Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 April 2013

Pancasila yang "Digali" (Roch Basoeki Mangoenpoerojo)

Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Presiden mengingatkan bahwa Pancasila tidak boleh disakralkan (Kompas, 27/2).
Ia bukan jiwa bangsa dan tidak sakti. Pihak yang menyakralkan berarti tidak tahu Pancasila yang "cuma barang galian".
Saya tahu Pancasila berawal di SMP-SMA pada akhir 1950-an lewat mata pelajaran Civic dengan nilai terbaik. Memperdalam pada insan kamil Pancasila di Akademi Militer oleh Prof Notonagoro, seterusnya pada 1978 saya dianggap layak menjadi pengajar Pancasila di Mabes TNI AD. Namun, tetap saja Pancasila sesuatu yang tak jelas bagi saya. Barang galian itu baru saya temukan saat hidup bersama transmigran pada 1981-1990. Pancasila sangat indah, bukan sakti.
Di sana saya hidup bersama 5.000 keluarga transmigran lain plus ribuan keluarga penduduk Baturaja. Terdiri dari 27 subsuku yang beragam nilai anutannya, rata-rata bersekolah kelas dua SD, lahannya tandus habis, miskin struktural, mereka—saya sangat yakin—akan makmur bila mau bersatu dan kerja keras. Dari hari ke hari saya berupaya mempersatukan mereka.
Keyakinan itu mentok satu tahun pertama. Saling curiga sungguh menghambat. "Biar miskin asal sombong," katanya. Dalam satu blok saja (30 keluarga) sangat sulit dipersatukan, lebih sulit lagi di satu unit permukiman (500-an keluarga), apalagi untuk 5.000 keluarga. Ia layak sombong karena punya lahan lima hektar dan rumah sendiri, dapat saling pamer kebolehan masing-masing dalam komunitas baru, malah sudah mengenal intrik. Sementara itu, lahannya relatif telantar karena tingginya tingkat kesulitan.
Pada tahun kedua, strategi komunikasi diubah. Mereka ditinggikan. Semula saya "ajari", kini bertanya, "Gimana, Kang, menanam cabai itu?" Langsung mereka tunjukkan kebolehan mereka, jati diri mereka muncul, bahkan menganggap saya pemimpin mereka.
Pada tahun ketiga, 12 unit permukiman itu berhasil menyatukan diri dalam Yayasan Batumarta Bangun (YBB). Isak tangis dan peluk kasih mewarnai mencairnya rasa curiga antarmereka. Hancur segala kesombongan, melebur menjadi kebersamaan.
Alam bawah sadar
Isak dan peluk adalah manifestasi Pancasila dari yang bodoh dan miskin menghasilkan partisipasi masyarakat. YBB berswasembada, bekerja sama dengan Sekolah Farming Menengah Atas (SFMA) Ugaran mendirikan SFMA khusus lahan podzolik kuning-merah. SFMA dipilih agar anak mereka bisa menggarap lahan luas itu dengan produktivitas maksimal. Ternyata, kelahiran YBB dan segala swasembadanya tak disukai Pemda Baturaja. SFMA diambil alih, bubar pada tahun keempat. Warga kembali jadi inlander, rendah diri, tetapi suka garang dan sombong.
Teknik komunikasi itu membongkar dua wajah manusia Indonesia. Ketika sadar, wajah inlander sangat kuat, taat sekali kepada orang berkuasa, tetapi jadi garang dan sombong ketika tahu yang dihadapi lemah. Wajah kedua saat alam bawah sadarnya tersentuh. Tampilannya lima sila: percaya kepada Tuhan, berkemanusiaan, ingin selalu dalam persatuan, suka musyawarah, dan berkeadilan antarsesama. Itulah indahnya Pancasila, hanya muncul bila digali dari alam bawah sadar. Dengan Pancasila, orang bodoh dan miskin itu mampu berswadaya bikin SFMA.
Pengalaman itu harus diuji lewat konstitusi. Lima sila terdapat di akhir Pembukaan UUD 1945. Kita harus menguasai jiwa dan napas Pembukaan agar paham Pancasila. Tanpa ingin menjadi Indonesia seperti termaktub di alinea 1, 2 dan 3, sebenarnya kita tak butuh Pancasila. Misalnya, alinea 1 memuat bahwa arti merdeka bagi bangsa Indonesia adalah hak bangsa, bukan hak individu. Artinya, selama hak sebagai bangsa masih terganggu, kita belum merdeka. Maka, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Selama Indonesia hanyut dalam arus penjajahan global, Pancasila tak diperlukan.
Setiap pemimpin di negeri ini dituntut bergairah menggali alam bawah sadar masyarakat. Di alam bawah sadar itulah "keajaiban" Pancasila hadir dan bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Contoh konkret adalah "keajaiban pertempuran Surabaya" dan "keajaiban pengusiran penjajah 1949". Bukan Pancasila yang sakti, tetapi penghormatan harus diberikan kepada kemampuan pemimpin menggali alam bawah sadar masyarakat dan menghasilkan partisipasi untuk pencapaian tujuan kita bernegara dan berbangsa. Sila para pemimpin berpacu mewujudkan partisipasi masyarakat yang berarti Pancasila hadir.
Roch Basoeki Mangoenpoerojo Purnawirawan TNI
(Kompas cetak, 4 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®












1 komentar:

  1. Saya ikut bersamanya, menjadi saksi radikalisasi patriotik Pancasila beliau. Saya ikut menghirup nafas yang sesak di alam inlander itu. Selamat jalan papa.

    BalasHapus

Powered By Blogger