Gejala itu masih terus berlangsung hingga saat-saat menuju pemilihan umum. Bahkan, dikhawatirkan akan terus berlangsung sesudah para legislator baru, presiden baru, dan wakil presiden baru duduk di singgasana kekuasaan.
Gejala yang terasa begitu menonjol adalah kuantifikasi, yaitu reduksi kemanusiaan menjadi sekadar angka. Rasakan betapa setiap hari yang dilakukan, diwartakan, ditayangkan, dan dibicarakan adalah angka, angka, dan terus angka. Rakyat (yang sesungguhnya adalah "manusia dan hidupnya") dijadikan angka belaka.
Sejumlah angka dipakai untuk menandai rakyat: sekian ratus, sekian ribu, sekian juta rakyat mendukung calon presiden yang ini; sekian ratus, sekian ribu,
dan sekian juta rakyat menentang calon presiden yang itu. Bahkan, individu direduksi menjadi angka 50.000 (rupiah) oleh politisi yang mempraktikkan politik uang demi keterpilihannya secara curang dalam pemilu.
Survei-survei tentang popularitas dan elektabilitas calon legislator, calon presiden, dan calon wakil presiden begitu digandrungi. Melalui survei-survei itu, lagi-lagi, rakyat dan individu (manusia dan hidupnya) diringkas secara paksa menjadi angka-angka.
Setiap kali partai politik menyelenggarakan kampanye, yang paling dipentingkan adalah angka-angka. Karena itu pula rakyat lalu dijelmakan menjadi angkaangka (sekian ratus, sekian ribu, atau puluhan ribu kader dan simpatisan yang memenuhi lapangan atau gedung tempat berlangsungnya kampanye). Jika kampanye dihadiri rakyat dalam jumlah (angka) yang besar, dikatakan bahwa kampanye itu berhasil.
Terlihat betapa kita tidak menyadari berlangsungnya proses distorsi kemanusiaan yang panjang dan mendalam itu. Sesungguhnya yang bisa dikuantifikasi itu hanya obyek kebendaan atau materi, sedangkan "manusia dan hidupnya" adalah "subyek yang mengalami" (the experiencing subject, kata psikoanalis Frank Summers, 2013), maka ia tidak pernah bisa dikuantifikasi.
Jika kuantifikasi terhadap manusia toh dipaksakan, tak pelak yang terjadi adalah obyektivikasi manusia. Manusia disetarakan dengan obyek kebendaan atau materi. Distorsi terhadap kemanusiaan sungguh masif, melalui kuantifikasi dan obyektivikasi dalam ruang yang serba materialistis, kemanusiaan manusia dienyahkan, manusia menjadi benda (tanpa jiwa) di ruang homogen.
Jika pemilu berlangsung dalam naungan tiga nilai hegemoni itu—kuantifikasi, obyektivikasi, dan materialisme—sangat patut dikhawatirkan. Sebab, yang akan dihasilkan hanyalah orang- orang berkuasa yang memperlakukan rakyat sebagai obyek pemuasan materialistis mereka.
Subyek bukanlah obyek
Begitu pemilu selesai dilaksanakan, kuantifikasi suara untuk setiap partai dan calon legislator, juga nantinya untuk setiap calon presiden dan calon wakil presiden, merupakan keniscayaan. Mereka yang mendapatkan kuantitas suara terbanyak akan segera disebut sebagai pemenang pemilu. Itu semua mereka dapatkan setelah rakyat dan individu direduksi menjadi sekadar angka-angka, seolah bagaikan benda-benda di ruang homogen yang dapat dihitung satu per satu.
Barangkali ini adalah satu-satunya kuantifikasi terhadap rakyat dan individu yang terpaksa dibolehkan terjadi karena pemilu mesti menghasilkan angka-angka perolehan suara setiap calon penguasa. Namun, itu tidak berarti kekuasaan yang diperoleh oleh calon-calon penguasa melalui pemilu boleh digunakan dalam semangat nilai-nilai hegemoni kuantifikasi, obyektivikasi, dan materialisme.
Justru kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa baru melalui pemilu niscaya dialami sebagai kepercayaan yang dilimpahkan oleh subyek-subyek (bukan obyek-obyek) yang mengalami hidupnya dengan semua pikiran dan perasaannya sebagai manusia.
Rakyat dan individu warga negara sebagai subyek tentu setara dengan orang-orang yang melalui pemilu dilimpahi kepercayaan untuk berkuasa. Subyek itu perlu selalu dihargai hidup kemanusiaannya. Sebagai orang-orang yang dilimpahi kepercayaan, para penguasa baru selalu diikat oleh semua kewajiban untuk menggunakan kekuasaan hanya untuk memelihara dan menumbuhkembangkan kebaikan hidup subyek-subyek yang disebut secara ringkas sebagai rakyat.
Itu semua akan bisa diejawantahkan oleh para penguasa baru jika mereka benar-benar dekat secara manusiawi dengan subyek-subyek yang disebut rakyat itu.
Penguasa perlu hadir di tengah subyek-subyek itu, bercakap-cakap dengan mereka, berada di tengah kehidupan mereka, berbuat sebagai sesama manusia yang menyerap apa yang dialami dan dirasakan oleh subyek-subjek itu, mengasimilasi dan menyintesiskannya dengan kebaikan dalam dirinya, dan mengejawantahkan tindakan bijak untuk kebaikan hidup subyek-subyek yang dinamai "rakyat".
Kita meyakini bahwa itulah tolok ukur baru kepemimpinan dan penguasa di bumi negeri kita. Pemilu 2014 semestinya menjadi pintu gerbang perwujudan kehidupan Indonesia baru yang sejak titik awalnya benar-benar ditandai oleh realisasi tolok ukur baru itu.
Limas Sutanto, Psikiater Konsultan Psikoterapi, Tinggal di Malang
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005931500
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar