Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 30 November 2012

Karut-marut Demokrasi

Oleh Mochtar Naim

Almarhum Harry J Benda, profesor ilmu politik di Yale University, ketika saya menjadi mahasiswa-peserta dalam kuliahnya tentang "Sejarah Perpolitikan di Indonesia" di universitas tersebut pada pengujung 1950-an, secara datar mengatakan bahwa di Indonesia pada dasarnya tidak ada dan tidak dikenal yang namanya demokrasi seperti yang dikenal di dunia Barat.

Di Indonesia, sejak semula sampai era kolonial dan era pra-kemerdekaan, malah tak ada dan tak dikenal yang namanya hak asasi manusia dengan segala ranting dan ranggas parafernalianya dalam sistem dan struktur pemerintahan, kemasyarakatan, dan kebudayaan mereka. Yang ada ialah fe- odalisme yang bersifat absolut, etatik, sen- tripetal, nepotik, bahkan despotik: kekaya- an negara yang kaya raya ini hanya diku- asai dan dinikmati kelompok kecil triumvirat, yaitu kerja sama himpunan penguasa politik sipil dan militer yang pribumi, yang berkolaborasi dengan penguasa ekonomi, industri, dan perdagangan yang konglomerat nonpri dan kapitalis imperialis multinasional.

Di Jawa, yang sejak dulu telah juga jadi pusat jala dari jaringan politik dan budaya yang menguasai Nusantara ini, yang namanya ratu atau raja itu, sifat-sifat feodal- isme dengan segala embel-embelnya itu bahkan dicantumkan dalam julukan gelar kebesaran dari rajanya yang tidak hanya mencerminkan kekuasaan yang absolut dalam urusan mundane-keduniaan "hamengku buwono", tetapi juga sakral-keagamaan "sayyidin panoto gomo", yang karenanya juga menguasai seluruh kekayaan bumi dan alam serta sekalian rakyatnya yang statusnya adalah sebagai "abdi" atau hamba sahaya raja.

Hubungan antara abdi dan raja adalah hubungan hierarkis-vertikal dan top-down, sementara kepuasan tertinggi dari seorang abdi adalah kalau dia dapat mencium kaki ratu, kiasan ataupun nyata bagi sebuah pengabdian.

Pola M dan J

Di luar Jawa yang budayanya berpola M (Melayu)—sementara Jawa berpola J (Jawa)—relatif mengenal demokrasi tetapi ti- dak secara individual egosentrik seperti di Barat, tetapi komunal-kolektif-sentrifugal. Karena itu, hak asasi manusia tidak juga dikenal secara individual egosentrik, tetapi komunal-kolektif sentrifugal. Arti harfiah "rakyat" itu sendiri tidak individual-egosentrik, tetapi komunal-kolektif-sentrifugal itu.

Sifat ideal raja, meski berkuasa, adalah "Raja adil raja disembah, raja lalim raja di- sanggah". Jadinya, populis, tidak absolut. Yang diutamakan adalah right 'nan benar', bukan might 'nan kuat, kekuasaan' karena right is might. Dalam demokrasi di Barat dan dalam demokrasi di dunia perpolitik- an di Indonesia yang mencontoh ke Barat sekarang ini might is right. Ujung-ujungnya, semua ditentukan kekuasaan yang da- pat dibeli dengan uang. Budaya material pada gilirannya juga menganakkan watak yang permisif dan koruptif sehingga nyaris tak ada yang tak mungkin.

Varian budaya M kebetulan memadu secara sintetis antara budaya adat yang si- fatnya lokal dan regional, di samping komunal-kolektif-sentrifugal, dengan unsur syariah dari teologi Islam dengan adagium: ABS-SBK 'Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah'. Varian budaya M menempatkan adat di bawah supremasi syarak juga dengan patokan adagium: "Yang baik dari mana pun datangnya dipakai, yang buruk dari mana pun pula datangnya dibuang".

Budaya M yang sintetik-universal ini juga dipakai di seluruh dunia Melayu yang mencakup Malaysia di Semenanjung; Patani di Siam; Serawak, Brunei, dan Sabah di Borneo; dan Moro di Filipina. Di Indo- nesia sendiri varian budaya M terimpit oleh varian budaya J karena kalah dalam persaingan hegemoni dan kalah kuat.

Varian budaya J di Jawa, kendati secara etnografis adalah juga etnik Melayu, orien- tasi budayanya adalah sinkretik, bukan sintetik seperti di kawasan budaya M di luar Jawa itu. Dalam varian budaya J, ada- gium yang berlaku adalah "Sadaya agami sami kemawon", semua agama sama baik dan sama benarnya. Demikian juga unsur budaya lainnya yang diperlakukan sebagai sama dan setara. Karena itu, silakan pilih dan tak masalah kalau kawin-mawin antaragama dalam satu trah atau keluarga yang sama.

Secara bernegara, karena semua agama diakui sebagai setara, maka aspirasi kelompok Islam, kendati mayoritas, dan Islam sendiri mengharuskan umatnya melaksanakan syariat Islam secara bermasya- rakat dan bernegara. Demi kesatuan dan persatuan bangsa, tidak boleh mendirikan negara Islam atau menjadikan syariat untuk juga berlaku secara bernegara walau hanya khusus untuk umat Islam (ingat nasib Jakarta Charter). Yang muncul dan mendapat tempat di lingkungan penguasa adalah kelompok liberal multikultural yang menolak konsep negara Islam dan menyatakan Pancasila adalah final.

Citra sinkretisme

Citra sinkretisme budaya J inilah yang jadi tipe ideal sekaligus idealisme kenega- raan yang terpantul dalam filosofi NKRI: Pancasila, yang memang berada di bawah atmosfer naungan budaya J atau Kejawen. Kendati sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tak hanya Islam sebagai agama yang murni berketuhanan Yang Maha Esa yang diakui negara, tetapi semua agama.

Pada zaman Orde Lama, yang menolak adanya Tuhan pun, seperti komunisme yang ateis, dibolehkan dan diberi hak dan peluang sama untuk eksis dan berkegiatan seperti yang lain. Sederhana alasannya: presiden pada waktu itu tak mau menung- gang kuda berkaki tiga. Yang keempatnya adalah PKI dengan komunismenya itu.

Walau pada masa persiapan dan awal kemerdekaan aspirasi budaya M yang relatif demokratis cukup santer dan menjiwai demokrasi yang diperjuangkan di awal kemerdekaan, begitu sistem politik di NKRI ini berpindah tangan pada era Orde Lama ke tangan proklamator—pendiri Republik itu sendiri, untuk menjadi presiden seumur hidup dengan kekuasaan absolut tak terbatas, jadi Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Bangsa, dan seterusnya— maka demokrasi seperti yang dicita-citakan itu pun sirna, hablur, dan meleleh.

Yang terjadi, penjungkirbalikan demokrasi yang masih berupa bibit muda yang dicangkokkan dari luar itu. Pada zaman Orde Lama dibabat dan sistem kekuasaan dikembalikan ke cara semula yang diwarisi dari nenek moyang yang feodal-etatik-sentripetal-sinkretik dan nepotik itu.

Kendati istilah teknis-yuridis-formal yang dipakai tetap sama seperti yang dipa- kai di negara demokrasi maju dan modern, baik di bidang eksekutif, legislatif, yudika- tif, dan alat kelengkapan formal kenegara- an lainnya, hanya botolnya yang baru. Anggur tua tadi dimasukkan ke dalam bo- tol baru sehingga yang tua yang sudah ke- daluwarsa dan tidak lagi terpakai di mana- mana, itu yang terpakai dan berlanjut kembali di NKRI ini.

Ada yang sudah berubah?

Kecuali istilah dan jargon yang dipakai baru itu, adakah secara fundamental yang sudah berubah di NKRI, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari perja- lanan sejarah bangsa dan Tanah Air yang sudah panjang ke belakang itu?

Jawabnya, secara teknis tentu saja ada. Kita termasuk suku bangsa di dunia ini yang ikut menikmati kecanggihan sains dan teknologi sehingga kita ikut menik- mati manfaat kemajuan sains dan tekno- logi yang luar biasa itu. Namun, kitakah atau mereka yang membikinnya? Kita ternyata hanyalah suku bangsa yang lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri. Kita lebih suka menerima daripada memberi. Dan kita adalah pangsa pasar yang besar dengan 240-an juta penduduk, tetapi kita pula yang lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri.

Mungkin karena faktor geografis, kare- na iklim atau zona khatulistiwa yang tongkat ditanam pun bisa tumbuh, unsur budaya malas dan segan berjerih payah ada di sana. Dengan tanahnya yang subur, uda- ranya yang berawan, dan langitnya yang suka menurunkan hujan, dengan iklim tropis, Indonesia telah menjadi incaran dunia kapitalis dari Barat dan Timur untuk menguasainya sejak dari sekian abad yang lalu sampai hari ini.

Dengan menguasai ekonomi sekaligus sumber daya alamnya, dari hulu sampai ke muara, di darat, laut dan udara, penguasa- an politik, sosial, dan budaya menjadi me- nurun. Itu persis yang para kapitalis-im- perialis mancanegara itu lakukan. Dari du- lu sejak zaman para penjajah dari Barat —Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda—dan secara tak langsung juga Amerika, Jepang, Korea, China sekarang lakukan. Malah, Indonesia sekarang ini telah masuk ke dalam kawasan emporium ekonomi China, yang dari sono semua dikendalikan.

Pertanyaannya, sekali lagi, apa yang te- lah berubah? Yang jelas kita tetap jadi ob- yek, bukan subyek. Kita dikendalikan, bukan mengendalikan. Kita diatur, bukan mengatur diri sendiri. Kemerdekaan kita karenanya adalah kemerdekaan semu. Kelihatannya merdeka, tetapi tidak atau belum merdeka walau sudah 67 tahun merdeka. Boleh dikatakan di semua bidang kehidupan! Demokrasi yang kita bangga-banggakan itu adalah juga demokrasi semu: pseudo democracy. Kelihatannya seperti kita yang mengelola sendiri, sementara kita dikelolakan ataupun dikendali- kan. Makanya, pemilu yang juga kita lakukan setiap kali sebagai syarat berdemo- krasi kita hanya membuang duit yang hasil bersihnya kembali ke tangan kelompok triumvirat tadi.

Yang rakyat? Hanya datang sebentar ke kotak suara, membawa jari bertinta pulang, lalu mengulangnya kembali sekali lima tahun. Selebihnya tinggal urusan mereka para wakil rakyat yang terhormat yang lolos terpilih dan bermain demo- krasi seperti yang diinginkan oleh kelom- pok triumvirat yang bekerja sama menja- lankan roda kendali negara ini di semua bidang kegiatan dan kehidupan.

Yang rakyat? Tetaplah tinggal jadi rakyat yang dikendalikan dan hidup seperti sediakala yang dibalut kemiskinan dan keterbelakangan seperti selama ini. Dengan ukuran perhitungan Bank Dunia bahwa mereka yang tergolong ke dalam penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS (Rp 20.000) per hari, maka lebih dari sepa- ruh penduduk Indonesia yang 240-an juta itu masih tergolong ke dalam penduduk miskin. Statistik kemiskinan di Asia Teng- gara memperlihatkan bahwa rakyat Indo- nesia tergolong ke dalam kelompok penduduk yang termiskin.

Demokrasi yang artinya adalah "keku- asaan di tangan rakyat", tetapi yang terjadi adalah bahwa kekuasaan itu ada di tangan kelompok triumvirat yang bekerja sama secara hangat dan saling menguntungkan. Dan mereka itu, sekali lagi, adalah: (1) para penguasa negara, sipil maupun militer, di pusat sampai ke daerah, yang etnik pribumi; (2) para konglomerat China yang merupakan 0,8 persen penduduk tetapi menguasai 80 persen kekayaan nasional, yang menguasai jalur ekonomi dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan udara; (3) para kapitalis multinasional yang menguasai sumber daya alam Indonesia yang tersembunyi di bawah permukaan bumi persada dan di atasnya.

Ketiga kelompok triumvirat yang bekerja sama secara erat dan mesra inilah yang menggelindingkan ekonomi Indonesia dan yang memungkinkan yang lain-lain juga berjalan.

Yang rakyat? Yang rakyat menunggu godot yang tidak kunjung keluar dari persembunyiannya untuk terhindar dari malapetaka berkepanjangan yang tidak diinginkan.

Mochtar Naim Sosiolog
(Kompas cetak, 30 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 29 November 2012

Ini Alasan Dirombaknya Kurikulum

Kontroversi terhadap perubahan kurikulum ini terus bermunculan. Banyak pihak menanyakan alasan digantinya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 dengan standar isi yang jauh berbeda, khususnya untuk pendidikan tingkat dasar.

Direktur Pembinaan Sekolah Dasar (SD) Ditjen Dikdas Kemendikbud Ibrahim Bafadal mengatakan bahwa perubahan ini juga melihat kondisi yang ada selama beberapa tahun ini. KTSP yang memberi keleluasaan terhadap guru membuat kurikulum secara mandiri untuk masing-masing sekolah ternyata tak berjalan mulus.

"Tidak semua guru memiliki dan dibekali profesionalisme untuk membuat kurikulum. Yang terjadi, jadinya hanya mengadopsi saja," kata Ibrahim ketika dijumpai seusai Pemberian Penghargaan Siswa Berprestasi Tingkat Internasional dan Penganugerahan Piala Apresiasi Sastra Bagi Peserta Didik Sekolah Dasar, di Gedung A Kemendikbud, Jakarta, Rabu (28/11/2012).

Untuk itu, kurikulum yang baru ini dibuat dan dirancang oleh pemerintah, terutama untuk bagian yang sangat inti. Dengan demikian, pihak sekolah dan guru tinggal mengaplikasikan saja pola yang sudah dimasukkan dalam struktur kurikulum untuk masing-masing jenjang tersebut.

Ia mengakui bahwa untuk tingkat SD terjadi perubahan yang cukup besar mengingat basis tematik integratif yang dianut saat ini. Mata pelajaran yang dulu ada 10 bidang dikurangi menjadi tersisa enam mata pelajaran saja dengan pembagian empat mata pelajaran utama dan dua mata pelajaran muatan lokal.

"Jadi untuk pendidikan dasar, kami ambil yang sangat inti, seperti PPKn, Agama, Bahasa Indonesia, dan Matematika," ungkap Ibrahim.

"Kami yakin dengan revisi ini, pendidikan di Indonesia akan menghasilkan generasi yang jauh lebih baik lagi dan siap menjawab tantangan ke depan," tandasnya.
(Kompas.com, dicopas 29 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Solusi Banjir Juga Tersandera Aturan

Pendekatan legalistik dan yuridis formal jangan-jangan sudah menyandera pikiran para pejabat seperti terlihat dalam penanganan banjir di Jakarta.

Upaya mengatasi banjir di Jakarta dikatakan terhalang karena tersandera aturan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terpaksa menghentikan proyek pemeliharaan sungai sesuai dengan pedoman pengelolaan keuangan daerah terkait pelaksanaan program.

Persoalannya tentu saja serius karena aturan terkesan tidak membantu menyelesaikan persoalan yang ada di depan mata, tetapi justru menjadi penghambat. Jika benar menjadi penghambat, aturan atau hukum sesungguhnya sudah kehilangan makna dan dasar keberadaannya.

Makna aturan semakin hambar dan kedodoran lagi karena sama sekali tidak menjadi instrumen yang membantu penduduk Jakarta yang tersiksa lahir batin akibat ancaman banjir dan juga kemacetan yang tak mengenal waktu. Lebih-lebih saat ini warga Jakarta menghadapi ancaman banjir sebagai persoalan tahunan.

Sungguh konyol, proyek pemeliharaan sungai dihentikan hanya karena terhalang aturan terkait pedoman penggunaan keuangan. Padahal, ancaman banjir sudah mendesak, yang harus segera diatasi, tanpa perlu menunggu, termasuk menunggu aturan.

Tanpa bermaksud menyalahkan aturan dan siapa pun, kasus penanganan solusi banjir di Jakarta memperlihatkan betapa pendekatan legalistik dan yuridis formal telah menyandera pikiran para petinggi, memasung kreativitas dalam mengatasi persoalan.

Tentu saja pendekatan legal dalam negara hukum seperti Indonesia termasuk keniscayaan. Hukum harus ditegakkan supaya tidak anarki. Demokrasi tanpa hukum berpotensi menimbulkan kekacauan dan sebaliknya hukum tanpa demokrasi hanya akan menciptakan kesewenangan.

Hanya tantangannya, berbagai persoalan darurat, dadakan, dan mendesak seperti bencana banjir tidak bisa lagi diselesaikan semata-mata secara teknis hukum, fakta hukum, mekanisme hukum, koridor hukum, tetapi menuntut keberanian melakukan terobosan yang terkadang harus bergerak keluar dari kotak hukum.

Hukum memang penting, tetapi jauh lebih penting tidak boleh disandera dan menjadi tawanan pendekatan legalistik dan yuridis formal, yang dapat mengunci berbagai upaya terobosan sebagai kekuatan yang membuka ruang dan kesempatan bagi kemajuan dan perubahan.

Dalam dunia yang cepat berubah sekarang ini, semakin dibutuhkan pemimpin yang mampu melakukan terobosan. Kehebatan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kepatuhan atas hukum, tetapi juga keberanian melakukan terobosan, termasuk berani menanggung risiko, dengan terus menjunjungi tinggi tanggung jawab, etika, memelihara tata kelola pemerintahan bersih, good governance, menjaga integritas diri, serta mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara
(Tajuk Rencana, Kompas cetak, 29 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 28 November 2012

Liberal Arts Dasar Pendidikan Tinggi

Oleh Mayling Oey-Gardiner
Walaupun berkembang di Eropa sejak zaman antik, dunia kontemporer mengenal pendidikan liberal arts mengakar di Amerika Serikat. Kecuali community college yang menyediakan pendidikan terapan, praktis semua pendidikan tinggi setingkat S-1 berparadigma liberal arts.
Hal ini dapat dibaca dalam situs web perguruan tinggi (PT) AS yang masuk peringkat utama dunia. Sebutlah seperti PT swasta Harvard, Princeton, Yale, Stanford, juga negeri, antara lain University of California, University of Wisconsin, University of Illinois, serta institut teknis, seperti MIT, IIT, dan Caltech. Menurut Academic Ranking of World Universities 2012: dari 25 PT dunia terbaik 19 adalah PT AS; dari 50 PT terbaik 36 berasal dari AS.
Tidak heran bila paradigma liberal arts makin banyak diimpor negara lain, termasuk Eropa. Bahkan, paradigma ini akan menjadi skema dasar pendidikan di Eropa dan Australia, juga di PT ternama sejumlah negara Asia, seperti Jepang, Korea, Hongkong, India, dan Pakistan. National University of Singapore pun— yang melejit masuk ranking dunia—mengadopsi liberal arts.
Pengertian liberal arts berasal dari zaman antik klasik. Liberal arts dipelajari oleh warga bebas dalam arti bukan budak. Waktu itu pendidikan liberal arts terdiri dari gramatika, retorika, dan logika. Pada periode Abad Pertengahan, ketiga kemampuan yang dinamakan trivium itu dirasa memerlukan imbangan quadrivium yang meliputi matematika, geometri, musik, dan astronomi (termasuk astrologi). Ketujuh bidang ini masuk kurikulum PT Abad Pertengahan.
Ciri penting hasil didikan liberal arts: bekal dan fondasi luas pada berbagai bidang ilmu dasar. Dengan kemampuan berekspresi lewat cara berbahasa (gramatika dan retorika) dan matematika (logika), lulusannya dimampukan mengutarakan pendapat dengan bahasa yang baik dan benar, sistematis dan logis. Mereka juga dibentuk menjadi manusia utuh, intelek yang mampu berpikir dan berwawasan luas karena juga paham geometri, musik dan astronomi.
Dengan bekal demikian lulusannya lebih mampu berpikir, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bahkan mampu mengubah lingkungannya. Jangan heran jika ada sejarawan menduduki puncak pimpinan bank.
Pendidikan liberal arts memberi bekal dasar ilmu pengetahuan yang memungkinkan lulusannya berpikir bebas, kreatif, dan bertanggung jawab secara ilmiah. Mereka akan dimampukan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka akan dapat menambah pengetahuan di bidang yang mungkin sekali dianggap tidak berhubungan, seperti ilmu pasti dan alam yang dipelajari bersamaan dengan kesenian atau olahraga.
Menjawab pasar
Pasar tenaga kerja, terutama bagi lulusan PT, akan terus berubah pesat. Hal ini terkait dengan perkembangan teknologi dan saling keterkaitan dalam pasar global yang juga berdampak besar pada Indonesia. Maka, mereka yang berpendidikan tinggi dan ingin relevan dalam pasar kerja harus terus mampu mengembangkan pengetahuan agar peluang berganti haluan, bahkan berganti profesi, tetap terbuka.
Dunia yang berubah cepat membutuhkan berbagai profesi dan vokasi dengan kemampuan imajinasi luas dan kritis. Kebutuhan pengetahuan dasar tersebut lebih tepat dipenuhi oleh program pendidikan liberal arts yang menyiapkan siswa agar mampu menjawab tantangan yang terus berkembang (James Engell, Harvard University).
Paradigma liberal arts berbeda dengan di Indonesia. Di satu sisi, pendidikan liberal arts menyiapkan lulusan untuk terus mengembangkan pemikiran serta mampu melanglang buana menghasilkan kreasi dan inovasi secara teknologi dan sosial. Sebaliknya, pemerintah, yang meletakkan dasar harapan orangtua, bervisi jauh lebih jangka pendek. Orangtua mengharapkan putra- putrinya selesai S-1 langsung memasuki dunia kerja dengan keterampilan vokasi. Makin banyak jenis vokasi tidak lagi mengikuti ilmu pengetahuan tetapi sudah merupakan ilmu terapan.
Adalah dalam konteks demikian diusahakan paradigma liberal arts. Semua siswa diperkenalkan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dalam kelompok (1) humaniora, (2) ilmu pengetahuan alam, dan (3) ilmu pengetahuan sosial.
Tekanan diberikan pada pengembangan kemampuan berpikir dan menulis kritis melalui perkenalan dengan kesusastraan Indonesia. Pengembangan ini menjawab keluhan dosen tentang ketidakmampuan mahasiswa memformulasikan pertanyaan, pendapat, ataupun menulis esai untuk membangun argumentasi secara ilmiah.
Pengembangan bahasa Indonesia didukung pelajaran matematika yang menekankan logika sebagai dasar berpikir. Perkenalan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan alam dan sosial diharapkan membangun kesadaran mahasiswa tentang lingkungan fisik serta sosial yang tidak terpisah dan harus dihadapi pada saat bersamaan. Dengan landasan pendidikan liberal arts, diperkirakan lulusan S-1 lebih siap menyerap pengetahuan, termasuk ilmu terapan dalam dunia profesi yang akan digelutinya.
Mayling Oey-Gardiner Ketua Pusat LA, UPJGB FEUI; Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI (Kompas cetak, 28 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®













Pahlawan Masa Depan

Oleh Yonky Karman

Tahun 1945, ketika kaisar Jepang Hirohito harus menerima fakta kalah dalam perang melawan Sekutu dan negerinya hancur, ia bertanya kepada bawahannya, "Berapa banyak guru masih kita punya?"

Para bawahannya, terutama petinggi militer, keberatan dengan pertanyaan itu, apalagi sudah lebih dari dua juta tentara Jepang gugur membela kehormatan nama Kaisar.

Kaisar menjelaskan, bukannya ia menganggap murah nyawa prajurit atau merendahkan profesi lain, tetapi masa depan Jepang tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer. Jepang akan bangkit dari puing-puing kehancuran dan kembali menjadi bangsa bermartabat dengan jalan pendidikan.

Realisasi visi besar kebangkitan Jepang ternyata jauh lebih cepat daripada perkiraan. Jepang mengalami keajaiban ekonomi dan menjadi salah satu kekuatan teknologi dunia menyaingi Barat. Salah satu pemicu kerusuhan sosial di Indonesia yang dikenal sebagai Peristiwa Malari 1974 adalah protes atas investasi Jepang yang mendominasi perekonomian di Tanah Air, penjajahan modern dalam bentuk ekonomi.

Obyektifikasi guru

Kita sebenarnya mengakui kepahlawanan guru dalam "Hymne Guru" yang menjadi lagu wajib nasional sejak 1980. Guru adalah patriot "pahlawan bangsa tanpa tanda jasa". Sayangnya, atribut "tanpa tanda jasa" hanya membenarkan politik pemerintah untuk mengabaikan kesejahteraan guru. Pahlawan tanpa tanda jasa pun tak dimakamkan di taman makam pahlawan yang tersebar di banyak kota Indonesia.

Meski dipuja sebagai pahlawan, kepahlawanan guru nyatanya tak dihargai. Perannya diakui besar untuk masa depan bangsa, tetapi semua baktinya cukup terukir di dalam hati siswa. Realitas guru tanpa masa depan itu membuat orang muda tak tertarik menjadi guru. Institut keguruan negeri pun kekurangan mahasiswa dan akhirnya mengubah nama menjadi universitas negeri.

Peraturan pemerintah diubah untuk memberikan peluang bagi lulusan sekolah non-perguruan menjadi guru. Profesi guru pun disamakan dengan profesi lain yang bersifat teknis. Padahal, guru adalah profesi yang menyentuh intelek dan jiwa siswa. Menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup, yang membuat Oemar Bakri bertahan di jalan pengabdian dengan hidup sederhana.

Perlakuan sebagai kaum terpinggirkan membuat guru negeri kerap menjadi obyek politisasi saat pemilihan umum. Suara mereka diarahkan kepada satu kandidat tertentu. Seusai pilkada, biasa terjadi mutasi dan pegawai negeri yang tak termasuk gerbong penguasa digurukan. Murid pun dididik oleh orang yang tak memiliki ilmu pendidikan dan panggilan sebagai guru.

Untuk mengakhiri jalan panjang derita guru, lirik "Hymne Guru" sedikit diubah atas persetujuan penggubahnya menjadi "pahlawan pembangun insan cendikia". Surat edaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia pada 27 November 2007 mengukuhkan perubahan paradigma kepahlawanan guru sebagai "tonggak pembangun dari sebuah bangsa".

Balada guru di Indonesia masih ditambah lagi dengan penyunatan gaji yang tidak seberapa, baik resmi oleh birokrasi ataupun pungutan liar oleh oknum birokrasi. Birokrasi haus pungutan menjadikan guru sebagai obyek apakah itu atas nama sertifikasi portofolio, uji kompetensi guru, pendidikan dan pelatihan profesi guru, atau penelitian tindakan kelas.

Persoalan kompetensi guru menjadi urusan teknis belaka. Pendidikan pun berarti proyek. Proyek berarti uang. Uang berarti peluang untuk korupsi. Begitu logika korupsi di Indonesia. Tidak adanya tindakan tegas dari instansi terkait untuk praktik pungli yang membebani guru membuktikan bahwa korupsi sungguh terstruktur sampai ke atas.

Kebangkitan bangsa

Heroisme guru tak bisa dipisahkan dari kebanggaan tertingginya untuk berbagi ilmu dan memimpikan siswa kelak jadi orang berguna. Kehadiran guru di kelas seharusnya menyentuh aspek kognitif dan kesadaran siswa. Siswa disadarkan akan masa depannya dan harkatnya sebagai insan bermartabat. Kesadaran eksistensial itu bertentangan dengan tawuran, plagiarisme, dan konsumtivisme. Mereka suka dan sibuk belajar, memiliki cita-cita untuk berkarya.

Dalam rangka mempersiapkan generasi emas 100 tahun kemerdekaan, Indonesia memiliki periode bonus demografi dengan usia produktif. Jumlah penduduk Indonesia di antara usia anak dan orang tua adalah tertinggi selama periode tahun 2010-2035.

Kesempatan emas seperti itu belum tentu akan berulang untuk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk usia muda Indonesia tahun 2010 lebih banyak daripada usia tua.

Sayangnya, pada saat yang sama posisi indeks pembangunan manusia Indonesia tahun 2011 melorot ke posisi 124 dari 179 negara, dari posisi ke-108 (tahun 2010 dan 2008) dan ke-111 (2009). Sebagian persoalan melorotnya kualitas sumber daya manusia Indonesia tentu tidak lepas dari kerja birokrasi pemerintah yang justru memadamkan kepahlawanan guru. Darurat kepahlawanan guru itulah yang memunculkan Gerakan Indonesia Mengajar.

Masih cukup banyak kaum muda terdidik Indonesia yang untuk suatu masa yang singkat mau mengabdi di tempat terpencil.

Gerakan yang tak terkontaminasi birokrasi pemerintah itu seharusnya menyadarkan presiden dan parlemen bahwa dunia pendidikan adalah kunci masa depan Indonesia. Namun, gerakan idealis seperti itu bukan solusi jangka panjang kemerosotan indeks pembangunan manusia Indonesia.

Hari Pahlawan hendaknya bukan hanya berorientasi ke masa lalu dengan menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur. Lebih penting lagi, Indonesia yang untuknya para pahlawan telah gugur adalah sebuah cita-cita yang masih harus diwujudkan.

Untuk itu, kembalikan martabat profesi guru yang Hari Nasional Guru juga jatuh pada bulan November. Kembalikan peran strategis guru ke dalam politik bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Membahagiakan guru adalah prasyarat bangsa yang bahagia. Jika guru berkualitas tidak diproduksi secara massal, Indonesia akan menyia-nyiakan kesempatan emas bonus demografi itu.

Sebagaimana Jepang sudah lama bangkit, Indonesia masih belum terlambat untuk menjadikan guru sebagai kunci kebangkitan bangsa.

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
(Kompas cetak, 28 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Generasi Digital

Oleh Radhar Panca Dahana
Dalam sebuah tulisan yang memenangi sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an, saya membahas sebuah masalah yang tergambar dalam judulnya, "Generasi yang Hilang". Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya di Amerika sebagai gambaran dari mereka yang lahir di pertengahan 1960-1970-an.
Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. "Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir," tulis Newsweek.
Di Indonesia, kondisi itu sangat mudah dimafhumi. Sebagaimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu, generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai "generasi X" itu hidup dan berkembang dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga saya nyatakan, bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja dan anak muda kala itu karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim.
Generasi yang bertumbuh
Generasi X adalah segerombolan anak yang bukan hanya biaya sekolah, uang jajan, dan makan minumnya ditentukan orangtua, bahkan hingga warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri, di belakang rumah, di bawah pohon, membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang disembunyikan.
Maka, saya pun mengamati almarhum cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengikuti caranya membaca buku dengan hafal setiap kutipan, halaman, penerbit, hingga kredit bukunya. Namun, semua itu seperti tak berjejak pada generasi berikut, generasi Y alias mereka yang lahir antara 1976 dan 1995. Barisan manusia muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras, akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi pertama.
Pada masa kanak dan remaja generasi ini, dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi kecepatan, membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka turut menentukan apa yang keluarga harus konsumsi, memiliki kartu kredit dengan tanda tangan orangtua, dan mulai dapat merancang masa depannya sendiri.
Betapapun orangtua atau nenek-kakek mereka masih duduk manja di kursi kekuasaannya, tetapi di tingkat bawah sesungguhnya terjadi pergeseran serta pergerakan yang tak terbaca oleh suprastruktur, dan diselenggarakan oleh generasi kreatif ini. Jarak antara sains dan teknologi dengan realitas mutakhir—yang sebenarnya menjauh—masih dapat mereka jembatani, ide teraktualisasi, betapapun kadang sumir dan artifisial.
Namun, dunia tidak berhenti bergerak. Teknologi komunikasi dan informasi seperti menggenggam dunia dalam telapaknya, membuat manusia seperti berlari-lari kecil untuk mengelilingi bumi dan mengetahui setiap detail tubuh (persoalan)-nya. Media menjadi begitu canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data, yang siapa pun mampu mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman kita, manusia.
Pada masa inilah, pasca-1995, lahir sebuah generasi baru, "generasi Z", yang tak hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas, tetapi juga mengubah hampir setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup, cara berpikir, kosmologi, hingga cara menatap waktu atau masa lalu dan masa depannya. Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital!
Penuh paradoks
Maka, semua jadi purba dalam soal bagaimana kita mengaktualisasi diri, meneguhkan eksistensi. Diri dibentuk oleh perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia, hingga sudut terkucilnya, lewat BBM, WWW, instant messaging, MP4, mobile phone, Skype, hingga Youtube. Hidup yang posmodernik, multikultural, dan global menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas meneguhkan atau menciptakan klaim tentang diri sendiri tetapi saat bersamaan mereka lenyap dalam riuh.
Jadilah kemudian mereka generasi yang diam karena dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya. Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.
Inilah generasi yang sangat berbeda dengan penulis yang mengeja semua huruf dan kata, menghafalkannya dengan bangga. Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.
Generasi inilah yang akan menentukan bagaimana sebuah bangsa, negara, bahkan kebudayaan akan dikembangkan dan menjadi pada masa nanti. Mungkin sebagian kita tidak rela. Namun, betapa desisif mereka, tidak hanya membuat musik, tari, pertunjukan menjadi "Gangnam Style", tetapi juga politik, hukum, agama bahkan lembaga internasional. Karena ratusan juta manusia mengamininya.
Lalu di mana James Joyce, Homerus, Hemingway, atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka adalah teman lama kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku, monumen masa lalu. Peradaban dan kebudayaan sedang dibentuk ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru, yang bahkan generasi saya, X, merasa malu dan sungkan untuk mengakui, "Maaf, aku tidak paham itu."
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya. Mereka yang begitu bernafsu ingin membeli iPad terbaru, tetapi ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan bagaimana kondisi mental sosial itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri, masyarakat, atau bangsanya?
Betapa tidak bertanggung jawabnya bila kita lebih peduli pada rebutan kursi kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut generasi kosong, generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa mereka ada di atas tanah ini?
Radhar Panca Dahana Budayawan
(Kompas cetak, 28 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

















Senin, 26 November 2012

Prospek Kurikulum Baru

Oleh Agus Suwignyo

Pemerintah sedang mematangkan kurikulum baru dan berencana memberlakukannya mulai tahun ajaran 2013/2014. Kurikulum itu akan ramping dalam jumlah mata pelajaran.

Misalnya, untuk jenjang sekolah dasar, hanya ada mata pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, dan Jasmani/Kesehatan.

Dengan hanya enam mata pelajaran, menyusut dari 12 selama ini, pendidikan di SD diharapkan lebih fokus pada aspek-aspek kemampuan dasar dan tidak membebani murid. Secara umum kurikulum baru diharapkan membentuk manusia Indonesia yang berakhlak, berkarakter mulia, berbadan sehat, cerdas, berkepribadian Indonesia, dan menjunjung nilai-nilai demokrasi.

Terlalu dini

Saat ini masih terlalu dini menilai apakah kurikulum baru tersebut akan meningkatkan mutu pendidikan nasional dan melahirkan generasi Indonesia berkompeten seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, ada prakondisi-prakondisi yang harus dipenuhi agar kurikulum baru dapat diterapkan sesuai dengan desain dan maksudnya. Prakondisi itu mencakup minimal tiga hal.

Pertama, guru-guru telah memiliki kesiapan memadai, baik dalam segi kualifikasi dan kompetensi maupun dalam hal kesamaan pemahaman paradigma pendidikan yang dijabarkan di dalam kurikulum. Faktanya sekarang, kualifikasi dan kompetensi guru masih amat beragam. Pemerintah dan masyarakat sedang berjuang menciptakan standardisasi kualifikasi formal guru lewat aneka program pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi.

Namun, mengingat sekitar 2,6 juta guru yang ada di Indonesia saat ini adalah luaran dari model pendidikan guru pada periode yang berbeda, kompetensi mereka tidak akan serta-merta terstandarkan oleh kualifikasi formal.

Di samping itu, standardisasi melalui program sertifikasi telah menggeser hakikat kompetensi kepada suatu perkara teknis tetapi manusiawi, yakni tunjangan. Semua persoalan menyangkut guru dipastikan akan menghambat pemahaman dan implementasi konsep-dasar pendidikan yang diusung kurikulum baru dan, karena itu, sebaiknya dituntaskan sebelum kurikulum diberlakukan.

Kedua, kurikulum baru dapat diterapkan sesuai dengan desain dan tujuannya jika kita semua berhenti memaksa sekolah mengajarkan sesuatu di luar hakikat dan kapasitasnya! Selama ini banyak pihak berupaya menambahkan setiap hal pada kurikulum sekolah dan memaksa sekolah menjadi rujukan solusi atas aneka persoalan masyarakat, misalnya soal korupsi.

Muncul pandangan salah kaprah bahwa persoalan perilaku dan imoralitas, yang seharusnya menjadi ranah lunak dan tersembunyi pada kurikulum, harus diatasi dengan suatu mata pelajaran khusus yang merupakan wujud kurikulum keras dan eksplisit.

Implementasi kurikulum baru nanti harus tetap fokus pada desain, konsep, dan tujuan awalnya. Aspek-aspek pembentukan disposisi sikap tidak perlu dikeraskan dan dijadikan tujuan langsung pengajaran.

Biarkan aspek-aspek itu menjadi akibat-penyerta dari profil seseorang yang berpengetahuan dan terdidik. Seperti bunyi peribahasa non multa, sed multum, postur kurikulum yang ramping perlu dibarengi dengan kedalaman cakupan kompetensi dasar sesuai dengan usia perkembangan murid dan hakikat pendidikan sekolah.

Ketiga, kurikulum akan berhasil jika konsep "multimuatan" pada mata pelajaran tidak menghambat pembelajaran "ilmu sebagai ilmu". Salah satu argumentasi yang mendasari perampingan kurikulum adalah bahwa mata pelajaran tertentu dapat mencakup substansi mata pelajaran lain yang selama ini diberikan terpisah.

Misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat bermuatan hal-hal tentang Ilmu Alam sehingga Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dirasakan tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri. Argumentasi tersebut dapat dipahami, tetapi sangat mengkhawatirkan karena membuka peluang sabotase dan monopoli substansi mata pelajaran yang justru membahayakan penyemaian nilai-nilai demokrasi.

Dilandasi keprihatinan

Kurikulum yang sedang dimatangkan pemerintah antara lain dilandasi keprihatinan atas hilangnya akhlak mulia, rendahnya moral dan etika berbangsa, menguatnya radikalisme, dan melemahnya toleransi. Dikhawatirkan, kurikulum akan dijejali oleh muatan-muatan tentang upaya membangun karakter semata.

Murid tidak akan pernah benar-benar belajar dan diajari bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia pura-pura yang intinya pembentukan karakter. Seni budaya bukan sebagai seni budaya wujud identitas, tetapi alat membentuk karakter. Pendidikan jasmani/kesehatan dijejali muatan akhlak mulia sehingga bentuk baju saat pelajaran berenang atau bermain voli pun harus diatur.

Jadi, desain multimuatan dalam satu mata pelajaran berpotensi mengideoligisasi ilmu dan mengabaikan makna ilmu sebagai ilmu. Fenomena sabotase sudah teramati sejak pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pengajaran (KTSP). Tidak mengherankan jika sejumlah survei menunjukkan menguatnya sikap intoleran di kalangan murid-murid sekolah belakangan ini.

Dengan KTSP dan desain kurikulum multimuatan yang akan diterapkan, potensi sabotase dan monopoli akan lebih terbuka sebab baik pendekatan maupun substansi pengajaran memungkinkan hal itu.

Di luar semua itu, pemberlakuan kurikulum baru nanti akan langsung melahirkan hiruk-pikuk baru persoalan teknis. Pertama, perampingan jumlah mata pelajaran akan menimbulkan masalah bagi guru-guru yang bidang studinya tidak ada di dalam kurikulum.

Di SD, misalnya, guru bidang studi IPA, IPS, dan Bahasa Inggris akan bagaikan di-PHK. Ini menambah kompleksitas persoalan yang sudah ada selama ini tentang pemenuhan persyaratan minimal jam mengajar per minggu sebagai syarat penerimaan tunjangan sertifikasi.

Kedua, para kepala sekolah akan bingung. Guru-guru yang bidang studinya tidak ada di dalam kurikulum harus mengajar mata pelajaran apa? Jika seorang guru IPA ditugaskan mengajar Bahasa Indonesia, apakah hal itu sesuai dengan ketentuan profesional yang mensyaratkan guru harus mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya?

Ketiga, para penerbit akan mengalami kerugian besar akibat tidak dipakainya buku-buku berbagai mata pelajaran yang tidak ada lagi di dalam kurikulum. Bagaimana pula buku sesuai dengan kurikulum baru harus disusun?

Terakhir, dengan kurikulum baru berkonsep dan berparadigma baru, apakah mitos ujian nasional masih relevan dipertahankan?

Agus Suwignyo Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, FIB UGM Yogyakarta
(Kompas cetak, 26 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Reformasi Hukum di Indonesia

Oleh Rachmat Gobel

Keberhasilan penerapan demokrasi di Indonesia sekarang ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demokrasi dan stabilitas menjadi fondasi baru dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Kendati begitu, masih terdapat suatu area di mana kita masih tertinggal, yaitu reformasi hukum. Hukum adalah kerangka kerja di mana kita menggunakan hak-hak kita sebagai manusia dan memenuhi tanggung jawab kita sebagai warga negara.

Pemaparan saya di sini berdasarkan pengalaman panjang yang telah saya lalui, sebagai seorang pengusaha dan sebagai warga negara Indonesia. Saya merasakan, saat ini hukum di Indonesia kurang dapat mengikuti perkembangan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Reformasi hukum memiliki konsekuensi politik dan sosial penting, selain sangat krusial bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Seperti di negara lain, perekonomian Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi.

Itu berarti kita tak lagi bersaing hanya di antara kita sendiri, tetapi juga dengan bangsa lain di dunia. Untuk itu, hukum harus mampu memberikan keunggulan kompetitif untuk mendukung pelaksanaan pembangunan ekonomi. Akibat dari hukum yang terkesan asal-asalan dan tak disusun dengan baik serta perilaku tak pantas sejumlah pejabat pembuat kebijakan dan penegak hukum, Indonesia menjadi kurang menarik bagi investor asing dibandingkan negara-negara lain. Hal ini menjadi penghambat tumbuh kembangnya perusahaan baru dan membuat perekonomian kurang efisien.

Dimensi internasional

Menurut laporan Ease of Doing Business Bank Dunia, ada keterkaitan kuat antara reformasi hukum dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemerintahan dan sistem hukum yang kuat penting dalam menciptakan lingkungan yang ramah bagi kegiatan bisnis. Termasuk di sini terkait pelaksanaan kontrak, perlindungan bagi investor dan resolusi dari kegagalan usaha.

Dalam laporan 2012, Bank Dunia mencatat bahwa pada 2010-2011, sekitar 46 persen dari langkah reformasi yang dilakukan negara-negara berpenghasilan rendah berfokus pada upaya memperkuat institusi hukum; meningkat dari 18 persen tahun sebelumnya. Kecenderungan serupa terjadi di kalangan negara berpenghasilan rendah-menengah dan tinggi-menengah.

Setelah mengalami sedikit perbaikan pada 2011, kinerja Indonesia semakin tertinggal jauh. Dalam indeks keseluruhan, Indonesia menempati urutan ke-129 pada 2012, turun delapan posisi dari 2011.

Penelitian menunjukkan, reformasi hukum sangat terkait dengan pencapaian hasil ekonomi, seperti peningkatan investasi dan perbaikan daya saing. Dari survei yang dilakukan American Chamber of Commerce di Singapura terhadap para investor terkemuka AS di negara-negara ASEAN pada 2012, transparansi dan kepastian hukum menjadi faktor terpenting yang sangat memengaruhi keputusan investasi.

Sistem hukum Indonesia yang relatif lebih lemah memengaruhi tingkat daya saing dan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi (Global Competitiveness Report 2011/2012). Jika tren ini terus berlanjut, kita akan kian tertinggal dari kompetitor di tingkat regional, dalam menarik investasi dan membangun perusahaan berkelas dunia.

Pengalaman internasional menunjukkan reformasi hukum mendapatkan momentum pada saat terdapat dorongan awal kuat untuk mewujudkan target ekonomi yang jelas. Rencana ke depan Indonesia harus mencakup reformasi hukum jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek tiga tahun mendatang, Indonesia harus mampu meningkatkan efisiensi dan transparansi dari sistem hukum.

Langkah yang harus dilakukan, pertama, meningkatkan tingkat kepercayaan publik terhadap sistem hukum dengan memperbaiki profesionalitas lembaga peradilan. Gaji para hakim perlu ditingkatkan secara signifikan untuk menarik orang-orang berbakat dan mempromosikan sistem hukum yang bersih. Opini hukum perlu dipublikasikan agar terdapat peningkatan pengawasan publik. Pengawasan publik akan menciptakan akuntabilitas yang lebih besar. Anggaran operasi yang jelas dan terpisah untuk sistem peradilan akan memperkuat kemandirian dari hukum.

Kedua, memperbaiki platform teknologi informasi dalam sistem hukum, untuk kepentingan pengelolaan kasus yang lebih efisien. Negara perlu menyediakan lebih banyak akses informasi bagi pihak-pihak yang berperkara di sepanjang durasi kasus yang dimejahijaukan. Demikian juga publik harus diberi informasi seluas-luasnya melalui inisiatif-inisiatif seperti hukum on-line. Ada kebutuhan mendesak, untuk memastikan bahwa tidak ada penundaan yang tidak perlu atau ketidakefisienan di dalam sistem hukum.

Ketiga, membentuk pengadilan komersial terpisah agar beban kasus dapat disebar antara kasus-kasus komersial dan nonkomersial. Ini juga akan membuat hakim mampu menjadi spesialis dan ahli dalam area-area hukum yang berbeda. Kualitas putusan dan layanan hukum dengan sendirinya akan meningkat.

Reformasi jangka panjang

Reformasi-reformasi jangka pendek seperti ini akan sangat menentukan panggung untuk reformasi yang berjangka lebih panjang dan lebih menyeluruh.

Dalam jangka panjang, langkah meliputi, pertama, kajian menyeluruh untuk memastikan konsistensi dan kejelasan yang lebih besar di antara hukum-hukum dan peraturan. Ini akan mendukung terciptanya lingkungan yang ramah terhadap kegiatan usaha.

Indonesia masih bergantung pada hukum-hukum produk era kolonial Belanda. Sesuai dengan hukum Belanda, pengadilan Indonesia tak menerapkan prinsip preseden saat mengambil keputusan hukum. Hal ini sering kali menyebabkan keputusan hukum menjadi subyektif dan terkesan tidak konsisten.

Sebuah laporan Bank Dunia menyebutkan, 80 persen peraturan pemerintah yang disahkan sebelum 2007 tidak konsisten dengan hukum nasional. Misalnya, pemanfaatan sumber daya panas bumi di kawasan hutan. Ini berlawanan dengan hukum kehutanan, yang melarang kegiatan eksploitasi di dalam kawasan hutan. Juga, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang mengharuskan proyek-proyek infrastruktur yang sifatnya build-operate-transfer atau build-transfer-operate diikuti minimal lima peserta tender. Padahal, dalam peraturan proyek public-private partnership (kemitraan pemerintah-swasta) hanya disyaratkan tiga peserta.

Kedua, memperkuat institusi hukum, termasuk di dalamnya Komisi Hukum Nasional, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman Nasional, dan Kementerian Hukum. Selain itu diperlukan pula penguatan sekolah dan pendidikan hukum, lembaga penegak hukum, dan petugas hukum dalam sistem pengadilan. Institusi lain, seperti Indonesian Center for Legal and Policy Studies, juga perlu diperkuat.

Ketiga, mempersiapkan Indonesia sebagai ekonomi abad ke-21. Kita perlu mengembangkan undang-undang dan peraturan baru di bidang-bidang tertentu, seperti perubahan iklim, perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HKI), aliran data digital, dan privasi. Hal ini akan membantu Indonesia bergerak dari ekonomi berbasis SDA menjadi ekonomi bernilai tambah tinggi. Keberadaan UU dan peraturan yang mampu memberikan kepastian perlindungan HKI akan mendorong pengusaha Indonesia berinvestasi pada kegiatan inovasi. Rezim HKI yang tepat juga membantu mendorong komersialisasi dari inovasi-inovasi dan ekspornya.

Rachmat Gobel Pelaku Usaha
(Kompas cetak, 26 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 24 November 2012

Ulil: syiah-ahmadiyah bukan penodaan

Intelektual muda Muslim Ulil Abshar Abdalla menegaskan bahwa masalah Ahmadiyah, Syiah, dan sejenisnya hanya merupakan perbedaan tafsir agama yang tidak dapat dikategorikan sebagai penodaan agama.

"Saya kira, apa yang disebut penodaan agama itu lebih pada `hate speech` (syiar kebencian), karena itu kasus Ahmadiyah, Syiah, dan lainnya lebih merupaan perbedaan tafsir dan perbedaan tafsir itu bukanlah penodaan agama," katanya di Surabaya, Sabtu.

Ia mengemukakan hal itu dalam workshop jurnalis bertajuk "Memberitakan Isu Keberagaman" yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), AJI Cabang Surabaya, dan The Asia Foundation yang diikuti 36 jurnalis se-Jatim.

Menurut politisi Partai Demokrat itu, pandangan yang memposisikan Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya sebagai penodaan agama karena melanggar pokok-pokok ajaran Islam itu merupakan kriminalisasi keyakinan dan keberagamaan, sebab apa yang terjadi sesungguhnya hanya perbedaan tafsir.

"Menyikapi hal itu seharusnya negara memposisikan diri sebagai pihak yang netral terhadap Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya dalam satu sisi dengan MUI, PGI, KWI, dan sebagainya dalam sisi lain, karena negara tidak boleh masuk dalam perbedaan tafsir, kecuali ada `hate speech`. Kebebasan beragama yang tergolong `hate speech` antara lain mengencingi kitab suci," katanya.

Oleh karena itu, anggota DPR itu mendukung rencana para wakil rakyat untuk "menyempurnakan" UU PNPS 1/1965 yang merujuk penodaan agama pada perbedaan tafsir agama dengan UU baru yang merujuk penodaan agama pada "hate speech" (syiar kebencian).

Selain membedakan tafsir agama dengan "hate speech", tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) itu mengharapkan masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa sektarian dalam menyikapi konflik bernuansa SARA, seperti kafir, murtad, sesat, dan sejenisnya.

"Khususnya media massa tidaklah pantas menggunakan bahasa sektarian, karena itu sebaiknya mengganti istilah kafir atau sesat dengan kelompok yang berbeda. Penggunaan bahasa yang kabur seperti itu merupakan hal yang bijak dalam mengurangi konflik," katanya.

Senada dengan itu, aktivis LBH Jakarta Asfinawati menegaskan bahwa kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama itu merupakan dua kegiatan yakni menetapkan (memilih) dan menjalankan/manifestasi (ibadah, penaatan, amalan, dan ajaran).

"Kalau memilih agama atau keyakinan itu tidak dapat dibatasi dan bila dibatasi berarti melanggar HAM, namun kalau manifestasi itu bisa dibatasi, bahkan pembatasan itu pun dengan dua syarat yakni diperlukan dan dilakukan melalui hukum atau undang-undang," katanya.

Konsep HAM itu, katanya, justru melindungi orang beragama dan hal itu juga berarti melindungi agama. "Jadi, HAM itu bukan memberangus agama, karena HAM juga bukan produk Barat seperti diduga orang, sebab konsep HAM itu dirancang Komite HAM yang terdiri dari Eleanor Roosevelt (AS), Peng-Chun Chang (RRC), Charbes Habib Malik (Lebanon), dan sebagainya," katanya.

Sementara itu, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta Dewi Candraningrum meminta media massa untuk tidak terjebak dalam "memory collective" dalam memaknai sebuah kata, seperti PSK, janda, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya.

"Kalau mengikuti memory collective, maka hal itu seperti orang tidak sekolah, karena itu media massa jangan terjebak pada kata PSK tapi siapa yang mendatangkan PSK itu. Untuk kata Syiah, media massa juga jangan terjebak pada perbedaan, tapi lacaklah sejarah Syiah yang sudah lama ada dan sejak dulu tidak ada masalah," katanya. (Antaranews.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

UU Perkoperasian Warisan Kolonial

Suroto

Sejak koperasi pemula dideklarasikan sebagai organisasi modern pada pertengahan abad ke-19 di Eropa, selalu ada penjegalan, baik secara represif maupun terselubung, oleh kaum kapitalis ataupun fasis.

Kaum borjuis kapitalis tidak ingin koperasi itu berkembang karena akan mengancam tujuan akumulasi kapital mereka. Bagi kepentingan rezim fasis, hasil pendidikan demokrasi koperasi ditakutkan akan mengancam kekuasaannya. Mereka menyatukan kekuatan untuk menggagalkan koperasi.

Demikian juga yang terjadi di Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda hingga sekarang. Upaya penjegalan selalu saja terjadi, baik dalam bentuk produk regulasi maupun kebijakan.

Koperasi di Indonesia diperkenalkan oleh de Wolf van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto. Orang muda idealis yang mati muda ini ingin memperkenalkan koperasi kredit (kopdit) model Raiffisien yang berkembang di Jerman dan Belanda karena melihat potensi budaya serupa di masyarakat Purwokerto, misalnya sistem lumbung dan tradisi gotong royong.

Namun, karena koperasi yang akan dikembangkan melalui tabungan masyarakat itu berpotensi memandirikan masyarakat pribumi dan menjadi ancaman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda, sejak dini ide koperasi dijegal oleh Residen Purwokerto pada masa itu dengan kebijakan yang berseberangan.

Sistem tabungan dan lumbung yang ingin dikembangkan tanpa banyak campur tangan pemerintah itu dioposisi dengan model Hulp Spaarken Bank (bank berbantuan) melalui basis pembiayaan dari kas negara.

Warisan kolonialisme

Dalam bidang perkoperasian, sampai saat ini kebijakan dan produk-produk regulasi yang disusun ternyata masih juga mewarisi budaya kolonialisme Belanda yang pada akhirnya melumpuhkan prakarsa dan kemandirian gerakan koperasi sebagaimana kita saksikan saat ini.

Mengikuti konstruksi kebijakan pemerintahan kolonial, koperasi menjadi hilang kemandiriannya dan tersubordinasi oleh kepentingan kapitalisme dan negara.

Menurut hasil penelitian Lembaga Studi dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia, 70 persen koperasi di Indonesia saat ini tinggal papan nama, 23 persen koperasi mati suri dan selebihnya koperasi-koperasi mandiri yang mengandalkan dari kekuatan mereka sendiri.

Koperasi selalu diidentikkan dengan program pembinaan dan perlu diberdayakan. Kementerian koperasi selalu saja disandingkan dengan usaha kecil menengah. Dengan demikian, koperasi selalu dikategorikan sebagai bentuk usaha yang mengurusi skala bisnis kecil, mikro, dan patut dibina. Sebaliknya, usaha besar yang dikerjakan banyak dirampok oleh bentuk badan usaha lain.

Warisan kolonial

Sayang, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang baru saja diundangkan 30 Oktober lalu masih mewarisi tradisi kolonial.

UU tersebut tidak disusun dengan melihat praktik terbaik dari anggaran dasar dan rumah tangga koperasi yang berhasil dan mandiri, kemudian membuat perlindungan bagi mereka. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar masih terlihat kental.

Per definisi yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1), koperasi diterjemahkan sebagai badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya dengan badan-badan usaha lainnya. Sehingga landasan dari UU ini adalah asas perseorangan yang terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan seperti persero.

Penyertaan modal dari luar (Pasal 75) yang tidak ada pembatasnya tentu mengancam kemandirian koperasi dan menjadikan anggota sebagai obyek pinjaman pemilik modal besar.

Pengurus yang dapat dari luar anggota sepenuhnya (Pasal 55) dan pengawas yang berfungsi sebagai lembaga super body (Pasal 48) bisa dengan mudah mendorong swastanisasi koperasi dan kepentingan koperasi keluar dari aspirasi anggotanya.

UU ini juga tidak jelas apakah bersifat lex generalist (umum) atau lex spesialist (khusus)karena mengatur hal-hal secara rigid dalam jenis koperasi simpan pinjam (Bab X Pasal 80-95) dan justru meniadakan pasal penting seperti sanksi bagi pelanggaran prinsip koperasi. Hal ini jelas membuat undang-undang ini tidak imperatif dan mengarah kepada potensi munculnya perusakan jati diri koperasi dan mendorong kegagalan koperasi seperti saat ini.

Kerdilkan koperasi

Undang-undang ini secara sistemik juga akan mengerdilkan gerakan koperasi karena gerakan koperasi hanya semata-mata menjadi alat pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar. Di antaranya Pasal 118 tentang pembiayaan gerakan koperasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pasal yang ada juga banyak yang kontra, nilai-nilai koperasi yang luhur dicantumkan dalam pasal, tetapi dalam pasal selanjutnya justru nilai itu dilawan. Seperti nilai demokrasi (Pasal 5 Ayat (1) poin d yang kemudian dioposisi dengan pencantuman Dewan Koperasi Indonesia sebagai "wadah tunggal aspirasi" yang melanggar konstitusi seperti disebut dalam Pasal 115.

Dalam adagium koperasi, bilamana UU koperasi di satu negara itu buruk, akan lebih baik bila mana tidak punya UU. Akankah kita biarkan UU ini menjegal koperasi?

Suroto Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I); Peserta proyek penyusunan Sejarah Koperasi Dunia; Tinggal di Jakarta
(Kompas cetak, 24 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Paradoks Indonesia

Sayidiman Suryohadiprojo

Yang dimaksudkan dengan paradoks Indonesia adalah keadaan yang bertentangan sekali antara pandangan luar negeri yang memuji Indonesia sebagai negara yang sukses dalam berbagai hal dan pendapat di dalam negeri yang mengecam banyaknya kelemahan bahkan kegagalan.

Pujian luar negeri terakhir kepada Indonesia yang amat hebat diberikan Inggris ketika Ratu Elizabeth II memberikan penghargaan tinggi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa bintang The Knight Grand Cross in the Order of the Bath. Disertai berbagai pujian kepada Presiden SBY tentang suksesnya menjadikan Indonesia negara demokrasi, keberhasilan dalam ekonomi yang membuat Indonesia mengatasi berbagai masalah, dan pujian setinggi langit lainnya. Sebelumnya sudah banyak pujian dari pemimpin negara lain, termasuk AS dan Jepang.

Namun, sebaliknya, di dalam negeri masyarakat mengalami tak sedikit berbagai peristiwa buruk: maraknya tawuran bahkan bunuh-membunuh antarsiswa SMA di Jakarta, antarmahasiswa di Makassar, antarrakyat desa di Lampung dan Sulawesi Tengah. Masyarakat merasa tak kunjung membaik kesejahteraan, angka kemiskinan rakyat tetap tinggi, kesenjangan kaya-miskin malah terus melebar, korupsi tak kunjung berkurang. Makin banyak orang bicara tentang Indonesia sebagai negara gagal.

Bukan burung unta

Paradoks ini tidak baik untuk bangsa Indonesia dan mengindi- kasikan kelemahan struktural be- rat. Tentu kita senang presiden kita dapat penghargaan tinggi dan pujian di luar negeri. Namun, kita bukan burung unta yang memasukkan kepalanya dalam pasir untuk tidak melihat kondisi sekelilingnya yang parah.

Kita bagian dari masyarakat yang masih sangat menderita yang tujuan hidupnya sejak 17 Agustus 1945 adalah hidup dalam masyarakat yang maju-adil-sejahtera dalam negara Indonesia Merdeka.

Untuk itu, seluruh bangsa sepakat bahwa dasar bagi negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah Pancasila sebab Pancasila tak hanya mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan perjuangan hidupnya, malah merupakan jati diri bangsa Indonesia.

Bung Karno, presiden pertama kita, menegaskan bahwa Pancasila bukan hasil kreasi beliau, melainkan beliau gali dari akar-akar kehidupan bangsa.

Maka, dapat dikatakan bahwa paradoks Indonesia adalah akibat kelalaian bangsa Indonesia, khususnya para pemimpinnya, untuk secara konsekuen mengimplementasikan Pancasila. Padahal, semua pihak, ya pemimpin, ya rakyat, masih mengakui Pancasila sebagai dasar negara.

Sikap munafik ini adalah akibat perkembangan dalam perjuangan bangsa. Ketika pada 27 Desember 1949, Belanda dan masyarakat internasional mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, bangsa Indonesia yang keluar sebagai pemenang dari perjuangan bukan hanya para pejuang yang secara gigih berjuang, melainkan juga orang-orang Indonesia yang memihak penjajah menjadi bagian dari Indonesia.

Para pejuang kemerdekaan rela dan legowo menerima mereka, satu sikap hidup yang baik sesuai dengan ajaran leluhur kita. Namun, sebenarnya setelah itu para pejuang kemerdekaan harus menjamin dan mengamankan bahwa NKRI dibangun sesuai dengan Pancasila agar masuknya para nonpejuang bahkan lawan- pejuang dalam barisan Indonesia tidak merusak bangsa Indonesia. Inilah hal yang diabaikan para pejuang sudah sejak 1950.

Tak ada usaha konsolidasi negara Pancasila, malah negara dibawa ke alam politik dan ekonomi yang bukan-Pancasila. Akibatnya, timbul kesempatan dan peluang bagi mereka yang pada dasarnya tak sepaham dengan perjuangan kebangsaan Indonesia untuk timbul kembali malah makin kuat. Dan, mereka menda- pat dukungan luas dari negara- negara yang banyak kepentingannya di Indonesia dan kurang setuju Indonesia menjadi negara Pancasila yang efektif dan kuat.

Buat mereka, Indonesia boleh merdeka, tetapi dalam satu negara yang berpaham liberalisme atau dalam negara komunis atau negara Islam sesuai dengan kepentingannya.

Setelah terjadi Reformasi pada 1998, pihak yang paling kuat adalah yang berpaham liberal Barat. Meskipun yang berpaham komunis berusaha bangkit kembali, kekalahan blok komunis dalam Perang Dingin cukup berpengaruh. Yang mau negara Islam makin besar dukungannya dari Timur Tengah, tetapi belum dapat mengimbangi kaum Barat.

Maka, Reformasi yang memang diperlukan bangsa Indonesia untuk menjadikan negara Pancasila satu kenyataan menjadi sasaran kaum Barat dan mereka berhasil membajaknya.

Bukti sukses pertama mereka adalah UUD 1945 yang diamandemen sehingga mulai menjauhi Pancasila. Tentu itu buat kaum Barat baru hasil pendahuluan yang harus diikuti keberhasilan lain.

Sejak Soeharto

Sebetulnya sejak kepemimpinan Soeharto, kaum Barat sudah membuat inroads yang penting. Mereka berhasil membawa pengendalian ekonomi makin meninggalkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai implementasi Pancasila. Meskipun Pasal 33 secara formal tak diganggu, pengendalian ekonomi secara nyata makin dipedomani paham liberalisme Barat.

Buat mereka yang berpandangan Barat atau mengutamakan pandangan Barat, tidak soal bahwa rakyat Indonesia masih banyak yang miskin. Yang penting, Indonesia sesuai dengan kepentingan mereka, baik AS maupun Inggris. Bahwa Indonesia sekarang mendapat pujian dan penghargaan Barat, itu berarti bahwa Indonesia buat mereka sudah on the right track.

Buat orang yang berpikiran Pancasila, tak ada keberatan bahwa Barat senang dengan Indonesia sebab kita selalu mengusahakan hubungan yang selaras dan harmonis dengan bangsa lain. Namun, hubungan harmonis itu hanya bisa ada kalau bangsa Indonesia sendiri juga mengalami kehidupan dan perkembangan sesuai dengan tujuan hidupnya. Tak mungkin hubungan itu harmonis kalau masih jutaan rakyat Indonesia hidup miskin, dalam ukuran Bank Dunia yang didominasi Barat itu: di bawah 2 dollar AS sehari. Adapun kekaya- an bumi Indonesia dikeruk perusahaan Barat untuk menjadikan orang mereka makin kaya.

Marilah para pejuang yang masih ada mengingatkan para pemimpin kita yang berkuasa jangan bangga adanya paradoks Indonesia, tetapi lebih memperhatikan bangsanya sendiri. Boleh berbangga telah mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen kalau bersamaan dengan itu rakyat petani dan nelayan di desa- desa makin sejahtera hidupnya dan kemiskinan makin hilang dari kehidupan Indonesia.

Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas
(Kompas cetak, 24 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Komedi Pendidikan

Rumongso

Di samping tragedi pendidikan sebagaimana ditulis Sidharta Susila, pendidik dari Muntilan, dua bulan lalu di rubrik ini, dunia pendidikan kita juga menghasilkan komedi.

Komedi satir atas dunia pendi- dikan di Indonesia muncul dalam banyak hal sehingga timbul duga- an bahwa pemerintah tidak memiliki desain besar untuk menge- lola dunia pendidikan. Wacana demi wacana bermunculan tanpa ada eksekusi akhir yang kompre- hensif sehingga tidak menimbulkan korban: guru, anak didik, dan masa depan bangsa.

Pendidikan karakter

Saat generasi muda ditengarai kehilangan jati diri sebagai manusia Indonesia, pemerintah memunculkan wacana pentingnya pendidikan karakter bagi anak di- dik. Guru diminta menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik: jujur, disiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, kerja sama, dan seterusnya. Ini lelucon yang tidak lucu sebab seolah-olah pemerintah mengabaikan peran membentuk karakter anak didik. Sudah jadi tugas seorang guru menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik.

Guru dianggap tukang sulap: mampu membuat sesuatu dalam sekejap. Ia juga dianggap tukang servis mental bagi anak didik. Padahal, luntur, rapuh dan hilangnya jati diri serta karakter anak didik bukan disebabkan kelalaian guru. Ini masalah sangat kompleks dan tak dapat sepenuh- nya diserahkan kepada guru untuk menanganinya.

Memang tak dapat dimungkiri bahwa guru berperan penting dalam memengaruhi karakter anak didiknya. Yang harus diingat, dalam kurun 24 jam, anak-anak ha- nya sekitar enam jam di bawah pengasuhan guru. Selebihnya anak-anak diasuh "guru-guru lain": televisi, internet, lingkungan, teman sebaya.

Penetrasi televisi dan internet demikian kuat. Pemerintah lupa dengan fungsinya memberi aturan yang jelas dan tegas dalam kaidah bagi dunia pertelevisian dan internet. Gambaran anakanak sekolah, pergaulan remaja dalam sinetron di televisi yang tidak berpijak pada akar budaya bangsa adalah salah satu bukti bahwa pemerintah gagal menjalankan fungsinya melindungi anak-anak dari hal-hal buruk.

Jika aturan tegas ditegakkan tanpa peduli terhadap kekuatan kekuasaan stasiun televisi, dalam skala minimal anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh buruk hiburan di televisi.

Lalu, pemerintah mewacanakan pendidikan antikorupsi di se- kolah dan akan jadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini juga komedi pendidikan. Dunia pendidikan selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak didiknya. Tak satu guru pun di muka bumi ini yang tak menanamkan kebaikan kepada anak didiknya. Saya sudah puluhan tahun sebagai guru. Anak didik saya yang masih usia SD adalah anak-anak yang lugu. Semua budi baik yang saya tanamkan kepada mereka dilaksa- nakan. Saya yakin di tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, hal-hal itu selalu ditanamkan.

Masalah timbul manakala mereka terjun di tengah-tengah masyarakat dengan ragam profesi. Ada yang menjadi polisi, jaksa, hakim, advokat, pengusaha, atau pegawai negeri. Jika ternyata ada di antara mereka yang berperilaku korup saat terjun di tengah masyarakat, solusinya bukan lewat pendidikan antikorupsi di sekolah dan bangku kuliah. Namun, lewat penegakan hukum yang jelas dan tegas kepada pela- ku korupsi itu.

Buat aturan yang tegas, hukum berat koruptor, miskinkan koruptor, sita harta hasil korupsi adalah salah satu cara mengatasi korupsi. Ketika hukum sedemiki- an ramah kepada perilaku korup, jangan harap korupsi akan hilang dari bumi Indonesia meski anak didik dijejali dengan pendidikan antikorupsi. Jika para koruptor dijatuhi hukuman mati, maka tak usah dibentuk KPK. Tak ada gu- nanya kurikulum antikorupsi dalam situasi kekinian Indonesia.

Pendidikan itu soal hati. Yang paling penting adalah implementasi di lapangan. Di bangku kuliah mahasiswa diajari pendidikan antikorupsi, tetapi saat mereka hendak menjadi PNS, jaksa, hakim, polisi, semua harus lewat "menyuap". Bagi yang terjun sebagai pengusaha: untuk sukses mendapat proyek, juga lewat cara-cara korup dengan menyuap para pejabat. Logika Kementeri- an Pendidikan dan Kebudayaan tidak nyambung dengan realitas di lapangan. Kalangan pendidik harus dilibatkan dan publik harus menguji keefektifan rencana itu.

Uji kompetensi

Komedi pendidikan yang tidak lucu berikutnya adalah mengenai uji kompetensi guru (UKG) yang membuat jantung guru berdetak keras. Apa urgensi pemerintah melaksanakan UKG bagi guru yang sudah sertifikasi?

Pemerintah seolah-olah ragu dengan langkah yang dilakukan dalam program sertifikasi. Pemerintah sendiri yang menentukan parameter sertifikasi, panduan sertifikasi, mekanisme sertifikasi. Semua sudah berjalan lancar. Lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan UKG setelah melihat tidak ada perubahan kompetensi guru antara sebelum dan sesudah sertifikasi. Komedinya tak lucu.

Rumongso Guru SD Djama'atul Ichwan, Solo, Jawa Tengah
(Kompas cetak, 23 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menjadi Islam Indonesia

Masdar Hilmy

Sesungguhnya tantangan paling nyata Islam di negeri ini adalah faktor keterjarakan dari episentrum kelahirannya di Jazirah Arab.

Pola relasi Islam Arab-Islam Indonesia ini sering kali dipersepsikan sebagai pola relasi pusat-pinggiran, yakni pusat bertindak sebagai produsen dan pinggiran sebagai konsumen; pusat sebagai yang autentik dan pinggiran sebagai yang terdegradasi atau terdevaluasi; pusat sebagai imam sementara pinggiran sebagai makmum. Pola relasi semacam ini tidak lain adalah sebentuk patrimonialisme ideologis-religius yang memandang Islam Indonesia dalam posisinya yang inferior, kelas dua.

Pandangan semacam ini sebenarnya merugikan Islam Indonesia dalam peta konfigurasi Islam dunia karena Islam di negeri ini cenderung ditempatkan dalam posisi tak penting serta diragukan kapasitasnya untuk menghasilkan modus keberagamaan yang autentik. Padahal, keberadaan Islam Indonesia yang lebih moderat, damai, dan toleran merupakan realitas empiris-historis tak terbantahkan.

Mestinya, fakta lebih berbicara ketimbang kata-kata. Realitasnya, Islam Indonesia belum sepenuhnya menjadi trendsetter bagi komunitas Muslim di belahan dunia lain. Parahnya, tidak sedikit kalangan internal umat Islam yang "mencemooh" dirinya sendiri dengan menganggapnya tidak autentik dan, oleh karena itu, perlu dimurnikan. Artinya, mereka tidak percaya diri dengan modalitas keberagamaan yang dimiliki selama ini.

Tiga modalitas

Harapan dan optimisme Islam Indonesia sebagai produsen atau trendsetter keberagamaan alternatif bagi komunitas Muslim dunia sebenarnya bukanlah lamunan kosong ataupun mimpi pada siang bolong, terutama jika kita melihat sejumlah modalitas yang ada. Bahwa Islam Indonesia telah mempertunjukkan fitur-fitur keberagamaan yang distingtif merupakan kenyataan yang tak terbantahkan.

Sebanyak 204 juta Muslim dilahirkan dan tinggal di negeri ini, membentuk 12,5 persen dari total 1,6 miliar pemeluk Islam di dunia. Sebuah angka yang—semestinya—cukup signifikan dalam menggerakkan pendulum peradaban Islam dunia. Ini merupakan modalitas pertama Islam Indonesia yang belum banyak diapresiasi oleh komunitas Muslim dunia. Pertanyaan yang mesti direnungkan: bagaimana bisa Islam dianut oleh sedemikian banyak penduduk dalam waktu relatif singkat (enam abad)?

Islam Indonesia juga terbukti telah melahirkan modus keberagamaan yang moderat, damai, toleran, terbuka, dan ramah lingkungan. Memang di sana-sini masih dijumpai letupan konflik dan perlawanan bawah tanah, tetapi jumlahnya tak signifikan dibandingkan dengan aspirasi mayoritas umat Islam di negeri ini. Bandingkan dengan wajah Islam di belahan dunia lain (baca: Timur Tengah) yang jauh berbeda; tiada hari tanpa konflik dan kekerasan berdarah. Sebuah realitas keberagamaan yang jelas tak dikehendaki terjadi di sini. Inilah modalitas kedua Islam Indonesia yang telah teruji sejarah, tetapi—lagi-lagi—masih dilihat sebelah mata.

Modalitas ketiga adalah tradisi kesarjanaan yang pernah membentuk diskursus keislaman tingkat dunia. Islam di negeri ini pernah melahirkan ulama berkaliber internasional, seperti Imam Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al-Tirmisi, yang karyanya beredar di belahan dunia lain, seperti di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Khazanah pemikiran keagamaan di Indonesia juga telah melahirkan Begawan-cum-ilmuwan kontemporer seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Keterjarakan sebenarnya tak serta-merta menyebabkan terjadinya degradasi dan devaluasi kualitas keberagamaan Islam Indonesia. Sebaliknya, keterjarakan justru dapat meruangkan artikulasi dan eksperimentasi keberagamaan secara kreatif dan produktif guna melahirkan eksemplar keberagamaan alternatif yang lebih progresif, transformatif, dan kontekstual.

Dirintis sembilan wali (Wali Sanga), Islam di negeri ini tumbuh dan berkembang menjadi sebuah hibriditas keberagamaan "baru" yang terbukti dapat berdialog dan kemudian bersenyawa dengan unsur budaya lokal. Persenyawaan ini bukanlah sebuah kekalahan Islam di satu sisi dan kemenangan Jawa (baca: Indonesia) di sisi lain. Namun, inilah cara Islam untuk meng-"ada" di tanah yang jauh dari episentrum kelahirannya tanpa harus mereduksi inti keberagamaannya. Meminjam Erich Fromm (1964), modus keberagamaan Wali Sanga adalah modus "menjadi" (to be), bukan "memiliki" (to have). Modus keberagamaan semacam ini ditandai pencarian eksistensial yang tak pernah bertepi. Kulminasi beragama dalam koteks ini adalah ketika seseorang berhasil merayakan kemenyatuan di antara pesan-pesan eternal Islam ke dalam lokalitas sosial-budaya yang wadag.

Konsekuensinya, seseorang dapat menjadi Muslim dengan nyaman tanpa harus membuang identitas kelokalannya masing-masing. Artinya, seseorang bisa "menjadi" Muslim yang utuh tanpa harus membuang kejawaannya, kemelayuannya, kesundaannya, kebatakannya, kebanjarannya, kebugisannya, dan seterusnya.

Dengan demikian, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan semacamnya adalah struktur permukaan (surface structure) yang tidak akan menggerus apa pun dari inti keberagamaan (deeper structure) seorang Muslim. Keduanya, dalam perspektif "menjadi"-nya Erich Fromm dan Wali Sanga, membentuk sebuah persenyawaan yang sah dan autentik.

Dalam konteks ini, keberterimaan Islam Indonesia terhadap empat pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) tidak semestinya dipersepsikan sebagai modus keberagamaan yang terdegradasi, terdevaluasi, atau tidak autentik. Dalam konteks itu pula, dikotomi religius-nasionalis tidak lagi relevan karena keduanya telah terjadi sublimasi. Seseorang bisa dan boleh menjadi kedua-duanya sekaligus! Dus, kategori parpol Islam dan parpol sekuler tidak bisa dipertahankan lagi sebab di antara keduanya tidak ada lagi penanda yang membuat keduanya berbeda secara signifikan.

Jalan panjang untuk "menjadi"

Namun, menjadi Islam Indonesia bukanlah proses mudah dan sekali jadi. Ia merepresentasikan sebuah perjalanan eksistensial panjang nan berliku. Sering kali di tengah jalan diganggu gerombolan "pengacau" yang terobsesi dengan cara beragama "memiliki", yakni cara beragama replikatif-verbatim, tanpa mengindahkan dimensi kesejarahannya.

Modus keberagamaan yang ramah, toleran, dan moderat ala NU dan Muhammadiyah, dalam banyak hal, adalah continuum belaka dari modus keberagamaan "menjadi" ala Wali Sanga. Kita berutang banyak kepada kedua ormas ini dalam membentuk Islam di negeri ini. Berkat keduanya, Islam Indonesia jadi entitas keberagamaan autentik yang tak tereduksi hanya karena faktor keindonesiaannya.

Hanya ketika Islam Indonesia semakin "menjadi", ia akan bertindak sebagai trendsetter bagi dunia Islam lainnya. Semoga Islam Indonesia semakin "menjadi". Inilah refleksi kecil perhelatan Annual International Conference on Islamic Studies Ke-12 yang diselenggarakan IAIN Sunan Ampel di Surabaya, 5-8 November lalu.

Masdar Hilmy Dosen dan Asisten Direktur Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
(Kompas cetak, 24 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 23 November 2012

Membenahi Pengelolaan Migas

PRI AGUNG RAKHMANTO

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 36/PUU-X/2012 membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada 13 November 2012.

MK menilai keberadaan BP Migas inkonstitusional karena mengonstruksikan kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33.

Pertama, MK menilai bahwa keberadaan BP Migas sebagai organ pemerintah dengan status badan hukum milik negara (BHMN) mendegradasi makna penguasaan negara atas migas. Penguasaan negara menjadi tidak langsung sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk kemakmuran rakyat. BP Migas hanya boleh mengawasi dan mengendalikan, tetapi tidak (dapat) mengelola migas langsung karena BP Migas bukan badan usaha milik negara (BUMN).

Kedua, MK menilai keberadaan BP Migas mengakibatkan negara kehilangan kewenangan mengelola atau menunjuk langsung BUMN untuk mengelola migas. Padahal, fungsi pengelolaan secara langsung—dengan melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung—menurut MK, adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai kemakmuran rakyat.

MK mengamanatkan agar pemerintah dapat segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada "penguasaan oleh negara" yang berorientasi penuh pada upaya "manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat".

Sebenarnya sudah sangat jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan putusan dan amanat MK setelah masa transisi sekarang. Pemerintah harus membentuk struktur kelembagaan hulu migas baru yang mengonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada tingkat pertama, yang tidak menghalangi kewenangan negara menunjuk BUMN mengelola dan menjalankan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.

Perusahaan negara

Dapat dikatakan bahwa pilihan ke depan—yang konstitusional— hanya dua. Pertama, pemerintah menunjuk BUMN di bidang (hulu) migas yang ada untuk melakukan itu. Kedua, pemerintah mendirikan perusahaan hulu migas negara (baru) untuk melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.

Dalam konteks ini, pola pikir kita harus berubah: bahwa sesungguhnya yang kita perlukan adalah sebuah perusahaan hulu migas untuk menjalankan kegiatan usaha migas secara langsung. Jika dalam melakukan kegiatan usaha itu perusahaan hulu migas negara yang ditunjuk tidak sepenuhnya mampu, maka dapat bekerja sama dengan pihak lain.

Dalam konteks kerja sama inilah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian—yang selama ini dijalankan BP Migas dengan sistem kontrak kerja sama—diperlukan. Jadi, tingkat pengawasan dan pengendalian sebenarnya hanya pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha, seperti perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (business to business/B to B). Maka, yang diperlukan badan usaha negara, bukan organ pemerintah.

Kita sebenarnya telah memiliki Pertamina sehingga tak harus mendirikan dari nol. Cikal bakal perusahaan hulu migas negara yang dimaksud juga telah ada, yaitu Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Pertamina Eksplorasi Produksi (PEP). Keduanya saat ini merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero). Namun, kita tak ingin pengalaman "pahit" di mana pemusatan semua aktivitas migas, baik di hulu, tengah, dan hilir, ada pada Pertamina. Oleh karena itu, sebelum menetapkan keduanya sebagai representasi dari negara dalam pengelolaan migas, pemerintah perlu terlebih dahulu merestrukturisasi PT Pertamina (Persero).

PHE dan PEP sebaiknya dikeluarkan—tidak lagi menjadi anak usaha—dari PT Pertamina (Persero) dan menjadi dua perusahaan hulu migas negara yang secara langsung dan khusus (lex specialis) berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keduanya dapat menjadi manifestasi amanat putusan MK tentang penguasaan dan pengelolaan migas yang konstitusional. PEP dapat berfungsi sebagai perusahaan hulu migas negara yang mengelola blok-blok migas secara mandiri.

Sementara PHE menjadi perusahaan hulu migas negara yang khusus mengelola blok-blok migas yang dikerjasamakan dengan pihak lain melalui kontrak kerja sama, semacam "BP Migas baru" tetapi berbentuk badan usaha.

Sumber daya (manusia) yang sangat berharga pada institusi eks BP Migas dapat menjadi tulang punggung kedua perusahaan hulu migas negara tersebut.

PRI AGUNG RAKHMANTO Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
(Kompas cetak, 23 NOV 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Identitas Muhammadiyah

Mitsuo Nakamura

Selama 100 tahun keberadaannya, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial.

Kontribusi ini tak terbatas pada masyarakat Muslim, tetapi juga masyarakat non-Muslim, seperti terlihat pada adanya sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Bersama Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terpenting di negeri ini dan menjadi representasi suara Islam moderat. Di tingkat global, barangkali tak ada organisasi Islam modern yang bisa menandingi amal usaha Muhammadiyah.

Memudar dan kurang dinamis

Namun, peran Muhammadiyah pada beberapa dekade belakangan ini seperti agak memudar. Secara eksternal, berbagai kelompok transnasional, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang muncul pasca- tumbangnya Orde Baru, mampu berkompetisi dan menandingi Muhammadiyah. Secara internal, berbagai infiltrasi, seperti dari Partai Keadilan Sejahtera, memengaruhi gerak langkah Muhammadiyah. Di tubuh organisasi ini juga terjadi konflik di antara tiga kubu: kelompok Salafi yang cenderung skriptualis dan konservatif, kelompok moderat yang memadukan puritanisme dan modernisme, serta kelompok liberal yang menganggap Muhammadiyah terlalu kaku dan menghargai keimanan individu.

Persoalan yang menimpa Muhammadiyah saat ini tak hanya pada tingkat ideologi. Amal usahanya pun menghadapi banyak masalah. Dulu, Muhammadiyah adalah pionir dalam bidang pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, kini sebagian dari lembaga pendidikan milik Muhammadiyah terlihat ketinggalan zaman, kalah bersaing dengan sekolah internasional, Sekolah Islam Terpadu, dan sekolah milik kelompok Salafi yang didukung dana dari Timur Tengah.

Dalam bidang filantropi, Muhammadiyah juga agak kalah lincah dan gesit dibandingkan organisasi baru, seperti Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Ummat. Rumah sakit Muhammadiyah juga tak berbeda dari rumah sakit pada umumnya yang dikelola dengan motif komersial dengan tarif tinggi. Bahkan, beberapa rumah sakit Muhammadiyah kalah kualitasnya dari puskesmas. Secara organisasi, beberapa pengamat menilai bahwa Muhammadiyah kini kalah dinamis dibandingkan dengan NU dalam ideologi. Organisasi yang dulu diasosiasikan dengan kaum sarungan dan kolot itu kini tampak lebih progresif dan reformis, terutama sejak dipimpin Gus Dur tahun 1980-an.

Beberapa hal itulah yang menjadi tantangan berat bagi Muhammadiyah ketika organisasi ini mencapai umur satu abad yang diperingati pada 18 November tahun ini. Karena itu, ulang tahun kali ini dirasakan tidak cukup dengan dirayakan di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan di beberapa tempat lain di Indonesia. Perayaan itu sendiri penting dilakukan sebagai bentuk syukur dan karena ini adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidup buat para anggota dan simpatisannya. Kalau nanti Muhammadiyah mampu bertahan hingga 200 tahun, pasti bukan generasi sekarang yang akan menjumpainya.

Namun, yang lebih penting dari perayaan seremonial adalah menemukan kembali (rediscovery) dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah untuk abad kedua. Inilah di antaranya mengapa sejumlah aktivis-sarjana Muhammadiyah dan pengamatnya dalam negeri bekerja sama dengan beberapa sarjana asing, seperti saya sendiri, MC Ricklefs, James Peacock, Robert Hefner, Hyun-Jun Kim, Jonathan Benthall, Robin Bush, Martin van Bruinessen, Nelly von Doorn Harder, dan sebagainya, menyelenggarakan konferensi-riset internasional tentang Muhammadiyah (International Research Conference on Muhammadiyah/IRCM) di Malang, 29 November-2 Desember 2012. Saya juga berterima kasih kepada Ahmad Najib Burhani dari LIPI yang telah membantu saya dalam penyusunan tulisan ini.

Tantangan ke depan

Dengan kecepatan globalisasi dan teknologi yang luar biasa, masih mampukah Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang progresif (berkemajuan) dan dinamis? Di tengah gelombang Salafisme dan Islamisme, mampukah Muhammadiyah tegak mempertahankan dan merevitalisasikan identitasnya? Di tengah kebangkitan kembali hal-hal tradisional dan lokal sebagian karena desentralisasi, khususnya revival kejawen, bagaimanakah organisasi ini mesti bersikap? Inilah beberapa tantangan Muhammadiyah ke depan yang akan dicoba dibahas di konferensi sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang.

Tentunya tantangan besar yang dihadapi Muhammadiyah ke depan tak bisa diselesaikan dengan konferensi atau dalam sebuah konferensi. Meski berupaya membedah berbagai aspek kemuhammadiyahan sejak organisasi ini didirikan 18 November 1912, apa yang dilakukan para sarjana domestik dan asing hanyalah diagnosa dan sebagian dari mereka yang berhaluan "intelektual organik", mungkin dapat memberikan resep obat.

Namun, untuk bisa bangkit kembali, perlu langkah sistematis dari pengurus Muhammadiyah sendiri, kesadaran warga Muhammadiyah, dan barangkali dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah ataupun kelompok masyarakat madani yang lain. Pada tingkat teoretis, langkah itu mungkin bisa dimulai, misalnya, dengan mereformulasi teologi al-Ma'un yang selama ini menjadi prinsip gerak dan darah amal usaha Muhammadiyah dalam usaha membantu para orang-orang yang miskin, lemah, dan tertinggal.

Semangat "kembali ke Al Quran dan Sunah" dan semboyan amar makruf nahi mungkar yang menjadi ruh reformasi keagamaan di Muhammadiyah juga perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi ataupun proyek kegiatan yang konkret. Cita-citanya yang dituntut "masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" dan "peradaban unggul" juga perlu dioperasionalisasikan dengan ukuran empiris. Dan, khususnya dalam lingkungan plural, konsep fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) juga mungkin perlu mendapat suntikan lagi dengan darah baru dan diperluas tak sekadar kompetisi sesama warga Muhammadiyah, tetapi juga kompetisi dan kerja sama dengan masyarakat beragama lain sebagai sesama manusia yang hidup berdampingan dalam global village pada dunia kekinian.

Mitsuo Nakamura Profesor Emeritus Chiba University, Jepang, dan Wakil Ketua Steering Committee for the International Research Conference on Muhammadiyah
(Kompas cetak, 23 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 22 November 2012

Butuh Keseriusan dan Kepedulian Guru

oleh Luki Aulia

Penentu keberhasilan sistem pendidikan nasional di Jepang tidak semata-mata terletak pada ketersediaan fasilitas kegiatan belajar mengajar yang lengkap dan serba berteknologi canggih. Namun yang dibutuhkan hanya guru yang bersedia mengajar dengan serius dan ikhlas semata-mata karena peduli dengan perkembangan anak didiknya.

Hal itu yang dilihat dan dirasakan 11 guru pesantren dan pimpinan pesantren dari berbagai daerah di Indonesia ketika diundang berkunjung ke beberapa kota di Jepang tanggal 6-15 November 2012.

Selama 10 hari para guru berkunjung ke sekolah-sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah antara lain SD Iwakiri, SD Kesennuma, SMP Senkawa, SMA Nishi, dan SMP/SMA Todai-ji. Selain itu mereka juga sempat tinggal bersama keluarga Jepang di Hiroshima dalam program home stay.

"Guru di Jepang yang menangani siswa terutama anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi itu telaten dan mengayomi siswa. Perhatiannya ke anak tulus. Banyak pengalaman yang akan kami terapkan di pesantren kami," kata Mutiara Fahmi Razali (39), guru pesantren Dayah Darul Ihsan Aceh, ketika ditemui akhir pekan lalu di Jakarta.

Guru di semua sekolah yang dikunjungi pun, kata Lilis Muslihah Salim (46) dari Yayasan Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah DKI Jakarta, diharuskan memiliki kemampuan tidak hanya olah pikir tetapi juga olah rasa seperti memiliki keterampilan seni. Harapannya, siswa bisa tumbuh menjadi pribadi dengan karakter yang baik.

"Siswa tidak hanya cerdas di bidang akademik melainkan juga non akademik," ujarnya. Guru-guru pun menjadi panutan para siswa dan itulah yang menurut Fahmi kunci terpenting.

Anak membutuhkan tokoh panutan sejak usia dini seperti orang tua atau guru. Hal ini yang justru tidak terjadi di sebagian besar institusi pendidikan di Indonesia.

"Ada yang salah dalam sistem pengajaran kita. Mereka punya visi misi kegiatan pembelajaran yang jelas sementara kita seringkali tidak," kata Fahmi.

Tokoh panutan anak itulah yang bisa mengajarkan kebiasaan-kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian mengakar dalam pribadi menjadi watak dan karakter.

Disiplin, jujur, malu, menghormati dan membantu orang tua, guru, sesama, dan alam sekitar merupakan contoh karakter siswa yang ingin dibentuk.

"Ini yang harus ditiru. Kita juga sudah mengajarkan hal yang sama dan siswa sudah disiplin di pesantren. Tetapi ini tidak dilakukan juga oleh keluarga dan masyarakat sehingga tidak sinkron dengan yang kita ajarkan," kata Muflih Wahyanto Muhamad Dahri (47) dari Pondok Pesantren Assalaam Surakarta Jawa Tengah.

Pada intinya, menurut Slamet Hidayat Bisri (46) dari Pondok Pesantren Hifz Al-Qur'an (HQ) Al-Asror di Jawa Tengah, anak didik di Jepang diajarkan untuk memahami falsafah kehidupan dari praktik-praktik sederhana seperti budaya malu melakukan hal-hal yang merugikan orang lain.

"Nilai-nilai seperti ini diajarkan secara turun-temurun. Sekolah dan keluarga memegang peranan penting untuk menanamkan nilai-nilai itu," ujarnya. 
(Kompas cetak, 22 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Korupsi Hambalang

Oleh REZA SYAWAWI

Laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, telah dirampungkan.

Dalam laporan tersebut, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara Rp 243,66 miliar. Temuan investigatif ini mengonfirmasi sebuah kejahatan korupsi yang dilakukan terstruktur dan sistematis. Penyangkalan yang selama ini dilakukan pihak yang dituding bertanggung jawab terbantah.

Puluhan nama dalam laporan itu diduga ikut bertanggung jawab atas kasus korupsi proyek Hambalang: pejabat setingkat menteri, bupati, birokrasi, hingga pihak swasta atau perusahaan.

Dilacak ke belakang, dugaan korupsi dalam proyek Hambalang adalah efek domino dari pengungkapan korupsi dalam proyek Wisma Atlet. Kedua kasus ini setidaknya memiliki kemiripan karena berada dalam ranah korupsi di sektor pengadaan infrastruktur. Dalam struktur korupsi pengadaan, kelompok bisnis atau korporasi menjadi alat bagi elite politik untuk menjarah uang rakyat. Motif ekonomi dengan memanfaatkan ruang politik tampaknya menjadi strategi jitu para koruptor.

Korupsi dalam proyek-proyek pemerintah sudah mengarah pada kejahatan bisnis yang dilakukan dengan perantara atau wadah bisnis yang legal. Demikian menurut Romly Atmasasmita. Berbagai kejahatan bisnis sebagai dampak dari dinamika ekonomi global yang berkembang pesat mendorong kelompok ini mendesain berbagai kejahatan serupa. Pola korupsi menjadi sangat rapi dan beragam, dimulai dari penyuapan kepada pejabat publik, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, hingga praktik pencucian uang.

Hambalang menjadi contoh konkret pola korupsi yang sangat rapi. Indikasi suap dalam memuluskan pengalokasian anggaran untuk proyek ini begitu terbuka lebar. Aliran uang yang diduga kepada beberapa pejabat dan politikus adalah bentuk dari upaya memperkaya diri atau kelompok secara tidak sah. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kejahatan ini bagi perekonomian Indonesia setidaknya berkisar pada dua hal: aspek kerugian keuangan negara dan buruknya infrastruktur publik yang dihasilkan. Kedua dampak ini harus diterjemahkan sebagai kerugian bagi publik karena uang yang dikorupsi adalah hasil pajak publik.

Korupsi "berjemaah"

Sebagai kejahatan yang struktural, korupsi di pengadaan sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Tahapan korupsi dilakukan sejak di penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Walaupun audit investigasi BPK hanya dilakukan terhadap proyek yang telah berjalan, pola dan tahapan korupsinya mengindikasikan bahwa proyek ini bermasalah sejak di proses penganggaran.

Jamak diketahui bahwa setiap proyek infrastruktur yang dibiayai negara tak pernah luput dari praktik suap menyuap. Munculnya istilah fee atau uang lelah di kalangan DPR memperkuat dugaan: praktik ini terjadi.

Korupsi proyek Hambalang adalah korupsi "berjemaah": semua pihak yang disebutkan di dalam audit menjalankan perannya masing-masing. Dimulai dari penyiapan lahan untuk pembangunan, termasuk perizinan, persetujuan teknis pengadaan (lelang dan kontrak tahun jamak), pencairan anggaran, hingga penetapan pemenang lelang yang dilakukan di luar prosedur baku.

Korupsi secara bersama-sama dalam proyek Hambalang menunjukkan tipe korupsi yang terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini hanyalah modifikasi dan replikasi atas kejahatan korupsi pada Orde Baru. Dahulu penguasa dan kroninya menggunakan pengaruhnya menjalankan bisnis dan memperoleh keuntungan: semuanya dikendalikan oleh pusat kekuasaan pada saat itu.

Di era pasca-Reformasi, kejahatan tetap dilakukan penguasa dan kelompok bisnisnya. Dengan pola yang agak berbeda, mereka berupaya menyamarkan hubungan antara penguasa dan kelompok bisnis dengan berbagai cara. Namun, ini akan tetap terbukti sebagai sebuah "perse kongkolan" manakala bukti-bukti dalam proses hukum menerjemahkan bahwa kelompok penguasa dan bisnis saling berkolaborasi.

Ini tentu saja tidak menafikan keberadaan kelompok bisnis yang masih memegang prinsip bisnis yang bersih. Maka, kontribusi kelompok bisnis semacam ini sangat penting tidak hanya demi pengungkapan kasus, tetapi juga mendorong menciptakan proses bisnis yang bersih.

Korupsi Hambalang prototipe kejahatan "berjemaah", maka penuntasannya harus secara "berjemaah": semua pelaku yang diduga ikut bertanggung jawab patut dimintai tanggung jawab hukumnya, bahkan pejabat setingkat menteri (aktif) sekalipun.

REZA SYAWAWI Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
(Kompas cetak, 22 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Beban Sejarah Bank Century

Kasus pemberian dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun terus menjadi beban bangsa ini. Kasus ini diangkat ke publik, meredup, dan mencuat lagi.

Pengumuman dua tersangka pejabat Bank Indonesia, Budi Mulya dan Siti Fadjrijah, dalam pertemuan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Tim Pengawas DPR untuk Kasus Bank Century membuka lagi ruang perdebatan. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, kedua pejabat BI itu bertanggung jawab secara hukum dalam dugaan tindak pidana korupsi pemberian dana talangan Bank Century.

Kasus Bank Century terjadi saat bank itu gagal kliring pada 13 November 2008. Pada 14-18 November 2008, BI mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek kepada Bank Century senilai Rp 689,39 miliar. Rapat Dewan Gubernur BI pada 20 November 2008 menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik serta berujung pada pengambilalihan Bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan.

Setelah gelar perkara dan memeriksa 153 saksi, KPK meningkatkan status kasus Bank Century dari penyelidikan ke penyidikan. Mengenai status Gubernur BI (waktu itu) Boediono—yang kini wakil presiden—Samad mengatakan, "Konstitusi membuat KPK tidak berwenang mengusut presiden dan wakil presiden. Jika mereka melakukan tindak pidana, yang melakukan penyelidikan adalah DPR." Penjelasan itu menuai kontroversi. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum.

Boediono, sebagaimana dijelaskan Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat, menyatakan, "Siap membantu sepenuhnya segala upaya penegakan hukum jika ada pejabat, siapa pun, yang terlibat tindak pidana korupsi dalam penyelamatan Bank Century." Boediono yakin, kebijakan penyelamatan Bank Century merupakan langkah tepat agar sistem keuangan dan ekonomi Indonesia tidak terjerumus ke krisis keuangan. Kesiapan Boediono patut diapresiasi.

Jauh sebelumnya, 1 Maret 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membela kebijakan penyelamatan Bank Century. Presiden membenarkan dan bertanggung jawab atas kebijakan pemberian dana talangan kepada Bank Century demi penyelamatan perekonomian Indonesia pada November 2008 (Kompas, 2 Maret 2010).

Kasus Bank Century menjadi beban sejarah bangsa. Kita menangkap nuansa perpolitikan mewarnai kasus itu. DPR telah membentuk panitia khusus dan memberikan rekomendasi agar kasus Bank Century diusut secara hukum. Kita mendorong KPK dengan strategi penyidikan bertahap yang dikembangkannya selama ini bisa mengungkap kasus itu dengan menelusuri siapa yang bertanggung jawab, siapa yang paling diuntungkan, dan ke mana uang Rp 6,7 triliun itu mengalir. Kasus Bank Century tak mungkin terus dibiarkan jadi isu politik tanpa penyelesaian. Penyelesaian hukum harus ditempuh untuk menguji keabsahan kebijakan pengambilalihan Bank Century pada tahun 2008 itu.
(Tajuk Rencana Kompas, 22 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 21 November 2012

Becek, tetapi Memberi Harapan

Moh Mahfud MD

Dalam perjalanan menuju Serang, Sabtu (10/11) sekitar pukul 23.00, ada cicitan dari Said Didu yang menyebut saya. Bunyinya, "Prof. @mohmahfudmd, katanya sudah jadi contoh dunia."

Kemudian dia copy paste berita dari sebuah media online yang memberitakan ceramah saya dengan judul berita "Mahfud: Demokrasi dalam Fase Krisis". Saya tanggapi Said: "dalam konteks Indonesia, pemilu luber adalah contoh bagi dunia dan modal besar untuk kita, tetapi dalam konteks hubungan rakyat-elite demokrasi kita krisis". "Oh, paham Prof," jawab balik Said.

Bahwa Said Didu mengirim pertanyaan malam itu, saya langsung paham. Pada pukul 20.00 di Hari Pahlawan itu saya menyampaikan orasi budaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul "Mengembalikan Daulat Rakyat Demokrasi Kita". Dalam orasi itu, saya berbicara tentang elite yang saat ini telah merampas daulat rakyat untuk menentukan pemerintahan. Saya, antara lain, mengatakan, daulat rakyat hanya dilakukan dalam lima menit oleh rakyat sendiri pada saat memberi suara di bilik suara ketika pemilihan umum. Sisanya selama 2.570.395 menit digunakan oleh elite politik untuk bancakan merampas hak rakyat.

Tak berdaya

Saya mengatakan juga bahwa demokrasi kita becek dengan kubangan korupsi, sementara kita tak berdaya. Bahkan, para elite yang sering saling cerca atas nama rakyat sering pula bersalaman di bawah meja dan bertemu di hotel-hotel mewah untuk merampok hak-hak rakyat. Rakyat dihadapkan pada situasi sulit. Kalau memilih di dalam pemilu yang terpilih serigala; tetapi kalau tidak memilih, maka yang terpilih buaya sebab pilihan yang tersedia hanya serigala, buaya, dan ular berbisa (lihat Kompas 12/11/2012). Jadi, demokrasi kita ada dalam fase krisis.

Saya yakin Said menanyakan pernyataan "fase krisis demokrasi" itu dua hari sebelum saya ber- ceramah di Hotel Bidakara, Jakarta, dengan tajuk "Merajut Indonesia Baru" dengan perspektif isi yang berbeda. Di Bidakara, sa- ya katakan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa besar di masa depan karena mempunyai modal bagus, termasuk pemilunya yang luber sehingga bisa jadi contoh bagi dunia (Kompas, 9/11/2012).

Memang perspektif dua ceramah saya itu berbeda. Yang pertama bicara modal-modal sosial, politik, ekonomi, dan ideologi yang kita miliki. Yang kedua bicara konteks kekinian. Pemilu kita dipuji seantero dunia karena berlangsung damai dan relatif luber-jurdil, terutama Pemilu 1999. Rakyat Indonesia yang begitu majemuk ternyata bisa berpemilu dengan baik. Padahal, sebelumnya banyak yang khawatir, setelah pemilu akan gaduh.

Pancasila sebagai ideologi negara kita juga kuat. Berbagai kekuatan, legal maupun ilegal, yang ingin mengganti Pancasila selalu gagal. Rakyat tetap kembali ke Pancasila meskipun dalam praktiknya ada letupan-letupan kecil dalam bentuk intoleransi. Secara ekonomi kekuatan kita juga sangat menjanjikan. Sumber daya alam kita paling beragam dan berjumlah besar.

Saat ini kita berada pada peringkat kedua pertumbuhan ekonomi se-Asia, menjadi kekuatan ekonomi dunia ke-16, dan akan menjadi kekuatan ekonomi ke-7 pada 2030. Ini adalah fakta, terlepas dari penilaian atas kinerja pemerintahan SBY yang memang masih dapat diperdebatkan.

Secara sosial kita sangat solid. Elite kita terlihat berperilaku politik jelek, tetapi masyarakat kita punya solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama warga bangsa. Jika ada bencana alam, seperti tsunami di Aceh dan meletusnya Gunung Merapi, rakyat langsung bergotong royong tanpa bertanya apa agama, suku, dan rasnya. Yang utama adalah kepedulian terhadap sesama anak bangsa. Demokrasi kita memang becek dengan korupsi, tetapi kita punya modal yang sangat besar yang, kalau dirajut, bisa mengan- tarkan kita jadi bangsa besar.

Kita harus optimistis bahwa kita bisa membersihkan becek itu dan bisa jadi bangsa besar dengan merajut modal-modal besar itu. Untuk itu, kita perlu dua hal. Per- tama, penataan sistem perekrutan politik agar tampil elite-elite pilihan nurani rakyat. Kedua, pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat. Kuat bukan berarti otoriter dan sewenang-wenang, melainkan tangguh dan efektif.

Moh Mahfud MD Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua MK
(Kompas cetak, 21 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger