Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 23 September 2014

Rupiah dan Reformasi Struktural (A Prasetyantoko)

AKHIR minggu lalu, rupiah ditutup Rp 11.968 per dollar AS setelah sehari sebelumnya tembus di atas Rp 12.000. Rupiah berada di posisi terburuk sejak bulan Juni. Anehnya, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia justru cenderung naik. Pada penutupan pasar akhir minggu lalu, IHSG berada pada level 5.227 atau mengalami kenaikan lebih dari 20 persen dibandingkan dengan awal tahun.
Mengapa kali ini pergerakan nilai tukar tak sejalan dengan investasi di pasar modal? Biasanya, keduanya berjalan seiring yang berarti penguatan nilai tukar terjadi akibat meningkatnya aliran likuiditas asing ke pasar modal kita. Mungkin saja, peran investor domestik lebih dominan akhir-akhir ini, tetapi dengan menurunnya minat investor asing ke pasar domestik, indeks sulit menguat lebih lanjut. Selama ini kontribusi investor asing masih cukup besar di pasar modal kita.

Di luar itu, pelemahan rupiah menandakan perekonomian domestik masih rapuh. Kalaupun kita enggan menggunakan arus modal asing masuk sebagai patokan kebijakan (benchmark), itu tetap berguna sebagai penunjuk persoalan yang lebih serius (leading indicator).

Pelemahan rupiah, bersama mata uang negara berkembang lainnya, dipengaruhi rilis hasil rapat Komite Pasar Keuangan Amerika Serikat atau Federal Open Market Committee. Selain soal menguatnya keyakinan pemulihan perekonomian, Janet Yallen sebagai ketua komite juga mengumumkan kelanjutan program pengurangan stimulus.

Mulai Oktober, bank sentral akan mengurangi pembelian surat utang beragunan (mortgage-backed securities) dari 10 miliar dollar AS menjadi 5 miliar dollar AS per bulan. Demikian pula dengan pembelian surat utang pemerintah jangka panjang (long-term Treasury securities) yang akan dikurangi dari 15 miliar dollar AS per bulan menjadi 10 miliar dollar AS saja. Total stimulus pada Oktober tinggal 15 miliar dollar AS saja.

Dengan habisnya stimulus, pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga yang tinggal menunggu waktu. Siapkah kita menghadapi dinamika pasar keuangan tatkala kenaikan suku bunga The Fed mulai dilakukan tahun depan?

Keraguan investor

Perilaku investor asing di pasar domestik kita patut diperhatikan sebagai salah satu acuan dalam mengevaluasi persoalan fundamental ekonomi kita. Terhitung sejak awal tahun hingga pertengahan September ini, total pembelian bersih investor asing di pasar modal kita nilainya sekitar Rp 57 triliun. Angka tertinggi selama ini. Namun, minat pemodal asing mulai turun dalam dua bulan terakhir. Agustus lalu bahkan sudah terjadi penjualan bersih (net selling) sebesar Rp 1,3 triliun.

Bulan Maret dan Juli merupakan puncak masuknya investor asing, masing-masing mencatat total pembelian bersih sebesar Rp 14 triliun dan Rp 13 triliun. Pada masa investor asing masuk inilah nilai tukar mengalami penguatan tajam. Pada bulan Maret, rupiah berada pada kisaran Rp 11.300 per dollar AS.

Hari-hari ini, rupiah bergerak pada zona merah karena beberapa faktor pokok. Selain soal antisipasi arah kebijakan moneter AS, tentu persoalan yang sebenarnya serius adalah persoalan domestik kita sendiri. Investor mulai ragu dengan kemampuan pemimpin baru mengatasi berbagai persoalan pokok perekonomian, terutama terkait pengalihan subsidi energi.

Begitu dilantik, pemerintah baru menghadapi persoalan konsumsi bahan bakar minyak yang diperkirakan akan melonjak sekitar 1,6 juta kiloliter dari kuota sebesar 46 juta kiloliter. Dalam jangka pendek, pilihannya hanya dua, menaikkan harga BBM pada awal November atau mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait pelanggaran konstitusi akibat lonjakan konsumsi BBM dari kuota yang dipatok dalam UU APBN Perubahan 2014.

Kepemimpinan pemerintah baru diuji, apakah mampu mengatasi blunder persoalan kuota BBM ini.

Beban minyak

Selain menimbulkan problem fiskal, konsumsi BBM yang terus meningkat dari waktu ke waktu juga menjadi beban pada neraca perdagangan kita. Hingga Juni 2014, total defisit minyak sekitar 6 miliar dollar AS. Dan sudah sejak pertengahan 2012, pertumbuhan ekspor migas kita berada di posisi negatif, sementara impor terus meningkat. Dengan demikian, beban impor migas akan semakin besar jika konsumsi tidak dikurangi.

Apakah kenaikan harga BBM serta-merta membuat impor minyak menurun? Tanpa ada migrasi penggunaan sumber energi alternatif, beban impor minyak tetap akan menjadi persoalan. Kenaikan harga BBM tak boleh dilihat sebagai upaya mengurangi beban subsidi fiskal, tetapi juga harus ditempatkan dalam rangka mengubah arah penggunaan energi dengan tingkat ketergantungan tinggi pada minyak.

Dari sisi neraca perdagangan, karena ekspor minyak tak lagi bisa dinaikkan dalam jumlah signifikan, satu-satunya cara mengurangi tekanan adalah mengurangi impor. Dan pengurangan impor minyak hanya mungkin terjadi jika ada migrasi penggunaan energi yang lain. Pengalihan penggunaan energi gas merupakan salah satu solusi yang bisa dikejar dalam satu hingga dua tahun ke depan. Syaratnya, harus ada investasi yang memadai untuk membangun infrastruktur pendukung.

Penurunan ketergantungan pada konsumsi minyak juga akan menurunkan permintaan akan dollar. Setiap hari, PT Pertamina (Persero) memerlukan 150 juta dollar AS guna memenuhi kebutuhan impor minyak sebanyak lebih kurang 600.000 barrel per hari. Oleh karena itu, mengurangi impor minyak juga berkorelasi pada stabilitas nilai tukar.

Utang luar negeri

Selain mitigasi kebutuhan migas, restrukturisasi utang luar negeri swasta juga menjadi salah satu kunci penting menstabilkan nilai tukar. Sebagaimana diketahui, kebutuhan dollar AS untuk pembayaran utang luar negeri cukup besar.

Pertama, tentu volume utang luar negeri swasta, terutama yang jatuh temponya singkat (short-term debt), harus dikurangi. Kedua, mendorong pelaku swasta melakukan lindung nilai (hedging) bagi utang luar negeri. Apalagi, jika utang luar negeri digunakan untuk membiayai investasi atau operasi dengan pendapatan domestik.

Sejak pertengahan 2011, pertumbuhan utang swasta sudah melampaui pertumbuhan utang pemerintah. Pada Juni lalu, pertumbuhan utang pemerintah hanya sekitar 6 persen, sementara utang swasta 14 persen. Kenaikan pinjaman swasta juga terkait dengan kebutuhan ekspansi dan operasional perusahaan yang tak bisa dipenuhi dengan sumber pembiayaan domestik. Selain itu, pinjaman asing juga lebih murah biayanya (cost of borrowing) di samping tersedia dalam jumlah besar akibat program pelonggaran moneter yang dilakukan negara-negara maju.

Dua persoalan ini saja, yaitu mengurangi impor minyak dan memitigasi utang luar negeri, jika dilakukan dengan baik akan membuat nilai tukar bisa lebih stabil. Namun, kedua hal tersebut menuntut adanya kebijakan yang secara konsisten dijalankan dalam konteks restrukturisasi struktural.

Dua agenda struktural yang harus dicanangkan pemerintah baru yang sangat relevan adalah mengembangkan energi alternatif dan mendorong tingkat tabungan domestik sehingga ketergantungan pada pendanaan asing bisa dikurangi. Artinya, likuiditas tersedia di pasar domestik dengan biaya yang relatif rendah. Di bawah bayang-bayang kenaikan suku bunga The Fed, impian penurunan suku bunga masih tetap mungkin jika dilakukan perubahan struktural perekonomian secara progresif.

Dalam jangka pendek pasti menyakitkan, tetapi dalam jangka menengah panjang akan lebih menjanjikan bagi kepentingan semua pihak. Tentu, reformasi di bidang lain harus dilakukan, tetapi tetap saja dibutuhkan respons urgen, terutama di bidang energi. Tak mudah, tetapi tetap harus dilakukan.

A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009025731
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger