Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 April 2013

Surat untuk Wiwin Suwandi (Rahmad M Arsyad)

Oleh Rahmad M Arsyad

Kita mungkin adalah kumpulan anak muda yang tak sabar! Lahir dari kehidupan keras sebuah kampus berwarna darah.

Kawan, kita adalah matahari, nasi sekepal, sesekali mi instan yang tak masak betul. Semuanya cukup jadi bekal bagi pemberontakan, melawan apa saja yang kita pandang tak adil; tak berpihak pada apa yang kita yakini benar.

Lalu kita sama-sama sadar bahwa suara itu terbatas dan tak cukup lama bertahan karena riuh rendahnya kendaraan lalu-lalang, suara pedagang asongan, dan tentu saja tulinya para penguasa. Maka, kita mulai menuliskan amarah kita di media apa saja, lantas bergabung menjadi bagian dari pers mahasiswa.

Indah betul masa itu ketika aksi jalanan, mantra tulisan, dan cinta menjadi satu. Menjadi bagian dari gelora "anak-anak muda" yang ingin keadilan ditegakkan, suara kebenaran di bagikan!

Episode itu kembali berputar di kepalaku. Ketika menyaksikan namamu di sebut-sebut di televisi terkait kasus bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) seorang mantan ketua partai. Wiwin Suwandi, sekretaris pribadi Abraham Samad, sang ketua KPK, menjadi orang di balik bocornya sprindik Anas. Segera saya menghubungimu melalui pesan singkat, menanyakan kebenaran kabar tersebut.

Dengan tenang kau menjawab, "Terima kasih senior, mohon doa dan dukungannya. Yakinlah, saya tidak menjual idealisme dan kehormatan dalam kasus ini. Saya hanya ingin menunjukkan idealisme yang mungkin berlawanan dengan sistem."

Jawaban yang tak jauh berbeda dari apa yang dahulu sering kita bicarakan tujuh atau enam tahun yang lalu saat kita berjumpa terakhir kalinya di sebuah sore di fakultasmu: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kala itu, kita terlibat diskusi panjang tentang perjalanan mahasiswa di akhir masa studi.

Kemudian aku tahu, kau mendirikan Lembaga Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin, sebuah lembaga yang banyak terlibat pada isu hukum dan advokasi. Tahun lalu, dari kawan kita, aku dengar dirimu akhirnya diangkat menemani Bung Abraham Samad, ketua KPK terpilih.

Belenggu etika dan sistem

Maka, seolah melanjutkan episode diskusi yang terpotong, banyak hal kembali kita bicarakan menyangkut keadaan negeri ini. Termasuk soal lembaga tempatmu bekerja, lembaga yang jadi begitu tenar karena kerap berani menindak "orang-orang kuat" di negeri ini. Mulai dari politisi, aparat kepolisian, hingga sejumlah petinggi negara lainya.

Kalian dengan berani melibas mereka yang berlaku curang! Dirimu masih berapi-api seperti dahulu, masih berani dan bernyali seperti dahulu. Ingin menegakkan keadilan dan segala sesuatu yang kau pandang benar!

Kadang aku khawatir terhadap kondisimu. Karena, dalam benakku yang bukan siapa-siapa ini, serangan balik dari orang-orang yang kalian habisi pasti terjadi. Lalu, hari ini tiba. Sebuah kecelakaan terjadi. Namamu disebutkan sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas bocornya sprindik yang misterius itu.

Sebagai kawan, aku bisa memahami langkahmu itu. Langkah anak muda yang merasa birokratisasi, pertimbangan kuasa, kadang terlalu lambat untuk menyampaikan kebenaran kepada rakyat. Dirimu terbiasa menyuarakan sesuatu yang kau anggap benar secara langsung, membaginya kepada media yang dirimu kenali betul wataknya; "para pemburu aktualitas".

Benar juga katamu, "kau hanya menyampaikan keyakinanmu yang mungkin berlawanan dengan sistem". Namun, itulah negeri ini, kita selalu saja diperhadapkan dan dibenturkan oleh sistem. Pertanyaanku kemudian, mengapa para petinggi di lembagamu itu tidak menyuarakannya dari awal kalau memang sejak dahulu Anas Urbaningrum atau siapa pun yang kau bocorkan sprindiknya telah ditetapkan sebagai tersangka?

Mengapa mereka perlu waktu lama untuk menyuarakan hal itu? Bukankah jika alat bukti sudah cukup mereka bisa langsung menyebutkan tersangkanya kepada khalayak luas? Bukankah membiarkan mereka yang terbukti melakukan kejahatan dalam waktu yang lama justru membuat kemungkaran menjadi lebih panjang?

Memang, kadang etika dan sistem adalah dalih yang ampuh mengontrol suara kebenaran. Seperti juga kata Michel Foucault, di balik sebuah sistem tersembunyi pengetahuan yang dibangun untuk mengontrol kesadaran. Itulah kita, oleh sistem maka pengetahuan akan kebenaran harus dibangun dengan dalih kekuasan; "jika bertentangan, kita mungkin saja akan dibersihkan dan dibuang serta dicap sebagai orang-orang yang tak taat sistem, lalu dikatakan tak sadar (gila)!"

Kembali kepada kasusmu, aku yakin bahwa apa yang kau lakukan tidak bermaksud untuk mendapatkan keuntungan dari pihak-pihak yang senang dari jatuhnya mantan ketua partai tersebut. Justru dirimu ingin memberi kabar bagi para penguasa bahwa dari rahim "jas merah" masih ada para pembawa berita untuk kebenaran.

Dirimu hanya ingin menjadi lilin yang menerangi dari pekatnya zaman ini. Di mana kita tidak lagi tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Walau kecil, setidaknya dirimu sudah menyalakan lilin itu, yang mungkin akan membakar habis dirimu. Itulah risiko kita, risiko anakanak muda yang di pandang sering tergesa-gesa dan tak sabar.

Rahmad M Arsyad Alumnus Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin
(Kompas cetak, 10 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger