Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 April 2013

Konsolidasi Sipil-Militer (Andi Widjajanto)

Oleh Andi Widjajanto

Salah satu variabel yang turut menentukan konsolidasi demokrasi Indonesia adalah kualitas hubungan sipil-militer. Kerangka kerja demokratis pada dasarnya memberikan porsi tanggung jawab besar kepada otoritas politik sipil untuk mengendalikan militer.

Jika dalam proses demokratisasi profesionalitas militer gagal dibangun, kegagalan terbesar bersumber pada kapasitas sipil dalam melakukan institusionalisasi hubungan sipil-militer yang kokoh.

Tulisan ini menjabarkan lima tingkatan kendali sipil atas militer yang seharusnya terjadi di Indonesia, yaitu: (1) pemerintah dan DPR berhasil merumuskan regulasi-regulasi politik untuk menyelenggarakan pertahanan negara; (2) Menteri Pertahanan merumuskan strategi dan kebijakan pertahanan militer sebagai pedoman umum bagi perumusan strategi militer di tingkat operasional dan taktis; (3) Dewan Pertahanan Nasional merumuskan kebijakan terpadu untuk mewujudkan sinergi antarkementerian/lembaga lain dengan Kementerian Pertahanan dan TNI dalam menghadapi ancaman nonmiliter; (4) anggaran operasional TNI sepenuhnya berasal dari APBN; dan (5) kendali pengerahan pasukan TNI ada di otoritas politik presiden dan DPR.

Kendali regulasi dan strategi

Di tingkat kendali pertama, pemerintah dan DPR belum berhasil menuntaskan paket undang-undang yang diperlukan untuk menguatkan kendali sipil atas militer. Sampai saat ini, hanya UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang berhasil disahkan pada masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Hingga tahun kesembilan masa jabatannya, Presiden SBY belum juga berhasil mengesahkan paket UU utama yang berkaitan dengan pertahanan dan militer.

Beberapa RUU seperti Keamanan Nasional, Komponen Cadangan dan Pendukung, Bela Negara, Mobilisasi, Peradilan Militer, dan Tugas Perbantuan bukan saja belum berhasil disahkan, melainkan juga malah memunculkan polemik publik tentang kemungkinan kembalinya peran militer dalam sistem sosial dan politik Indonesia.

Di tingkat kendali kedua dan ketiga, pada 2008 telah terbentuk produk-produk strategis Kementerian Pertahanan seperti Kaji Ulang Pertahanan (Strategic Defense Review), Buku Putih Pertahanan, Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara, serta Postur Pertahanan Negara. Di kedua tingkat ini, konsolidasi kendali sipil akan terwujud jika terjadi sinkronisasi dokumen kebijakan pertahanan dengan strategi dan doktrin militer. Sinkronisasi ini dilakukan terutama dengan menyelaraskan Doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma dan ketiga doktrin angkatan (AD—Kartika Eka Paksi, AU—Swa Buana Paksa, dan AL—Eka Sasana Jaya) dengan Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara.

Konsolidasi lain yang diharapkan terjadi adalah pembentukan kebijakan dan postur pertahanan nonmiliter untuk menghadapi ancaman nonmiliter. Untuk membentuk kebijakan dan postur itu, presiden harus membentuk Dewan Pertahanan Nasional sesuai mandat Pasal 15 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dewan Pertahanan Nasional ini mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan terpadu yang memungkinkan terpenuhinya prinsip kesemestaan dalam sistem pertahanan.

Terobosan utama pemerintahan SBY di masa Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro terjadi di tingkat keempat kendali sipil atas militer. Saat ini, anggaran operasional militer sepenuhnya berasal dari APBN. Topangan anggaran di luar APBN yang bersifat struktural dan sistematis, terutama yang berasal dari bisnis militer, telah dihilangkan sesuai mandat Pasal 76 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Alokasi anggaran ini bahkan berhasil dinaikkan secara signifikan sehingga sejak 2007 anggaran Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI merupakan pos anggaran terbesar pemerintah pusat.

Kenaikan signifikan ini juga diikuti dengan dukungan jangka menengah untuk pengadaan senjata sebesar Rp 156 triliun dari tahun 2010 hingga tahun 2014 sebagai bagian dari pembangunan Kekuatan Pertahanan Minimum 2024.

Kegamangan pengerahan TNI

Di tingkat kelima, masalah utama kendali sipil atas militer terlihat di kasus penyerangan markas polisi di OKU, Sumatera Selatan, dan pelibatan anggota TNI pada penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta.

Kedua kasus itu secara ekstrem menunjukkan adanya kelemahan mekanisme dan prosedur pengerahan kekuatan sehingga ada unit TNI bisa melakukan penggunaan kekuatan represif tanpa proses politik yang sah.

Kegamangan politik untuk pengerahan TNI memang belum berhasil dihilangkan. Pasal 14 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur secara rinci prosedur pengerahan kekuatan TNI untuk kebutuhan operasi militer perang. Untuk operasi militer selain perang, prosedur pengerahan diatur Pasal 7 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hingga hari ini, kedua prosedur pengerahan itu belum pernah secara formal dilakukan presiden dan DPR.

Pasal 14 memang belum pernah digunakan karena Indonesia belum pernah menyatakan perang dengan negara lain. Namun, Pasal 7 UU TNI seharusnya sudah beberapa kali berlaku seperti untuk penugasan Satuan Tugas Merah Putih dalam rangka operasi pembebasan sandera bajak laut Somalia, misi perdamaian Pasukan Garuda di Lebanon, perbantuan TNI untuk beberapa operasi tanggap darurat penanggulangan bencana, atau pengamanan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya oleh Pasukan Pengaman Presiden.

Kegamangan ini sebaiknya segera dihilangkan dengan merumuskan suatu konsistensi prosedur pengerahan TNI sehingga menutup kemungkinan munculnya celah kompromi politik yang bisa melemahkan kendali sipil atas militer.

Intervensi militer

Salah satu ujian terbesar bagi kendali sipil atas militer adalah apakah TNI akan terlibat atau dilibatkan dalam melakukan intervensi proses Pemilu 2014. Kajian-kajian hubungan sipil-militer menunjukkan, militer cenderung akan melakukan intervensi ke proses politik jika militer memiliki persepsi kuat tentang adanya kegagalan sipil dalam menyelenggarakan negara, dan sipil yang gagal ini juga mengganggu kepentingan institusi militer.

Jika kasus korupsi, kelangkaan bawang, atau kerusuhan Pilkada Poso dipersepsikan TNI sebagai wujud lemahnya kapasitas sipil, dan persepsi ini diperkuat kegelisahan TNI tentang campur tangan sipil yang dianggap terlalu dalam, misalnya, tentang pengadaan senjata atau pergantian pucuk pimpinan TNI, kemungkinan intervensi militer dalam proses politik Indonesia kembali terbuka.

Kemungkinan intervensi harus dihilangkan terutama dengan memperkokoh konsolidasi hubungan sipil-militer. SBY masih punya waktu hingga Oktober 2014 untuk menutup lubang-lubang yang muncul dalam lima tingkatan hubungan sipil militer. Di sisa masa baktinya, SBY harus berupaya maksimal menuntaskan paket UU bidang pertahanan dan militer terutama UU Keamanan Nasional, UU Komponen Cadangan, dan UU Peradilan Militer. Presiden juga harus kembali mempertimbangkan pembentukan Dewan Pertahanan Nasional untuk memungkinkan terwujudkan suatu kebijakan terpadu tentang strategi dan postur pertahanan semesta.

Di tengah kemungkinan imbas krisis ekonomi global ke Indonesia, presiden harus bisa menjamin komitmen kesinambungan alokasi anggaran pertahanan untuk mewujudkan Kekuatan Pertahanan Minimum 2024.

Kegamangan politik pengerahan kekuatan TNI harus segera dihilangkan dengan melakukan konsultasi politik dengan DPR untuk mendapatkan pemahaman tunggal tentang otoritas pengerahan presiden dan DPR.

Andi Widjajanto Dosen Studi Pertahanan FISIP UI
(Kompas cetak, 10 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger