Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 07 Februari 2013

Rasa Keadilan Tercederai

Terkoyaknya rasa keadilan, dalam kasus korupsi dan narkoba, membenarkan perlu dipentingkannya rasa keadilan daripada keadilan prosedural.
Praksis peradilan di Indonesia banyak mengesahkan pepatah "walau hujan, demikianlah bunyi UU". Padahal, untuk kasus yang menyangkut pejabat publik, persyaratan rasa keadilan perlu lebih diberi perhatian. Perhatian itu tidak terutama oleh jenis kasusnya, tetapi oleh tuntutan posisi jabatan publik di mana integritas pribadi menentukan pembentukan integritas publik. Integritas pribadi pejabat publik teruji ketika dihadapkan pada pilihan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik.
Kasus Bupati Garut Aceng Fikri, kasus Daming Sanusi, kasus Angelina Sondakh, kasus Hartati Murdaya, dan kasus penulis surat pembaca (Khoe Seng Seng) yang didenda Rp 1 miliar, semuanya analog: tercederainya rasa keadilan. Keadilan prosedural dikedepankan.
Lima jenis kasus itu kalau diterus-teruskan secara tidak langsung menggerogoti pemerintahan, menambah poin kegagalan dan menyingkapkan kedok pencitraan. Yang tersandera tak hanya birokrasi dan lembaga pemerintahan, tetapi pimpinan nasional. Secara tidak langsung, pencederaan rasa keadilan ibarat gali lubang kubur sendiri. Kekuasaan itu di satu sisi kehormatan yang membawa tanggung jawab, noblesse oblige, di sisi lain kekuasaan itu cenderung korup, selalu dahaga tidak pernah terpuaskan.
Di antara dua pendulum itu, pejabat publik memainkan peran yang seharusnya dengan rambu etika pejabat publik. Kebijakan yang diputuskan dengan mengedepankan kepentingan umum niscaya menopang integritas yang pada gilirannya memperkuat posisinya di mata umum. Sebaliknya, kalau pejabat publik cenderung keluar dari rambu etika moral pejabat publik, ia masuk dalam proses pengingkaran (deindividuation).
Pertimbangan kepentingan individu dominan. Akseptabilitas publik yang rendah ditolak sebagai kesalahannya, melainkan kesalahan orang lain, yang direpresentasikan dalam pernyataan politik tingkat tinggi "bagian dari pendongkelan kedudukan". Dengan rendahnya kadar akseptabilitas di satu pihak dan proses pengingkaran di pihak lain, pejabat publik—termasuk pimpinan partai—menghadapi dilema moral.
Mengundurkan diri adalah simbol integritas moral tanggung jawab (Haryatmoko, Etika Pejabat Publik, 2011). Mengundurkan diri adalah ungkapan tanggung jawab yang tidak bisa dipenuhi. Catatan normatif mengenai tercederainya rasa keadilan memperkuat keyakinan, mengedepankan keadilan prosedural dan legal secara tidak langsung mengikis akseptabilitas moral pemerintahan dan pimpinan nasional.
Apalah artinya hukum tanpa moral? Apalah artinya melakukan pengingkaran, yang di satu sisi melawan hati nurani, dan di sini lain menggali lubang kubur sendiri lebih dalam? Kata Hannah Arendt, membiarkan pengikisan terus terjadi awal terjadinya kejahatan pejabat publik yang berdampak sosial.
(Tajuk Rencana, Kompas cetak, 7 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger