Kawasan garis finis yang semestinya menjadi tempat kemenangan dirayakan, kebahagiaan direguk dan dinikmati, berubah menjadi tragedi. Tragedi kemanusiaan itu muncul setelah dua bom meledak dan menewaskan tiga orang, termasuk anak kecil berusia delapan tahun, serta melukai sekurangnya 140 orang.
Inilah serangan bom dalam skala besar pertama di tanah Amerika, setelah hampir 12 tahun silam terjadi tragedi 11 September 2001. Serangan terhadap menara kembar World Trade Center dan Pentagon oleh teroris itu menewaskan lebih dari 1.000 orang. Sejak saat itu, AS seperti terbangun dari tidur dan baru sadar bahwa mereka pun tidak luput dari serangan terorisme, sama seperti negara-negara lainnya di dunia ini.
Apa yang terjadi di Boston kemarin menegaskan hal itu. Lomba lari maraton tahunan di Boston—pertama kali dilaksanakan pada 1897, dan kali ini diikuti 27.000 pelari—yang semestinya menjadi ungkapan keteguhan hati, ketahanan fisik, kekuatan, kebebasan, dan kebahagiaan, telah dirusak oleh tindakan pengecut.
Apa pun alasannya, tindakan teror dengan meledakkan bom adalah sebuah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Para pelaku teror merasa menang kalau mampu menciptakan ketakutan dan kekacauan, bahkan kematian. Mereka akan merasa sangat bangga kalau ketakutan dan kekacauan di lokasi teror menular ke mana-mana.
Inilah perilaku para pengecut yang tidak kita sepakati, yang tidak kita dukung. Mereka melakukan kekejian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang dilanda sindrom kekalahan atas kehidupan, meminjam istilah Hrair Dekmejian (1985: 27-32), inilah sindrom rendah diri akibat kekalahan bertubi-tubi yang mereka alami.
Dengan meledakkan bom atau bahkan bom bunuh diri, mereka melibatkan banyak orang tak bersalah menjadi katarsis perlawanan paling memungkinkan atas aneka bentuk kebuntuan dan kegagalan yang mereka alami. Mereka melakukan semua itu karena gagal menemukan jalan rasional yang elegan: kalah bertempur dalam medan kehidupan yang nyata.
Apakah aksi mereka akan mampu menghentikan kekuatan perdamaian? Tidak! Kebebasan, salah satu ekspresinya adalah olahraga termasuk maraton, tidak akan dapat dikalahkan oleh ketakutan. Cinta tidak akan dapat dikalahkan oleh kebencian. Karena itu, teror harus terus dilawan, tentu bukan dengan teror pula, tetapi dengan semangat kehidupan, semangat untuk selalu menghormati kehidupan. Namun, semoga tragedi Boston ini juga menjadi "masukan" para pembuat kebijakan di Washington.
(Tajuk Rencana Kompas, 17 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar