Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 April 2013

Terlambat Masih Lebih Baik (A Tony Prasetiantono)

A Tony Prasetiantono

Isu pemangkasan subsidi bahan bakar minyak benar-benar telah menjadi "momok" bagi pemerintah. Buktinya, kebijakan ini semula akan dibahas dan diputuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kabinet di Istana Cipanas, akhir pekan lalu (13-14 April 2013). Namun, entah kenapa, pemerintah kembali menundanya.

Pemerintah selalu punya alasan untuk menahan harga BBM bersubsidi. Mereka mencari momentum yang tepat. Masalahnya, apakah memang benar ada "kemewahan" momentum seperti itu?

Sebenarnya, pemerintah sudah terlambat menaikkan harga BBM. Momentum terbaik memotong subsidi BBM adalah tahun lalu ketika inflasi dapat ditekan rendah menjadi 4,3 persen. Kini situasinya sudah berbeda. Tanpa disangka, harga hortikultura menyodok sehingga inflasi year on year kini 5,9 persen. Namun, terlambat menaikkan harga BBM masih lebih baik daripada tidak sama sekali.

Tahun 2012, subsidi BBM—baik yang dikonsumsi langsung oleh kendaraan maupun digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN)—sudah menembus Rp 300 triliun pada 2012. Berarti, subsidi sudah mencapai 20 persen dari volume APBN sebesar Rp 1.500 triliun. Tahun ini diperkirakan subsidi akan meningkat menjadi Rp 320 triliun dari volume APBN Rp 1.600 triliun. Jika terus dibiarkan, tahun depan subsidi akan melebihi Rp 350 triliun, bahkan mengarah ke Rp 400 triliun! Mengerikan.

Deretan angka-angka tersebut tidak realistis. Sebagai perbandingan, ongkos jalan tol di atas laut di Bali yang kini sedang dikerjakan, dengan panjang jalan 12 kilometer, hanya Rp 2,5 triliun (Kompas, 13/4/2013). Jika subsidi BBM bisa dipangkas Rp 100 triliun, kita bisa membangun 40 jalan tol di atas laut seperti di Bali!

Monorel di Jakarta yang pembangunannya tersendat biayanya cuma Rp 6 triliun. Biaya membangun angkutan massal dari Blok M ke Dukuh Atas—termasuk di antaranya kereta bawah tanah (subway)—"hanya" Rp 27 triliun. Bahkan, Jembatan Selat Sunda yang menghebohkan itu pun biayanya Rp 200 triliun. Dana sebesar itu pun tidak dibelanjakan sekaligus dalam setahun. Pembangunan jembatan ini diperkirakan memakan waktu 10 tahun. Artinya, jika diamortisasikan, ongkosnya "hanya" Rp 20 triliun per tahun. Jika diasumsikan tidak ada sektor swasta yang berminat, pemerintah sebenarnya bisa mengongkosinya sendiri dari APBN. Syaratnya satu: subsidi BBM dipangkas.

Jembatan Selat Sunda berurgensi tinggi, seperti halnya pemerintah juga harus memprioritaskan perluasan kapasitas pelabuhan-pelabuhan laut yang kini menunjukkan tren antrean yang kian panjang. Sebagaimana dilaporkan Bank Pembangunan Asia (ADB, Asia's Energy Challenge, Manila, April 2013), antrean rata-rata kargo di Tanjung Priok kini mencapai 6,7 hari. Artinya, kargo harus menunggu hampir 7 hari sebelum terangkut kapal ke luar pelabuhan. Waktu antrean ini lebih buruk daripada di Thailand (5 hari); Malaysia, Amerika Serikat, dan Inggris (4); Australia, Selandia Baru, dan Perancis (3); China dan Hongkong (2). Yang terbaik adalah Singapura (1,1 hari).

Sosialisasi

Pemerintah sebaiknya menyosialisasikan fakta-fakta tersebut kepada khalayak luas. Indonesia saat ini memang masih bisa membukukan pertumbuhan ekonomi 6,23 persen. Namun, ke depan, jika kita terlambat membangun infrastruktur, pertumbuhan ekonomi kita bakal melorot tajam. India sudah mengalaminya. Pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir selalu di atas 8 persen, tetapi mereka lalai membangun infrastruktur. Akibatnya, mereka cuma bisa tumbuh 5,4 persen pada 2012. Penyebabnya adalah berkurangnya minat para investor tatkala infrastrukturnya tidak kondusif bagi ekspansi investasi. Kita tidak boleh mengulang kesalahan ini.

Sosialisasi lain yang diperlukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia bukanlah negara produsen minyak yang besar. Kita memang pernah memproduksi minyak 1,6 juta barrel per hari, tetapi itu dulu tahun 1995. Sekarang, produksi kita sudah jauh merosot menjadi tinggal separuh: 830.000 barrel per hari. Karena itu, tidak boleh kita cemburu kepada negara-negara produsen minyak yang menetapkan harga BBM rendah, seperti Venezuela (Rp 300 per liter), Arab Saudi (Rp 2.000 per liter), dan Uni Emirat Arab (Rp 4.600 per liter). Mereka masih layak melakukannya karena produksinya besar: Venezuela (2,9 juta barrel per hari), Arab Saudi (9,4 juta barrel per hari), dan UEA (2,6 juta barrel per hari).

Di Brunei, harga minyak hampir sama dengan di Indonesia (Rp 4.700 per liter), tetapi produksinya 300.000 barrel per hari. Padahal, penduduknya cuma 350.000 orang. Berarti, rasio produksi minyak terhadap penduduk hampir sama dengan satu. Di Indonesia, rasionya adalah 830.000 berbanding 245 juta, alias 1 berbanding 0,003. Dengan kata lain, kondisi Indonesia sudah jauh berubah dibandingkan saat masih menikmati bonanza minyak pada 1980-an dan 1990-an. Karena itu, tidak layak jika harga BBM kita disamakan dengan harga BBM para produsen besar tersebut.

Keadilan dan inflasi

Menjelang dipangkasnya subsidi BBM, isu-isu sentral kita saat ini terutama adalah soal keadilan (fairness) dan inflasi. Dalam hal keadilan, pemerintah tampaknya mulai bisa menerima ide sederhana bahwa para pengendara sepeda motor layak dan masuk akal untuk menerima subsidi terbesar. Harga BBM untuk mereka tetap Rp 4.500 per liter, yang berarti menerima subsidi Rp 5.000 per liter.

Memang ada kekhawatiran adanya kebocoran. Namun, setiap skema pemangkasan subsidi BBM akan senantiasa rawan kebocoran. Bukan cuma subsidi kepada sepeda motor saja yang rawan, subsidi kepada kendaraan angkutan umum juga berpotensi bocor. Meski demikian, skema ini tetap layak diterapkan karena penumpang sepeda motor dan kendaraan umum merepresentasikan lapisan masyarakat yang paling rentan terimbas krisis harga BBM. Tugas pemerintah untuk menekan kebocoran ini sekecil mungkin.

Mengenai inflasi, saat ini year on year 5,9 persen. Jika distribusi diperbaiki dan larangan impor dikoreksi, kemungkinan besar inflasi akan dijinakkan ke level 5 hingga 5,5 persen. Jika harga BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi dinaikkan menjadi Rp 6.500 atau Rp 7.000 per liter, akan timbul tambahan inflasi 1 hingga 1,5 persen, sehingga inflasi 2013 akan mencapai 6,5 hingga 7 persen. Memang cukup tinggi, tetapi belum setinggi India tahun lalu yang mengalami inflasi 9 hingga 10 persen karena mereka menaikkan harga BBM. Di India kini harga BBM Rp 13.000 per liter.

Kenaikan harga BBM bersubsidi adalah sebuah keterpaksaan yang wajib dieksekusi. Jika tidak dilakukan sekarang, hal itu akan menjadi tumpukan beban APBN yang berkepanjangan. Harga BBM dunia tak akan pernah turun karena konsumsinya terus meningkat dan upaya penghematan tidak didukung oleh daya memaksa.

Sementara itu, saya masih yakin bahwa Presiden tidak sedang berencana mewariskan masalah ini kepada penggantinya kelak. Karena itu, meski pahit, keputusan harus segera diambil.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

(Kompas cetak, 16 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger