Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 April 2013

Merawat Integritas KPK (DONAL FARIZ)

DONAL FARIZ
Komite Etik telah menuntaskan penelusuran dugaan pelanggaran etik atas bocornya draf surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum, Rabu (3/4). Alhasil, dua unsur pimpinan dan satu sekretaris pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap melanggar kode etik.
Setelah bekerja selama lima pekan, Komite Etik akhirnya merampungkan penelusuran atas bocornya draf surat perintah penyidikan (sprindik) milik KPK yang beredar luas di publik. Sebagai catatan, ini kali kedua KPK membentuk Komite Etik untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik yang dilakukan unsur pimpinan. Namun, Komite Etik kedua ini dianggap lebih "panas" dibandingkan dengan sebelumnya karena diwarnai isu kudeta yang diembuskan salah satu pimpinan KPK.
Komite Etik menemukan pelanggaran yang dilakukan dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja. Keduanya diberi sanksi berupa teguran tertulis untuk Abraham Samad, dan teguran lisan diberikan kepada Adnan Pandu Praja.
Namun, mereka berdua dianggap bukanlah dalang di balik kebocoran dokumen KPK tersebut. Adapun pelaku utamanya adalah Wiwin Suwandi, sekretaris Ketua KPK Abraham Samad. Wiwin terbukti menyebarkan kopi draf sprindik kepada dua wartawan media cetak nasional.
Pembocoran informasi dan dokumen oleh Wiwin disebutkan bukanlah yang pertama kali dilakukan. Dari penelusuran Komite Etik, ditemukan sejumlah fakta yang cukup mencegangkan. Yang bersangkutan juga turut membocorkan informasi terkait perkara lain, yakni kasus Buol, kasus Korlantas, hingga kasus kuota daging sapi impor (Kompas, 4/4).
Menjadi pertanyaan besar bagi publik yang seharusnya ditemukan oleh Komite Etik, apa motivasi yang bersangkutan menyebar dokumen-dokumen penting di KPK?
Karena berada di luar jangkauan Komite Etik, Wiwin belum diberi saksi. Wewenang memberikan sanksi berada di Majelis Dewan Pertimbangan Pegawai. Berkaca pada tindakan dan akibat yang ditimbulkan, yang bersangkutan sudah selayaknya diberhentikan secara tidak hormat dari KPK.
Dua sisi
Belajar dari kasus Wiwin, KPK harus melakukan evaluasi terhadap pola rekrutmen pegawai, khususnya pegawai tidak tetap. Temuan Komite Etik menyebutkan, Wiwin menjadi sekretaris Ketua KPK karena permintaan (by request) Ketua KPK Abraham Samad pada waktu itu. Hal ini tidak boleh dilakukan lagi ke depan. Singkat kata, jangan lagi ada jalur-jalur khusus dan orang "titipan" untuk menjadi pegawai KPK, terlebih lagi untuk posisi strategis yang kaya dengan informasi penting.
Jika tidak, kebocoran-kebocoran informasi yang sama sangat mungkin terulang lagi. Maka, KPK harus konsisten dalam melaksanakan standar operasional prosedur perekrutan seorang pegawai di lembaganya.
Hasil temuan Komite Etik ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi temuan tersebut berhasil meruntuhkan tudingan yang dialamatkan kepada KPK terkait dengan penetapan status Anas sebagai tersangka karena pesanan Istana. Maklum saja, di saat tensi politik di internal Partai Demokrat meninggi, Anas dijadikan tersangka oleh KPK karena kasus gratifikasi mobil Harrier.
Poin ke-28 fakta temuan Komite Etik mementahkan tudingan tersebut. Hal ini karena penyelidikan terhadap Anas sudah dimulai sejak Juli 2012 dan telah dilakukan tiga kali gelar perkara atas kasus tersebut. Jika dipahami secara utuh proses yang telah dilalui tersebut, tudingan kelompok pro-Anas terhadap KPK sesungguhnya tidak beralasan.
Sisi lain dari temuan Komite Etik memunculkan realitas problem komunikasi di level pimpinan KPK. Problem tersebut dapat dilacak saat Abraham Samad justru tidak menyampaikan kepada pimpinan lain terkait ekspose tim terkait kasus Anas. Namun, pada saat yang bersamaan, yang bersangkutan justru intens melakukan komunikasi dengan pihak-pihak eksternal KPK.
Hal tersebut merupakan persoalan serius, terlebih lagi jika informasi-informasi penting justru sampai di telinga orang yang sedang menjalani proses hukum di KPK, yang tentu justru akan sangat mengganggu kerja-kerja penyidik. Karena itu, sudah tepat apabila Komite Etik memandang hal ini sebagai kesalahan yang memberatkan Abraham Samad.
Temuan dan sanksi yang diberikan Komite Etik sudah selayaknya menjadi pelajaran serius bagi awak KPK, khususnya para pimpinan. Jangan ada lagi sikap gegabah dalam penuntasan kasus korupsi. Berharap cepat, justru menjadi lambat. Aturan harus menjadi acuan agar tidak melenceng dari etik.
Kepemimpinan kolektif
Hal yang dipahami, pola kerja pimpinan KPK diikat secara kolektif. Pemaknaan bekerja secara kolektif dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 diartikan bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui secara bersama-sama oleh pimpinan KPK. Maka, tidak ada yang paling hebat dan tidak ada pula yang paling berjasa di KPK. Semua diletakkan secara sejajar agar tidak terjadi atraksi satu orang (one-man show).
Karena itu, komunikasi antara pimpinan KPK harus menjadi prioritas perbaikan ke depan. Komunikasi buruk akan menjadi sumber konflik di internal lembaga ini. Kapal KPK bisa karam akibat para nakhoda tidak saling berkomunikasi dan memberi komando dalam berlayar.
Terlebih lagi, KPK sedang mengarungi lautan kasus korupsi di negeri ini. Sebut saja kasus Bank Century, kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia, kasus Hambalang, hingga kasus simulator dan puluhan kasus korupsi lainnya. Mustahil semuanya akan dituntaskan dengan komunikasi yang buruk.
Harus dipahami, penegakan etik jangan sampai dipandang sebagai upaya saling sikut untuk merebut jabatan, melainkan sebagai cara untuk merawat integritas setiap individu-individu di KPK.
Donal Fariz Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
(Kompas cetak, 5 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger