Senin tanggal 15 April 2013 waktu setempat—pukul 01.55 WIB, Selasa 16 April 2013—Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang mengaku sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia digemparkan oleh peristiwa peledakan bom.
Kejadian yang memakan tiga korban tewas, termasuk seorang anak kecil, dan 176 orang luka-luka ini terlihat berbeda dengan peristiwa sejenis yang kerap terjadi di negara tersebut.
Lebih dari satu dasawarsa silam, penegak hukum di sana tentu mengingat kasus Theodore John Keyzynsci, pelaku teror bom seorang diri selama 15 tahun. Ia dijuluki FBI "Unabomber", dengan sasaran universitas dan maskapai penerbangan. Keyzynsci ditangkap pada 1996. Sebelumnya, ia telah melakukan 18 pengeboman dengan jumlah korban 3 orang tewas dan 23 orang menderita luka parah.
Di luar dugaan
Profil yang bersangkutan sangat jauh dari dugaan sebagian besar orang. Pelaku memiliki prestasi mencengangkan: menyelesaikan pendidikan di Universitas Harvard dan meraih gelar PhD dari Universitas Michigan pada usia 27 tahun. Ia pernah menjadi asisten profesor matematika di Universitas California di Berkeley, kemudian berhenti tahun 1969.
Pada tahun 1995, terjadi peledakan gedung bertingkat 18 di Oklahoma City dengan pelaku yang memiliki ciri fisik sangat jauh dari profil penjahat dan teroris. Di AS, bahan untuk membuat peledak memang dibiarkan dijual bebas.
Menlu pada masa itu, Warren Christopher, sempat menduga pemboman terkait dengan aksi terorisme internasional. Namun, analisisnya dan para agen intelijen sangat jauh dari kenyataan. Pelaku adalah warga negara AS bernama Timothy McVeigh.
Kedua contoh pelaku kejadian di atas tentu berbeda dengan peristiwa September kelabu, ketika dua pesawat menabrakkan dirinya ke Gedung WTC dan pesawat lainnya mencoba meledakkan Pentagon. Begitu pula dengan pelaku peledakan di Bali (bom bali), Marriott, Kuningan, Gedung BEJ, Gedung Bhayangkari dekat Mabes Polri, dan seterusnya. Kalau dua ilustrasi di AS menunjukkan pelakunya tunggal, di Indonesia peledakan umumnya terkait organisasi ataupun ideologi keagamaan.
Peledakan bom, baik yang terencana (terstruktur) maupun bunuh diri, memang tidak selalu terkait dengan agama tertentu. Robert A Pape mengemukakan, dalam kurun 1980-2003, di seluruh dunia terjadi 315 serangan bom bunuh diri. Yang terbanyak melakukan justru gerilyawan Tamil di Sri Lanka yang kebanyakan penganut Hindu dan berhaluan Marxis. Mereka melakukan 76 kali lebih banyak dari kelompok Hamas Palestina (Nitibaskara: 2007).
Hipotesis di atas, ditambah kenyataan kasus Keyzynsci dan McVeigh di Amerika Serikat, mematahkan beberapa anggapan negatif sebagian orang yang kerap "menunjuk" Islam bila terjadi suatu peristiwa peledakan bom.
Pelaku dan motif
Pelaku dan motif merupakan hal yang kerap berkaitan satu sama lain. Peledakan bom yang tidak jarang memakan ratusan korban, baik dewasa maupun anak-anak, membuat orang menuding pelakunya keji dan bahkan tidak waras. Namun, kenyataannya, profil para pelaku peledakan bom jauh dari tidak waras, sakit jiwa atau psikopat, bahkan terkadang berpendidikan doktor atau PhD.
Mereka melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan secara sadar dan terencana. Pelaku dapat terdiri dari kelompok gerakan separatis, pembela ideologi tertentu, dissident atau pihak-pihak yang melakukan teror untuk memperlemah atau menguntungkan posisi pemerintah, penganut sekte tertentu (seperti serangan sekte Aum Shinrikyo Jepang tahun 1995), psikopat, dan seterusnya.
Motif yang melandasi perbuatan terkutuk itu dapat berupa dendam atau sakit hati (ingat kasus peledakan bom dengan skala ledak kecil di Gedung Bhayangkari dekat Mabes Polri) hingga karena alasan yang dianggap religius.
Motif pelaku
Secara singkat, motif pelaku antara lain adalah motif politik, motif ekonomi, motif "salvation" (penyelamatan), motif balas dendam, dan kegilaan. Namun, pada intinya motif dan tujuan politis pemboman sulit diraba karena terkadang pelaku tidak mengajukan tuntutan apa pun, bahkan cenderung menyembunyikan diri rapat-rapat. Seakan-akan membiarkan masyarakat kian diliputi rasa takut, tanda tanya, dan kecurigaan.
Tujuan pemboman secara langsung ataupun tidak langsung juga dapat berupa menciptakan mosi tidak percaya rakyat terhadap pemerintah atau memaksa pemerintah mengubah kebijakan politiknya.
Dalam US Public Report of The Vice President's Task Force on Combatting Terrorism, 1986, tujuan terorisme disebutkan untuk mengancam suatu pemerintahan, kelompok, atau perorangan agar mengubah perilaku atau haluan politik (Nitibaskara: 2001).
Motif religius kerap digunakan pelaku peledakan gedung dan instansi yang mewakili otoritas suatu negara yang dianggapnya sebagai musuh. Seperti dalam beberapa kasus, mereka didoktrin untuk memerangi AS beserta antek-anteknya. Maka, sejak itu, dimulailah babak baru dalam perang global ini, di mana "perang" dalam bahasa mereka dapat terjadi di mana saja selama di tempat tersebut ada sosok atau simbol yang dianggap mewakili negara musuh itu berdiri.
Perilaku di atas sejalan dengan teori extended territory, yaitu suatu kawasan yang dijadikan ajang perluasan terorisme yang ditujukan pada sasaran utama. Vo Nguyen Giap, seorang jenderal legendaris Vietnam pernah mengemukakan dalam bukunya People's War People's Army (1961) bahwa "tidak ada batasan yang jelas tentang front dalam peperangan ini. Batasannya adalah di mana musuh berada, front ada di mana-mana, di setiap tempat."
Beberapa peneliti, seperti Jean Baudrillard, menyatakan bahwa tindakan perlawanan yang kebanyakan dilakukan teroris terhadap kepentingan Amerika Serikat merupakan akibat ulah negara tersebut (terrorism is a consequence of America Hegemony).
Ilmuwan lain, seperti Noam Chomsky, menyatakan dengan berani, "The US itself is leading terrorist state." Ia mengajukan sejumlah fakta mengenai kesalahan yang pernah dilakukan AS, seperti mengebom pabrik farmasi di Sudan yang mengakibatkan ribuan anak terkena penyakit TBC, malaria, dan sebagainya akibat radiasi.
Dengan demikian, apabila dilihat dari sudut pandang kemanusiaan dan definisi di atas, peristiwa Boston yang turut memakan korban seorang anak yang sedang menanti ayahnya di garis finis ini, secara akal sehat, sulit dipahami motif dan niat pelakunya.
Meskipun kejadian tersebut tidak turut menjadikan beberapa obyek strategis milik Pemerintah AS ataupun negara lain yang berkedudukan di sana sebagai sasaran, tidak menutup kemungkinan pelaku dapat berasal dari latar belakang apa pun tanpa memandang ras, suku, agama, pendidikan dan ideologi.
Tb Ronny Rachman Nitibaskara Kriminolog dan Ketua Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana UI
(Kompas cetak, 23 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar