Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 April 2013

Ambang Batas Dinasti Politik (Umar Syadat Hasibuan)

Oleh Umar Syadat Hasibuan

Dalam hitungan maju sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diberlakukan, cengkeraman dinasti politik di setiap daerah semakin menguat. Pilkada makin ditandai dengan pesta keluarga.

Dalam lingkup sempit, horizontal dan vertikal, para anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah pejabat petahana mencalonkan diri dalam arena pilkada. Dalam arti luas, para keponakan dan menantu juga tak mau ketinggalan.

Selama satu dasawarsa terakhir, di sejumlah daerah, mata rantai alih kuasa dalam satu dinasti politik makin tak kenal jeda. Proses demokrasi di daerah dengan mekanisme pilkada hanya jadi pesta besar sejumlah dinasti. Kuasa dinasti yang mencengkeram sejumlah daerah ini pun berkelindan dengan kepentingan dinasti di level lokal dan nasional. Anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala daerah pun ramai-ramai bertarung dalam kontes pemilu legislatif untuk DPRD, DPD, dan DPR. Sistem politik yang dibangun dengan semangat demokrasi makin dibajak oleh sejumlah dinasti.

Belenggu dinasti politik

Sudah saatnya kita belajar dari dampak negatif dinasti politik di sejumlah negara. Pada masa Orde Baru, dinasti politik telah menjadi "momok" dan diyakini menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Data dari Kementerian Dalam Negeri mengidentifikasi ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik di beberapa daerah di Indonesia (2013). Dari 57 kepala daerah yang mencalonkan para anggota keluarga yang memiliki pertalian darah, hanya 17 di antaranya yang kalah di arena pilkada. Selebihnya, mereka menjadi pemenang menggantikan kekuasaan keluarganya.

Menguatnya politik dinasti di sejumlah daerah ini juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan para anggota keluarga dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik bukanlah satu-satunya faktor maraknya korupsi di daerah. Namun, makin rapatnya kuasa para dinasti di sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak terhindarkan.

Menguatnya lapisan dinasti politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan sistem politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan—yang mestinya bersifat terbuka—kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.

Kedua, dominasi dan belenggu dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke arah "personalisasi dan privatisasi kepentingan politik". Dalam sistem demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan dikelola oleh parpol—yang mestinya untuk kepentingan publik—pada akhirnya diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.

Ketiga, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik ini juga akan semakin membusukkan budaya politik dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan aset publik.

Keempat, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja sistem politik. Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal, arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.

Mencari ambang batas

Dominasi dan cengkeraman dinasti politik di daerah, bagaimanapun, harus dibatasi. Siapa pun yang memiliki akumulasi kekuasaan luar biasa dan berbasis kekerabatan cenderung sulit mengendalikan moral hazard yang dimilikinya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Maka, tepat jika RUU Pilkada yang saat ini diusulkan pemerintah mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga dinasti politik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Pasal 70 (p) menyebutkan bahwa warga negara Republik Indonesia yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/wali kota adalah yang tidak punya ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Ketentuan di atas jadi penting dimasukkan dalam RUU Pilkada mengingat potensi konflik kepentingan pejabat petahana terhadap calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah akan tak terhindarkan. Meski Pasal 93 Ayat (1) menyebutkan sejumlah larangan dalam kampanye adalah di mana calon kepala daerah tidak boleh melibatkan pejabat petahana hingga pegawai negeri, kepala desa dan perangkat desa, tetapi konflik kepentingan pasti sulit dihilangkan oleh pejabat yang anak, istri, adik, dan kakaknya jadi calon kepala daerah.

Meskipun Pasal 94 Ayat (1) menegaskan, "pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye", tetap saja fakta di lapangan menunjukkan sejumlah pejabat petahana membuat sejumlah kebijakan politik yang menguntungkan calon kepala daerah yang menjadi kerabatnya.

Meski Pasal 92 (f) menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, dan hal ini merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 95 Syat 1), dalam pelaksanaannya tindakan penegakan hukum atas hal itu sangat lemah. Karena itu, Pasal 70 (p) di atas jadi kunci utama mengantisipasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas yang dimiliki pejabat petahana.

Gejala penguatan cengkeraman dinasti politik di sejumlah daerah, bagaimanapun, akan menggerus nilai-nilai demokratisasi di Indonesia. Tak semua menyadari bahaya yang mengancam di balik cengkeraman dinasti politik di setiap daerah. Sebaliknya, banyak di antara mereka yang telanjur nyaman dengan cengkeraman keluarga dinasti politik tertentu.

Adalah tanggung jawab negara untuk mengatur kembali ambang batas dominasi dinasti politik dalam pilkada. Mereka yang menjadi anggota keluarga dekat—baik vertikal maupun horizontal—dari pejabat petahana tentu tidak akan dihilangkan haknya sebagai warga negara sebagai calon kepala daerah. Beragam moral hazard dari pejabat petahana dan keluarganya—yang berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya di arena pilkada untuk menguntungkan mereka—sedini mungkin harus dicegah agar monopoli kekuasaan tidak membunuh nilai-nilai demokratisasi di setiap daerah.

Umar Syadat Hasibuan Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(Kompas cetak, 11 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger