Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 April 2013

Sekelumit Sejarah Dua Buku RKUHP (JE Sahetapy)

JE Sahetapy

Secara moral dan etika, saya merasa perlu menjelaskan mengapa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya terdiri atas dua buku.

RKUHP terdiri dari Buku I tentang Asas-Asas Umum (Algemene Beginselen) dan Buku II tentang Kejahatan (Misdrijven).

Pada zaman Orde Baru, sayang saya lupa tanggal dan bulannya, yang pasti setelah 1978, saya diminta oleh mantan promotor saya, Prof Mr Soedarto, bertemu dengan seorang perwira tinggi—katanya dekat dengan Presiden Soeharto—untuk membicarakan RKUHP.

Dalam tukar pikiran yang "intens" saat itu, saya kemukakan alasan dan pertimbangan saya, dan terutama sekali dari segi kriminologi, bahwa RKUHP yang akan datang hanya terdiri atas dua buku. Sebagai contoh saya kemukakan pula KUHP Austria yang terdiri atas dua buku.

Konsultasi

Prof Soedarto dengan persetujuan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada waktu itu mengutus saya ke Belanda untuk berkonsultasi dengan Prof Nico Keyzer dari Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda dan Prof Schaffmeister dari Fakultas Hukum Leiden di Belanda.

Prof Keyzer pada mulanya tidak setuju. "Zeg Sahetapy," kata Prof Keyzer, "Belanda tetap memakai Buku III. Mengapa Anda mau menghapusnya?"

Dalam perdebatan dalam bahasa Belanda, saya tanya mengapa Code Penal dari Perancis yang terdiri atas empat buku cuma diambil alih Belanda menjadi tiga buku. Lagi pula saya tengah membaca buku Prof Schaffmeister tentang rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang) dalam kaitan dengan Buku III WvSNed.

Dalam sesi bertukar pikiran singkat, tetapi mendalam ini "disepakati" bahwa RKUHP Indonesia bisa memiliki dua buku saja. "Disetujui" di sini jangan ditafsirkan secara politis, tetapi perdebatan secara yuridis-filosofis dan kriminologis-sosiologis.

Ketika Prof Soedarto diangkat sebagai Ketua RKUHP oleh BPHN, secara resmi ditetapkan bahwa RKUHP hanya memiliki dua buku.

Alas hukum

Kini, dalam masyarakat beredar terjemahan WvS (Ned-Indie), yaitu dari Prof Moeljatno, dari Soesilo, dan dari BPHN di mana saya turut dalam proses penerjemahan. Ketiganya belum satu pun diberi alas hukum.

Adalah tidak tepat sama sekali kalau dipandang bahwa ketiga terjemahan itu sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan, ketiga terjemahan itu belum ada. Menggunakan Pasal VI sekalipun juga tidak betul. Sebab, dalam pasal tersebut ditetapkan WvS Ned Indie menjadi WVS dan disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tidak bisa ditafsirkan secara lain.

Jadi, terlepas dari kapan RKUHP akan selesai dibahas oleh DPR sekarang, meskipun sudah sangat-sangat terlambat, sudah waktunya penguasa (overheid) memilih salah satu dari tiga terjemahan itu untuk diberi alas hukum agar penerapan hukum pidana ataupun perdata (BW terjemahan Prof Soebekti) berada di rel hukum yang tepat.

JE Sahetapy Guru Besar Emeritus; Tulisan tidak mencerminkan pendapat dari institusi atau kelompok mana pun

(Kompas cetak, 18 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger