Degradasi suatu bangsa bisa juga dikenali dengan semakin mandulnya bangsa itu melahirkan tokoh-tokoh legendaris. Jagat politik, sosial, budaya, dan ekonomi lebih banyak memproduksi pekerja, bukan para pendekar, resi, atau begawan.
Manusia berkelas legenda adalah pribadi berintegritas, berkomitmen, dan berkapabilitas yang berwatak solider. Dalam menunaikan peran sosialnya, ia lebih berorientasi pada nilai-nilai kolektif masyarakat/bangsa.
Setiap tugas dipahami sebagai pilihan dan tindakan etis, bukan sekadar masalah teknis. Berbagai jenis ganjaran tidak dihayati sebagai target, tetapi efek. Dalam terminologi budayawan Umar Kayam, setiap tugas dan peran sosial adalah darma: satu-satunya pamrih hanyalah terwujudnya pengabdian sosial.
Kesadaran tinggi atas darma mendorong manusia berkelas legenda mampu melampaui dirinya sendiri. Semua tugas dan kewajiban dijalankan atas nama martabat yang berbasis etika dan etos yang tecermin pada nilai-nilai yang diperjuangkan dan karya/kreativitas yang dilahirkan. Kristalisasi etika dan etos ini hadir jadi inspirasi bagi publik untuk menemukan jalan alternatif menghadapi berbagai kebekuan dan kebuntuan. Karena itu, pada dasarnya manusia berkelas legenda juga seorang pembebas.
Kini kita kian sulit menemukan sosok manusia legenda di ra- nah kehidupan yang bertautan dengan nilai, khususnya terkait dengan para penyelenggara negara. Di bidang politik, misalnya, kita lebih banyak menemukan para petualang yang mengatasnamakan kepentingan publik, tetapi sejatinya tidak serius bekerja untuk publik.
Mereka tak lebih dari tukang catut publik. Predikat atau status hanya jadi embel-embel yang dipakai demi mendapat legitimasi publik atau melegalkan pelbagai kepalsuan. Inilah zaman yang, menurut Jayabaya—pujangga dan Raja Kediri Jayabaya (bertakhta pada 1135-1157)—penuh anomali: nilai-nilai jungkir-balik.
Kenikmatan pencitraan
Ketika hidup hanya dipahami sebatas pemenuhan kenikmatan dan pencitraan, bangsa ini pun semakin menyerah dalam terkaman pragmatisme (sesuatu dianggap benar jika berguna). Apa pun akan diambil orang sepanjang hal itu menguntungkan dan memberikan kepuasan sesaat. Pertimbangan etis dan nilai ditendang ke dalam tong sampah. Catatan sejarah tak lagi jadi obsesi kolektif bangsa.
Hampir semua profesi yang terkait dengan nilai keadaban publik cenderung tereduksi menjadi sekadar kerja pertukangan yang tunduk pada hukum penawaran dan kebutuhan. Wani, piro? (berani membayar berapa) menjadi kata kunci mahasakti. Uang telah menjadi panglima. Idealisme jadi bahan olok-olok.
Ranah kebudayaan bangsa telah dirusak pestisida kapitalisme dan liberalisme. Bibit-bibit organik unggul jadi tumpul. Hanya tanaman hasil persilangan dari genetika "pintar", "terampil", dan "pragmatis"-lah yang direstui hidup dan tumbuh dalam ekologi pasar bebas. Makna kata pintar tak selalu mencerminkan kecerdasan dan kearifan, tetapi bisa berarti banyak akal, licik, dan culas. Terampil dapat diartikan kecakapan teknis yang hampa nilai alias hanya tunduk kepada si pembayar. Pragmatis bisa diartikan sikap memilih jalan instan, di mana yang diutamakan hanyalah guna dan keuntungan.
Tanah air kebangsaan kita bukan lagi sebuah taman seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara: ruang kehidupan yang dipenuhi anak-bangsa dengan kultur beragam dan tumbuh menjadi manusia-manusia merdeka lahir batin. Tanah air kebangsaan kita tak lebih dari ruang bagi kerumunan (massa) yang homogen dalam pola pikir, gaya hidup, selera dan impian, yakni menyembah (kekuasaan uang demi meraih) kenikmatan.
Jika mereka "jadi" pemimpin, sesungguhnya mereka sedang melakukan penyamaran peran dan status demi melampiaskan hedonismenya. Ada seorang menteri yang justru sangat bangga dengan ketidakmampuannya demi menghindar dari tanggung jawab seandainya ia gagal dalam tugas. Ada juga menteri yang sangat pintar mengiba kepada publik dengan "menjual" permintaan maaf ketika ia gagal memimpin departemennya dalam melindungi warga masyarakat dari tindakan barbar para preman.
Ada juga menteri yang selalu tampil dengan gaya "yakin", tetapi setelah argumentasinya dikejar, akhirnya tampak bahwa menteri itu tidak menguasai masalah. Ada pula menteri yang sok populis dan pergi ke mana-mana membawa wartawan agar seluruh tindakan "membela" kepentingan publik disiarkan. Publik pun ditipu mentah-mentah karena tindakan sang menteri itu tak lebih dari gincu sosial.
Sungguh tragis
Jangan salahkan jika publik tak hafal nama-nama menteri saat ini karena kinerja mereka memang tidak mengesankan (memberikan pelayanan maksimal). Bandingkan, misalnya, dengan menteri-menteri dengan nama beken seperti Adam Malik, Ali Said, Emil Salim, Fuad Hassan, dan Mochtar Kusumaatmadja di era Orde Baru. Publik sangat hafal dengan nama-nama yang sangat legendaris itu.
Obsesi jadi legenda: bukan narsisme, melainkan gantungan cita-cita sosial yang wajib dimiliki setiap anak bangsa dalam setiap peran sosial dan kulturalnya. Obsesi itu yang kini tidak dimiliki banyak orang, ketika cita-cita personal untuk meraih kamukten (kekayaan dan citra yang bisa juga semu) menyerimpung kebudayaan kolektif publik.
Pertanyaan "berapa kekayaanmu" dianggap jauh lebih penting daripada "apa yang sudah kamu perbuat untuk bangsamu". Akhirnya, bangsa ini hanya punya para penyelenggara yang kaya material, tetapi miskin integritas, komitmen, dan kapabilitas serta dedikasi. Sungguh tragis!
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan
(Kompas cetak, 23 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar