Tunggu dulu, bro dan sister. Tolong, Anda jangan terlalu bersemangat memompa balon harapan agar tak kian kecewa. Kemungkinan Anda kecele sangat besar. Marilah berpikir pahit.
Pemilu memang menjadi titah konstitusi dalam negara demokrasi. Melalui pemilu, rakyat menunjukkan kedaulatan politiknya demi memberikan amanat kepada parpol-parpol menyelenggarakan pemerintahan dan negara secara baik, bermartabat, dan menyejahterakan rakyat. Namun, dalam kenyataan, wakil Anda yang berhasil nangkring di parlemen atau duduk di lembaga eksekutif tak otomatis merepresentasikan suara rakyat, apalagi suara Tuhan.
Sangat mungkin mereka justru lebih vokal menyuarakan kepentingan parpol, khususnya elite parpol. Bukan rahasia lagi, elite parpol inilah yang mengendali- kan suara fraksi, baik dalam membuat legislasi, menjalankan politik anggaran, maupun mengontrol jalannya pemerintahan. Satu-satunya yang bisa Anda harapkan adalah elite parpol itu masih ingat nasib rakyat. Jika hal itu terjadi, berarti kita masih bejo (beruntung). Tragis, bukan?
Agaknya Anda harus menunda rasa lega karena kita semua masih harus menunggu hadirnya sang dewa bejo, kekuatan transendental yang menyuarakan kebaikan hinggap dan merasuki para elite parpol. Celakanya "dewa bejo" tak ada di dalam gelombang sinyal politik para elite parpol. Frekuensinya berbeda. Para elite parpol ada di frekuensi AM (asal menguntungkan), sedangkan dewa bejo ada di frekuensi FM (filosofi mengabadi).
Demokrasi liberal–yang turunannya adalah demokrasi transaksional—akhirnya hanya menjadi demokrasi ala warungan, demokrasi gerai. Ideologi gerai adalah ideologi meraup untung sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan nasib, masa depan konstituen. Konstituen hanya dipahami selaku konsumen.
Industri politik
Dalam kultur politik gerai, elite partai dan anggota legislatif dan eksekutif bukan ideolog, bukan pejuang konstitusi, melainkan bos besar, juragan politik. Parpol pun bukan lagi lembaga politik, sosial, dan budaya, melainkan perusahaan politik yang mengabdi pada kepentingan industri politik. Turunannya, parlemen tak lebih dari pabrik politik yang memproduksi legislasi dengan kadar tinggi kepentingan pembuatnya.
Begitu pula dengan pemerintahan yang diselenggarakan: tak lebih dari pabrik kebijakan yang mengabdi pada kepentingan kuasa modal. Jagat politik pun menyerupai industri politik.
Industri politik menjadikan uang sebagai modal fundamental. Gagasan/ideologi yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan, tak dianggap penting. Kalau toh ideolo- gi (agama, nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler) harus dicantumkan, ia tak lebih dari merek dagang (sebagaimana pabrik kecap harus menamai produknya dengan cap bajing atau pabrik jamu dengan cap orang kuat). Perbedaan "ideologi" tak mencerminkan perilaku parpol. Mereka sama-sama suka duit.
Dalam industri politik juga ada keterampilan. Namun, keterampilan itu bukan untuk mewujudkan idealisme pengabdian kepada publik, melainkan untuk melakukan berbagai rekayasa negatif, meyakinkan konsumen agar tetap percaya kepada perusahaan dan produk-produknya.
Kita pun bisa membayangkan secara pesimistis kinerja para anggota legislatif dan eksekutif nanti. Mereka tak terhindar sekadar jadi karyawan atau bahkan buruh kontrakan yang lebih mengabdi pada kepentingan bos atau juragan politik. Bos atau juragan politik tentu lebih senang bekerja sama dengan para penguasa modal; yang mungkin menjadi bandar (bebotoh kapital) mereka selama ini.
Dalam hukum industrial-politik macam ini, suara kritis Anda tak akan didengar ketika mempertanyakan dan menggugat janji kampanye parpol dan caleg. Semua isu tak lebih dari sekadar teknik memersuasi (atau mengelabui) konstituen.
Mereka yang dulu menjanjikan pendidikan gratis, kemudahan mencari pekerjaan, peningkatan penghasilan, pelayanan kesehatan, pengendalian harga- harga kini mungkin tidur nyenyak setelah terpilih jadi caleg. Mungkin mereka lebih senang memikirkan cara-cara meraup uang rakyat daripada susah payah membuat strategi politik menyejahterakan rakyat.
Mungkin Anda dan kita semua gela, kecewa, dan menyesal karena telah memilih mereka. Namun, kita toh harus optimistis, siapa tahu karakter oportunistis mereka berubah menjadi agen perubahan. Semoga kita termasuk golongan orang bejo dalam masa penantian mereka menjadi agen perubahan.
INDRA TRANGGONO, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005972286
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar