Di sektor hulu, pengembangan modal manusia berkualitas dimulai sejak dalam kandungan. Pada 2015 jumlah anak di bawah 14 tahun adalah 70 juta, 71 juta pada 2019, dan menurun karena KB menjadi 66 juta pada 2035. Dimulai dari 1.000 hari pertama kehidupan (E Achadi, 2014), janin harus memperoleh makanan dan gizi cukup, ibunya tidak anemia, berat dan tinggi badan ibu cukup, serta persiapan prahamil. Ini pembentukan keterampilan kognitif yang memengaruhi capaian pendidikan dan nantinya merupakan determinan pertumbuhan ekonomi (Hanushek dan Woessman, 2008).
Dilanjutkan dengan pendidikan usia dini di luar rumah dan dalam keluarga, pola asuh anak lelaki dan perempuan adalah awal pembentukan soft skill, disiplin, keteraturan, keterampilan hidup, suka bekerja, berkomitmen terhadap hasil kerja, berani ambil risiko, bertanggung jawab, inovatif dan kreatif, serta pengelolaan uang jajan yang arif. Ini akar kewirausahaan.
Pasangan suami istri yang berKB merencanakan kehamilan dan kelahiran anak dengan cermat dan berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dasar anaknya, pendidikan, dan layanan kesehatan berkualitas. Menginjak remaja, pendidikan kesehatan reproduksi penting agar remaja mampu merawat dan melindungi tubuhnya dari perilaku tidak sehat berisiko, seperti merokok, miras, narkoba, kekerasan, dan pelecehan.
Di sektor menengah, transisi dari sekolah menuju dunia kerja. Jumlah penduduk usia kerja tahun depan 164 juta, meningkat 172 juta (2019), dan mencapai 192 juta (2035). Anak lelaki dan perempuan harus selesai pendidikan dasar 12 tahun bahkan sarjana. Banyak lulusan atau putus sekolah memasuki pasar kerja tanpa keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan di pasar kerja.
Kualitas penduduk usia kerja saat ini memprihatinkan. Perlu tambahan keterampilan usia kerja muda. Studi menemukan bahwa Indonesia mengalami krisis keterampilan (Adioetomo, dkk. 2010). Perlu kejelasan, siapa yang bertanggung jawab menjembatani transisi sekolah ke dunia kerja? Pembentukan etos kerja dan soft skill diprioritaskan dalam mengisi kerangka konsep revolusi mental. Penyediaan lapangan kerja harus diutamakan untuk memungkinkan pekerja hidup layak, memenuhi kebutuhan hidup, memenuhi hak-hak dasar anaknya agar nantinya bisa memutus rantai kemiskinan
antargenerasi. Ditambah bahwa penduduk usia kerja bisa menabung dan membayar iuran asuransi sosial kesehatan dan
jaminan hari tua.
Jangan tua sebelum kaya
Tahun depan jumlah warga lansia Indonesia 21 juta, menjadi 26 juta (2019), dan 48 juta (2035). Warga lansia berisiko kehilangan pekerjaan dan penghasilan, biaya kesehatan meningkat karena penyakit degeneratif, terutama lansia perempuan, serta dukungan keluarga yang menyempit karena migrasi. Pemerintah umumnya tidak siap, di samping ruang fiskal yang sempit. Anggapan bahwa warga lansia adalah beban harus direvisi. Warga lansia kini lebih berpendidikan, lebih sehat, dan lebih terpapar informasi. Banyak yang masih bekerja, menggunakan gadget terpapar TI yang dapat memperluas hubungan dengan dunia luar, dengan anak dan kerabat yang tinggal di lain tempat.
Hubungan antargenerasi bisa dilakukan tidak sebatas di dalam rumah. TI memungkinkan warga lansia mencari informasi bagaimana hidup sehat meski kendala penyakit degenerasi, mencari tempat pelayanan kesehatan yang diperlukan. Pemerintah harus memfasilitasi warga lansia yang masih ingin bekerja, memperpanjang usia pensiun, dan memberdayakan keluarga serta masyarakat untuk peduli warga lansia. Agar warga lansia tetap aktif dan produktif, perlu disiapkan sejak usia kerja, dengan pola hidup sehat, makan dan gizi sehat, olahraga secara teratur, dan hindari merokok. Pemberi kerja mengubah pola rekrutmen menampung warga lansia sehat produktif dengan pola kerja sesuai dengan kondisi fisik lansia. Kalau tercapai, Indonesia bakal mencapai bonus demografi kedua dikontribusikan oleh warga lansia.
Yang harus dikerjakan
Ini investasi jangka panjang menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan di pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Perlu seorang menteri kependudukan yang profesional, mempunyai pemahaman komprehensif sektor hulu, menengah, dan hilir. Mempunyai kepemimpinan kuat, visioner, dan mampu menggerakkan semua pemangku kepentingan. Ibarat seorang dirigen sebuah konser, concerted effort, dengan kewenangan yang legal, berbagi visi mencapai profil penduduk masa depan yang kita kehendaki. Semua ini memerlukan tersedianya data akurat dan terbaru untuk perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan. Masyarakat perlu dibekali dengan literasi demografi untuk mengawal kebijakan dan program pemerintah.
Semoga kementerian kependudukan yang akan dibentuk mampu menelurkan kebijakan menyeluruh bagi bangsa Indonesia produktif dan berdaya saing di masa depan.
Sri Moertiningsih Adioetomo
Guru Besar Ekonomi Kependudukan FEUI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009039977
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar