Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 06 Maret 2013

Hentikan Marjinalisasi Petani (Toto Subandriyo)

Toto Subandriyo
Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Desa Tuwel, Kabupaten Tegal, belum lama ini, menjadi ajang curhat petani tentang maraknya impor sayuran.
Desa yang terletak di kaki Gunung Slamet tersebut dalam peta Kementerian Pertanian tercatat sebagai desa sentra produksi sayuran, utamanya bawang putih.
Maraknya impor dan penyelundupan bawang putih telah mengubur kisah sukses petani Desa Tuwel. Secara umum, praktik kartel pangan telah merusak sistem pertanian nasional dan menyengsarakan para petani. Tidak ada lagi hamparan ribuan hektar tanaman bawang putih di kanan kiri jalan menuju obyek wisata air panas Guci seperti era 1980-an. Tak ada lagi komunitas "Arisan Haji" yang dulu tiap tahun memberangkatkan paling tidak dua pasang anggotanya.
Duka petani itu semakin lengkap ketika belum lama berselang Kejaksaan Agung menetapkan tiga orang tersangka kasus korupsi proyek pengadaan benih di Kementerian Pertanian periode 2008-2011. Sungguh ironis, saat DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, secara kasatmata anggaran subsidi sarana produksi petani dirampas.
Sudah banyak kasus terungkap, termasuk sedikitnya ada 400 kasus penyelewengan pupuk bersubsidi dalam catatan Komisi IV DPR. Juni 2012, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan 20 kontainer pupuk bersubsidi ke Malaysia. September lalu, penyelundupan empat kontainer pupuk urea bersubsidi ke Malaysia kembali digagalkan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Marjinalisasi petani di negeri ini masih terus berlangsung. Dalam sebuah artikel beberapa tahun lalu, Budayawan Jakob Sumardjo menulis bahwa bangsa ini telah membunuh para petaninya lewat industri agrikultur tahun 1830. Sumber hidup bangsa itu dimatikan kaum penjajah dan dilanjutkan bangsa Indonesia pasca-kemerdekaan.
Penyerobotan tanah-tanah petani yang menjadi basis produksi pangan adalah modus lain "pembunuhan" petani. Konflik agraria struktural antara petani dengan pemodal dan atau instrumen negara marak beberapa tahun terakhir. Badan Pertanahan Nasional mencatat, hingga kini, masih ada 8.000 konflik pertanahan yang belum diselesaikan.
Catatan Epistema Institute menyebutkan, pada 2012 terdapat 156 petani ditahan tanpa proses hukum, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak dan 3 orang meninggal. Berangkat dari keprihatinan inilah 147 akademisi dari sejumlah perguruan tinggi dan lembaga penelitian mengirim surat petisi kepada Presiden SBY agar konflik agraria itu segera diselesaikan.
Penegakan hukum
Pasal 1 butir (2) RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menyebutkan bahwa perlindungan petani adalah segala upaya membantu petani menghadapi permasalahan prasarana dan sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
Dalam beberapa hal, upaya perlindungan petani masih sebatas jargon. Berbagai kasus penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi sering tidak berakhir di meja hijau. Kasus penyelewengan hanya heboh di awal, kemudian masuk peti es.
Perlindungan terhadap lahan pertanian juga belum secara serius. Meski sudah ada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, konversi lahan sawah tetap berlangsung masif. Inilah awal dari bencana karena sektor industri tidak serta merta mampu menyediakan lapangan kerja bagi para petani ataupun buruh tani yang tanahnya dikonversi. Terjadilah pengangguran dan kemiskinan yang beranak-pinak.
Para petani harus dilindungi dari praktik usaha tidak sehat, seperti praktik kartel. Pelaku kartel (kartelis) selalu memainkan jurus-jurus busuk, kongkalikong, untuk memainkan harga pangan. Akibatnya struktur pasar menjadi timpang, monopolistik, dan oligopolistik. Sering terjadi kelangkaan kebutuhan pokok yang membuat harga bergejolak tanpa penyebab jelas. Mekanisme pasar lumpuh, hukum penawaran dan permintaan tak berfungsi.
Sesungguhnya praktik kartel ini dapat diredam jika negara memiliki lembaga otoritas pangan yang kuat, profesional, dan independen. Undang-Undang No 18/2012 tentang Pangan (revisi UU No 7/1996) telah mengamanatkan pentingnya badan otoritas pangan yang langsung di bawah presiden. Melalui penguatan jaringan dengan para pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, jurus kartel dapat dilumpuhkan. Melalui mekanisme pasar yang sehat, harga pangan terjangkau dan kesejahteraan petani meningkat.
Menyangkut konflik pertanahan yang masih menggunung, di samping penyelesaian melalui pengadilan, perlu pula revisi terhadap semua produk peraturan tentang pertanahan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit telah menegaskan masalah ini. Peraturan menyangkut tanah dan penguasaan sumber daya oleh kementerian/instansi yang bertentangan harus direvisi.
Para petani juga harus dilindungi dari globalisasi perdagangan. Mulai dari pestisida berbahaya, benih transgenik, atau pupuk kimia yang di negara asal telah dilarang. Anthony Giddens (1999) mengingatkan bahwa globalisasi perdagangan tidak menciptakan perkampungan global (global village), tetapi lebih mirip penjarahan global (global pillage). Saatnya marjinalisasi petani di republik ini diakhiri.
Toto Subandriyo Peminat Masalah Sosial- Ekonomi; Anggota Badan Pertimbangan Organisasi HKTI Kabupaten Tegal, Jateng
(Kompas cetak, 6 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger