Kini yang perlu dipikirkan oleh publik Indonesia adalah siapa profil yang harus memimpin negeri ini dari unsur kabinetnya. Apakah mengikuti model pemerintahan SBY dengan mengakomodasi semua pihak karena terjebak jargon politiknya "Bersama Pasti Bisa" atau Sang Capres harus mencari alternatif baru.
Pelajaran dari kabinet pelangi SBY 2009-2014, dan juga sebelumnya 2004-2009, pemerintahan menjadi tidak efektif karena banyak kepentingan. Menteri yang seharusnya tunduk kepada presiden karena memenangi mandat rakyat sering kali insubordinasi karena kepentingan induk partainya. Mekanisme koalisi ternyata mandul dan tidak efektif sama sekali, malah partai yang "menumpang" itu memanfaatkan kesempatan mendapatkan kekuasaan agar eksistensi partainya sustain.
Berani posisi
Berpolitik sebetulnya pilihan prinsip dan integritas. Tidak seharusnya dan sama sekali tidak etis jika sikap mendua disebut juga sebagai langkah politik. Pemenang pemilu harus menyadari dan memahami dengan betul istilah koalisi yang sebetulnya penumpang gelap politik. Malah, penumpang gelap ini akan menjadi beban tersendiri dan akan menyandera mesin politik partai pemenang untuk memenuhi janji-janji semasa kampanye.
Pada pemerintahan SBY masih teringat jelas bagaimana anti korupsi menjadi spirit partai akibat janji pedang terhunus melawan korupsi. Namun, apa jadinya anggota partai koalisi malah melakukan korupsi impor daging, proyek-proyek kementerian, dan lain-lain. Elite Partai Demokrat ironisnya melakukan korupsi dengan lebih dahsyat mulai dari M Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, sampai mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Demokrat dengan sendirinya gagal memenuhi janji kampanyenya sendiri karena terjebak pemerintahan pelangi.
Maksud hati baik dengan mengakomodasi suara-suara kritis, ingin mencitrakan sebagai partai yang tidak "kemaruk" kekuasaan, tetapi hasilnya malah amburadul. Rakyat tidak merasakan manfaat saat Demokrat berkuasa, sebaliknya kredibilitas pemerintah semakin rusak karena banyaknya tikus dalam organ negara. Kini citra Demokrat, citra SBY sendiri, malah tidak bisa diselamatkan karena pemerintahan pelangi.
Tantangan kepada partai politik yang kalah pemilu tetaplah oposisi, jangan mencari kesempatan berkuasa dengan melegitimasi bermuka dua. Jika mencintai kekuasaan, sebaiknya sejak sekarang melebur diri ke dalam partai tersebut agar jumlah partai tidak puluhan seperti sekarang.
Percaya diri
Pemerintahan SBY memberi teladan kegagalan bagaimana seharusnya mengatur negara. Partai pemenang pemilu tak seharusnya membagi kekuasaan karena rakyat sendiri tak menghendaki kekuasaan dibagi-bagi atas nama pencitraan dan jargon politik "Bersama Kita Bisa". Partai pemenang pemilu kali ini harus benar-benar percaya diri bahwa kadernya mampu mengatur sendiri negara ini berdasarkan garis dan platform politik yang diperjuangkannya. Rakyat hanya menanti di titik akhir periode ke- kuasaan: kesejahteraan lebih baik, meningkat, dan masuk akal.
Definisi kesejahteraan bukan indikator statistik palsu. Disebut naik, tetapi pertumbuhannya sendiri tidak mampu melampaui kenaikan harga. Ini adalah kesejahteraan palsu dan abal-abal. Sederhananya, sejahtera apabila pajak masuk akal, infrastruktur bagus, biaya tak melebihi penda- patan, sekolah terjangkau, demikian pula biaya rumah sakit tak jadi hantu pembuat melarat.
Negara ini demikian besar memiliki sumber daya alam baik dalam tanah, dalam laut, dan seluruh aset di atasnya. Inilah modal utama menyejahterakan 245 juta penduduk Indonesia dari titik 0 kilometer sampai titik tertimur negara ini. Hanya satu tantangan besarnya: penyimpangan dan korupsi karena korupsi membajak porsi kesejahteraan untuk rakyat lain dalam beberapa sampai puluhan tahun ke depan.
Kini rakyat semakin pintar dan semakin konsisten. Pemilu 2014 adalah semua koreksi kesalahan Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Sang Capres adalah kartu truf yang diharapkan rakyat dan kader unggulan partai pemenang yang sangat bernilai.
Parlemen tahun ini adalah parlemen partai pemenang, demikian pula presidennya adalah dari partai tersebut. Jika sekali ini partai pemenang memberikan ruang koalisi kepada partai lain sebagai penumpang gelap seperti blunder Demokrat, 2009-2014, maka percayalah kredibilitas partai pemenang akan kembali runtuh. Jauhi pemerintahan pelangi, mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya!
Effnu Subiyanto, Ketua Yayasan Cikal dan Pendiri Forkep
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005973093
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar