bekerja untuk negara.
Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi perminyakan dalam suatu wilayah kerja. Biaya operasi yang digantikan termasuk biaya-biaya dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan produksi. Biaya operasi minyak inilah yang menjadi salah satu komponen yang akan menentukan besaran bagi hasil yang menjadi bagian negara dan kontraktor. Artinya, "pendapatan kotor" kontraktor minyak berasal dari bagian bagi hasil yang diterima setiap pihak, ditambah biaya operasi sehingga cost recovery merupakan konsekuensi logis sebagai kompensasi yang adil bagi kontraktor karena telah mengambil risiko rugi di depan.
Kendalikan dan awasi
Cost recovery selama ini cenderung membengkak, contohnya cost recovery kepada K3S tahun 2015 yang justru melebihi penerimaan negara, mencapai 13,9 miliar dollar AS atau lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas tahun sebelumnya yang 12,86 miliar dollar AS.
Selain itu, temuan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan sumber kecurangancost recovery terutama menyangkutinvestment cost recovery dan interest cost recovery yang tak sesuai dengan persetujuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing. Kontraktor berkecenderungan ingin mengklaim semua pengeluaran sebagai cost recovery, padahal tak semuaitem biaya bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh diganti. Selain itu, BPK menemukan adanya penggelembungan (mark-up) klaim cost recovery yang ditagihkan ke negara.
Penggelembungan cost recovery tahunan ini menjadi modus sejak lama dan belakangan justru mengalami kenaikan sejak 2014. Sebelum periode tersebut, penggelembungan klaim cost recoveryberada di bawah Rp 1 triliun, sebagaimana dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW mengungkap indikasi penyimpangan penerimaan minyak dalam negeri pada 2000-2007 mencapai Rp 40 triliun daricost recovery (Kompas, 19/6/2008).
Pada tahun fiskal 2011 angka penggelembungan klaim mencapai Rp 0,28 triliun, kemudian pada 2012 dan 2013 melonjak menjadi Rp 0,86 triliun dan Rp 0,99 triliun. Bahkan, pada 2014 menembus Rp 5,14 triliun dan pada tahun fiskal 2015 tercatat Rp 3,89 triliun (Kompas, 12/5/2016).
Kontrak bagi hasil model cost recoveryhanya perlu diawasi agar tidak bocor. Mengingat dalam sistem ini K3S hanyalah kontraktor, maka jika terdapat kebocoran, yang harus diawasi semestinya bukan hanya K3S, melainkan juga pengawasnya, yakni SKK Migas dan Kementerian ESDM sebagai pemegang otoritas serta DPR terkait fungsi dalam penganggaran, juga kemungkinan adanya intervensi.
Mengapa demikian? Pemerintah melalui Peraturan Presiden No 9/2013 membentuk SKK Migas yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak. Cost recovery hanya dapat dikembalikan kepada K3S setelah dapat persetujuan SKK Migas yang memiliki otoritas untuk menilainya, sedangkan SKK Migas adalah satuan khusus di bawah Kementerian ESDM. Sementara DPR bertanggung jawab berkaitan dengan fungsi penganggaran(budgeting) dan pengawasan yang disandangnya. DPR harus ketat mengawasi cost recovery agar tak mengganggu anggaran. Untuk itu perlu kejelian, ketelitian, dan kejujuran dari pemegang otoritas dalam bisnis hulu migas.
Alternatif "gross split"
Untuk mengatasi permasalahan seputarcost recovery, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dalam sistem ini pembagian produksi gross(kotor) dilakukan tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini, risiko produksi ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor sehingga pemerintah tidak perlu repot-repot dan tidak perlu membayar cost recovery. Pilihan itu dianggap oleh pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang, efisien, serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi, dan "lobi-lobi".
Namun, selain aspek praktis di atas, perlu dipertimbangkan bahwa sistem ini akan berakibat pada kontrol negara terhadap produksi minyak dan kontrol negara atas pengelolaan reservoir jadi berkurang. Efisiensi yang diusung pemerintah akan berakibat rencana meningkatkan kegiatan eksplorasi tiga kali lipat dalam waktu lima tahun ke depan terabaikan karena kontraktor lebih fokus memperbesar produksi untuk penerimaan daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi.
Selain itu, EOR (enhance recovery) dan lapangan marginal akan sulit dikembangkan karena membutuhkan biaya besar, sedangkan tingkat keuntungan dari investasi (internal rate of return/IRR)-nya kecil sehingga bertolak belakang dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menginginkan peningkatan produksi. Ditambah pengembangan SDM lokal akan terhambat, transfer teknologi dan tingkat pemakaian komponen dalam negeri (TKDN) akan sulit diimplementasikan (Andang Bachtiar, 2016).
Potensi terjadinya kebocoran juga cukup tinggi, mengingat besaran bagi hasil antara bagian negara dan bagian kontraktor tidak sama pada setiap wilayah kerja. Besaran bagi hasil ini bergantung pada negosiasi yang mempertimbangkan komponen variabel berupa besarnya cadangan migas, lokasi, kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya, serta jenis lapangan migas apakah konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri dari produksi dan harga minyak bumi. Besaran bagi hasil yang tertulis dalam Permen No 8/2017—untuk minyak bagian negara 53 persen, kontraktor 47 persen, untuk gas bagian negara 58 persen, kontraktor 42 persen—hanyalah patokan. Dalam proses negosiasilah kemungkinan intervensi dan penyalahgunaan kewenangan akan terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan tahun sesuai dengan jangka waktu kontrak. Selain itu, sistem ini tentu tak stabil karena mengikuti fluktuasi harga dan besaran produksi.
K3S adalah badan usaha yang pada umumnya berpikir praktis ekonomis untuk mengejar keuntungan. Badan usaha rela menanggung semua risiko produksi serta tak mendapatkan cost recovery, tentu dengan syarat bebas dari pengekangan berupa rumitnya persyaratan yang menghambat produksi. Maka, mengubah sistem di tengah UU Migas Tahun 2001 sebagai aturan utama yang masih labil dan situasi ketidakpastian harga minyak dunia adalah ide pragmatis yang emosional. Kebocoran cost recovery bukanlah soal lemahnya sistem, melainkan lebih disebabkan lemahnya pengawasan dan integritas oknum pelaksananya.
Kedaulatan energi
Mengingat begitu eratnya hubungan antara besaran cost recovery dan APBN, maka menjaga komitmen moral para petugas pengendali dan pengawas menjadi sangat menentukan. Temuan dan hasil audit BPK ataupun BPKP mengindikasikan penyimpangan, penyalahgunaan, dan lemahnya pengawasan. Maka, perbaikan semestinya lebih fokus pada pengendalian, pengawasan, dan mendorong efisiensi. Namun, efisiensi harus tetap berlandaskan tujuan dan kepentingan negara yang sudah diagendakan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Problem cost recovery adalah urusan praktis yang bisa diatasi dengan jalan praktis pula. Jika angka-angka yang ditagihkan adalah semestinya sesuai aturan, maka cost recovery akan berlaku wajar. Adapun sistem gross split bisa saja ditawarkan sebagai alternatif, tetapi tidak untuk dipaksakan karena tak ada jaminangross split lebih menguntungkan ketimbang cost recovery. Kebijakan ini tak akan bisa dirasakan dalam waktu dekat karena bisnis migas bukan kegiatan instan. Revisi harus dilakukan secara berhati-hati dan terutama untuk memelihara iklim investasi bisnis hulu minyak yang adil bagi semua pihak. Selain pemerintah memperoleh hasil yang maksimal, di saat yang sama industri migas harus tetap berlangsung baik dan memperoleh hasil dari jerih payah yang menjadi haknya.
JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, ADVOKAT DAN PENGAMAT HUKUM MIGAS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul ""Gross Split" sebagai Alternatif".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar