Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 19 Agustus 2013

Momentum Terakhir SBY (A Tony Prasetiantono)

Oleh: A Tony Prasetiantono

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 akan menjadi dokumen keuangan negara terakhir yang akan dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang akan berakhir masa tugasnya Oktober 2014.
Karena merupakan tahun terakhir, wajar jika Presiden SBY berusaha tampil sebaik-baiknya dan memanfaatkan momentum ini. Ia tentu saja ingin dikenang sebagai presiden yang sukses dan tidak mewariskan beban yang terlalu berat bagi penggantinya.

Semula, pada tahun terakhirnya, SBY ingin memberi jejak pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen. Selama ini angka 7 persen memang dianggap "angka keramat" yang harus ditembus jika kinerja perekonomian Indonesia dianggap baik. Alasannya sederhana: pada pertumbuhan 7 persen itulah akan tercipta lapangan kerja yang jumlahnya melebihi angkatan kerja baru dalam setahun. Dengan kata lain, pengangguran terbuka akan berkurang signifikan jika pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen.

Yang terjadi adalah kondisi perekonomian global dan kesiapan daya saing kita tidak memberi ruang yang cukup untuk tumbuh 7 persen. China saja tahun ini hanya akan tumbuh 7,5 persen, India hanya 5 persen. Tahun depan, pertumbuhan kedua negara tersebut juga berkisar di level itu. Karena itu, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,4 persen pada 2014 merupakan level yang paling realistis,− bahkan mungkin agak optimistis.

Merancang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 pada saat ini bukanlah hal yang mudah karena perekonomian global masih mengandung banyak ketidakpastian. Dalam hal kebijakan stimulus ekonomi Amerika Serikat, misalnya. Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Ben S Bernanke memberi sinyal kuat bahwa kebijakan pembelian obligasi Pemerintah AS (quantitative easing/QE) akan dikurangi. Penyebabnya, ia menilai perekonomian AS akhir-akhir ini membaik.

Pengangguran secara bertahap turun dari 10 persen (2009) menjadi saat ini 7,4 persen. Karena itu, kebijakan QE bisa dikendurkan. Implikasinya, kurs dollar AS akan menguat karena kebijakan QE
menyebabkan bertambahnya likuiditas dollar AS di pasar uang. Bertambahnya peredaran dollar AS selama ini menyebabkan kursnya melemah. Sebaliknya, pengurangan, atau bahkan penyetopan kebijakan QE, akan mendorong penguatan dollar AS.

Rencana Bernanke dikritik Paul Krugman, yang berpendapat, stimulus ekonomi masih diperlukan AS. Meski pengangguran menurun, perekonomian AS belum bisa dikatakan baik karena pertumbuhan ekonominya hanya 1,4 persen.

Masalah lain adalah Bernanke akan menyelesaikan periode kedua jabatannya pada 1 Februari 2014. Media massa berspekulasi, ia akan digantikan Larry Summers, mantan Rektor Universitas Harvard yang pernah menjadi menteri keuangan pada era Presiden Bill Clinton (1999-2001) dan penasihat Presiden Obama. Jika Summers menggantikan Bernanke, belum tentu kebijakan Bernanke diteruskan. Kalau demikian halnya, sesungguhnya kebijakan ekonomi AS pada 2014 masih teka-teki. Karena itu, dampaknya terhadap rupiah pun belum jelas.

Rupiah perlu depresiasi
Dengan latar belakang ini, target kurs rupiah Rp 9.750 per dollar AS menjadi tanda tanya. Apakah benar dollar AS akan melemah sehingga rupiah berpeluang menguat pada 2014? Selanjutnya, apakah benar perekonomian Indonesia memerlukan rupiah yang menguat? Dalam kondisi neraca perdagangan yang dilanda defisit (semester I-2013 defisit 3,3 miliar dollar AS), yang diperlukan adalah mendorong daya saing, di antaranya melalui kurs rupiah yang melemah.

Tahun 2012, kita mengalami defisit 1,6 miliar dollar AS, sedangkan tahun ini diperkirakan defisit 6 miliar dollar AS. Untuk bisa kembali surplus, langkah yang paling instan adalah depresiasi rupiah. Misalnya, memangkas dwelling time (masa antre kontainer di Tanjung Priok) yang 7-8 hari, sangat tidak kompetitif dibandingkan para kompetitor: pelabuhan Thailand dan Malaysia (4 hari), apalagi Singapura (1-2 hari).

Akhir-akhir ini pun kita sudah kian mulai menyadari bahwa rupiah sedang "mengembara" untuk menemukan ekuilibrium (keseimbangan) yang baru. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat sensitif terhadap kenaikan impor (pertumbuhan ekonomi diikuti dengan kenaikan impor secara signifikan), sementara itu harga komoditas primer tidak sebaik tahun 2009-2010 sehingga surplus perdagangan mencapai 40 miliar dollar AS, saat ini kita tidak sedang memerlukan rupiah yang kuat.

Rupiah terkuat kita sejak era Reformasi adalah Rp 8.500 per dollar AS (2011). Untuk membantu agar impor tidak
terlalu deras, serta mendorong ekspor, sebaiknya kita membiarkan rupiah melemah, melebihi Rp 10.000 per dollar AS. Karena itu, asumsi kurs rupiah Rp 9.750 per dollar AS tampaknya tak cukup memiliki dasar pada saat neraca perdagangan masih defisit.

Inflasi dan suku bunga
Pemerintah cukup percaya diri menetapkan target inflasi 4,5 persen dan rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5,5 persen. Secara historis, kita memang pernah mencapai inflasi 4,5 persen pada 2011 sehingga berpeluang mengulangi pencapaian tersebut. Apalagi potensi terjadinya kenaikan harga minyak pada 2014 nyaris tidak ada.

Pertama, harga minyak dunia cenderung stagnan karena perekonomian global belum membaik sehingga tidak akan ada lonjakan permintaan. Kedua, secara politis, mustahil pemerintah menaikkan harga BBM karena akan mengganggu stabilitas politik pada tahun pemilu. Meski sebenarnya masih ada urgensi menaikkan harga BBM karena harga BBM (Rp 6.500 per liter) masih di bawah harga keekonomian (Rp 9.000 per liter), jelas tahun 2014 bukan saat yang tepat.

Meski demikian, pada tahun 2014, pemerintah tidak boleh lagi kecolongan inflasi oleh penyebab "yang tidak-tidak", seperti kenaikan harga cabai, bawang, dan daging. Persoalan data sisi penawaran dan permintaan yang lemah menyebabkan pemerintah selalu terlambat mengantisipasi. Kapan keran impor harus dibuka agar tak telanjur menyebabkan inflasi? Manajemen pasokan inilah yang masih kedodoran dilakukan Kementerian Pertanian.

Persoalan klasik infrastruktur juga tidak boleh lagi memicu inflasi menjelang Lebaran. Jalan raya pantai utara Jawa diejek sebagai "proyek abadi" menjelang Lebaran karena setiap tahun selalu dikerjakan, tetapi tidak pernah siap pada saat diperlukan. Distribusi barang menjadi tersendat sehingga memicu kenaikan biaya. Inflasi yang bersifat nonmoneter inilah yang banyak mewarnai inflasi di Indonesia. Diktum Milton Friedman (Chicago) bahwa "inflasi selalu merupakan fenomena moneter" (1966) tampaknya tidak berlaku dalam kasus Indonesia.

Inflasi justru disebabkan oleh faktor nonmoneter, baik berupa kebijakan (kenaikan harga BBM), harga pangan yang bergejolak (volatile food), maupun buruknya infrastruktur yang mengganggu distribusi barang dan melemahkan daya saing.

Rezim suku bunga
Dari sisi moneter, akhir-akhir ini timbul persepsi bahwa rezim suku bunga rendah yang dilakukan mantan Gubernur BI Darmin Nasution telah berubah menjadi rezim suku bunga tinggi oleh Gubernur BI baru, Agus Martowardojo. Sebenarnya yang terjadi adalah suku bunga rendah adalah strategi besar yang menjadi tujuan jangka panjang. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, kadang-kadang diperlukan taktik jangka pendek. Ketika inflasi meningkat cepat, mustahil suku bunga bisa dipertahankan rendah.

Jika inflasi tinggi (saat ini year on year 8,61 persen) dihadapkan dengan BI Rate 6,5 persen, yang terjadi adalah suku bunga riil negatif (negative real interest rate). Hal semacam ini sebenarnya lazim di negara- negara maju. Di AS, misalnya, inflasinya 1,8 persen, sedangkan suku bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen. Di zona euro, inflasi 1,6 persen dihadapi suku bunga acuan 0,5 persen. Baik di AS maupun zona euro tak ada kepanikan, tak ada komplikasi.

Namun, di Indonesia, selisih yang cukup lebar antara inflasi dan suku bunga bisa menyebabkan komplikasi. Para penabung besar akan menarik dananya dari bank untuk diinvestasikan di aset lain, termasuk pembelian valuta asing. Bank-bank mengalami tekanan likuiditas. Begitu BI Rate dipertahankan 6,5 persen, rupiah pun melemah nyaris Rp 10.400 per dollar AS pada akhir pekan lalu.

Dalam posisi rupiah melemah dan cadangan devisa tergerus menjadi 92,6 miliar dollar AS, yang berarti turun jauh dari posisi tertinggi 124,7 miliar AS (Juli 2011), sebenarnya yang dibutuhkan adalah sedikit menaikkan BI Rate. Kebijakan menaikkan suku bunga ini bersifat sementara (taktik jangka pendek), yang di kemudian hari akan kembali diturunkan jika situasinya memungkinkan.

Warisan yang baik
"Warisan" baik yang sempat ditinggalkan Presiden SBY adalah penerimaan pajak 2014 yang ditargetkan Rp 1.310 triliun, atau naik 14 persen daripada tahun ini Rp 1.148 triliun. Ini termasuk target yang berani. Jika praktik pengemplangan pajak bisa dibasmi sehingga tax ratio (perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB) bisa dinaikkan dari level sekarang 13 persen menjadi 18-20 persen seperti negara-negara tetangga, berarti kita akan mendapat tambahan penerimaan pajak di atas Rp 600 triliun. Jumlah ini sangat dahsyat untuk menutup defisit anggaran yang saat ini Rp 154 triliun.

Sudah saatnya pemerintah membentuk tim khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyisir para pengemplang pajak. Cara-cara konvensional seperti yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak selama ini, tidak cukup efektif meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Harus ada upaya yang lebih besar dan tidak konvensional untuk menaikkan penerimaan pajak. Semoga Presiden SBY masih sempat membentuknya sebelum periodenya berakhir.

A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

(Kompas cetak, 19 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger