Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 20 April 2013

KPU dan Pemberedelan Pers (Agus Sudibyo)

Agus Sudibyo

Maksud baik sering tidak disertai dengan kearifan dalam penerjemahannya.

Entah karena ada kepentingan terselubung atau semata-mata karena ketidakpahaman, penerjemahan maksud baik itu bisa bertentangan dengan prinsip fundamental dan berpotensi merugikan kepentingan publik.

Hal ini pula yang terjadi dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Legislatif. Di dalam bagian yang mengatur kampanye di media massa, cukup jelas KPU bermaksud mewujudkan ruang publik media yang demokratis, deliberatif, dan terbebas dari praktik manipulasi, mobilisasi, dan instrumentalisasi oleh kepentingan bisnis atau politik tertentu.

Demi menjaga asas keberimbangan dan keadilan, KPU mengatur pelarangan penjualan blocking segment atau blocking time untuk kampanye pemilu di media cetak dan penyiaran (Pasal 41). Untuk menghindari iklan terselubung, KPU melarang media cetak dan penyiaran menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu.

Batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di media massa bagi peserta pemilu secara tegas juga ditentukan. Media massa dilarang menjual spot iklan melebihi batas maksimum tersebut meskipun ada spot iklan yang tidak dimanfaatkan peserta pemilu yang lain.

Sanksi pelanggaran

Pengaturan semacam ini memang diperlukan. Media massa sebagai ruang publik harus mencerminkan keragaman pandangan, opini, dan aspirasi politik yang berkembang di masyarakat. Media massa dapat menyajikan pilihan-pilihan politik, tetapi untuk selanjutnya membiarkan masyarakat menentukan pilihannya sendiri. Dengan catatan bahwa detail pengaturan perlu didiskusikan dengan para pemangku kepentingan, peraturan tentang kampanye pemilu di media massa patut disambut.

Namun, persoalannya kemudian pada rumusan tentang sanksi. Pasal 45 PKPU No 1 Tahun 2013 menyatakan, jika terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan tentang kampanye pemilu di media massa, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud dalam UU Penyiaran.

Ada yang tidak logis di sini. Yurisdiksi Dewan Pers adalah UU Pers sehingga tidak mungkin Dewan Pers menjatuhkan sanksi berdasarkan UU Penyiaran atau UU yang lain. Lebih dari itu, Peraturan KPU itu mengatur pedoman kampanye pemilu secara umum di semua jenis media, yakni cetak, televisi, radio, dan online. Namun, mengapa Pasal 45 PKPU hanya mengatur penjatuhan sanksi berdasarkan UU Penyiaran, seakan-akan yang diatur hanyalah pedoman kampanye pemilu di televisi dan radio? Tentu tak logis menjatuhkan sanksi untuk media massa cetak atau online berdasarkan UU Penyiaran.

Yang lebih memprihatinkan kemudian adalah bentuk sanksi yang akan dijatuhkan kepada media massa pelanggar ketentuan kampanye pemilu (Pasal 46): teguran tertulis; penghentian sementara mata acara bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu; sanksi denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu untuk waktu tertentu; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Ketentuan sanksi ini menunjukkan KPU tidak sensitif terhadap isu kemerdekaan pers dan kurang memahami kaidah penyelesaian masalah pers. Pembekuan kegiatan pemberitaan dan pencabutan izin penerbitan media cetak adalah sesuatu yang tabu dalam rezim demokratis di mana pun.

Tak kebal hukum

Kedua jenis sanksi itu sama statusnya dengan pemberedelan yang tidak dapat dilakukan siapa pun, baik pemerintah, DPR, Dewan Pers, maupun KPU. Semua ide pemberedelan pers niscaya akan ditentang dengan keras oleh komunitas pers dan masyarakat sipil. Inilah bagian yang paling kontroversial di dalam PKPU itu dan yang harus dikoreksi sesegera mungkin.

Sungguh pun demikian, bukan berarti pers kebal hukum. UU Pers telah mengatur pidana denda untuk pers yang tidak memenuhi asas praduga tak bersalah atau yang tidak memenuhi ketentuan hak jawab (Pasal 18). Pidana denda dapat ditempuh setelah melalui proses penyelesaian kode etik di Dewan Pers.

Pidana denda dipilih untuk memberikan efek jera kepada pers tanpa mematikan hak-haknya menyebarluaskan informasi dan melakukan kontrol sosial. Suatu hal yang niscaya terjadi jika pencabutan izin penerbitan dilakukan. Namun, di luar konteks jurnalistik, wartawan tetaplah warga negara biasa yang dapat dipidana jika melakukan pelanggaran hukum. Wartawan dan pemilik media tidak dapat berlindung di balik UU Pers untuk kesalahan-kesalahan di luar konteks jurnalistik seperti pemerasan, penipuan, kekerasan, korupsi, dan pencucian uang.

Menggunakan pendekatan yang sama, sanksi denda lebih masuk akal diterapkan kepada media yang melanggar ketentuan kampanye pemilu. Pelanggaran yang mana denda diterapkan dan seberapa besar jumlahnya perlu didiskusikan dengan Dewan Pers dan pemangku kepentingan.

Pencabutan izin siaran media penyiaran memang dimungkinkan oleh UU Penyiaran. Namun, perlu ditegaskan pencabutan izin siaran adalah jalan terakhir setelah sanksi-sanksi yang lebih ringan tidak menyelesaikan masalah: a) teguran tertulis; b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c) pembatasan durasi dan waktu siaran; d) denda administratif; e) pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; f) tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; g) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

KPU tidak perlu membuat rumusan sanksi tersendiri untuk pelanggaran kampanye pemilu di media penyiaran, tetapi cukup merujuk kepada ketentuan sanksi di dalam UU Penyiaran ini. Dengan demikian, KPU tidak terjerembap dalam kontroversi yang bisa memperburuk hubungan dengan komunitas pers yang dapat memengaruhi kinerja KPU secara lebih luas.

Agus Sudibyo Direktur Indonesian Research Centre Jakarta

(Kompas cetak, 20 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger