Selanjutnya, melalui Persetujuan Menteri Keuangan, pertengahan Agustus 2014 PT Freeport Indonesia (FI) boleh mengekspor kembali konsentrat tembaga yang berhenti sejak 12 Januari 2014 dengan bea keluar 7,5 persen dari harga pokok ekspor (HPE) konsentrat tembaga.
Surat persetujuan ekspor diberikan setelah PT FI bersedia memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kesediaan membayar kenaikan royalti tembaga, emas, dan perak kepada negara sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Di situ ada ketentuan royalti tembaga 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen, penciutan luas wilayah penambangan, kesediaan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian konsentrat tembaga (smelter) serta kesediaan menempatkan jaminan kesungguhan pembangunan smelter dengan nilai 115 juta dollar AS.
Tingkatkan nilai tambah
Kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang dan pengembangan industri hilir adalah amanat UU No 4/2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Komoditas mineral tembaga (di dalamnya terkandung emas dan perak) merupakan komoditas mineral utama di Indonesia selain nikel, bauksit, timah, dan emas.
Permasalahan pertama terkait hilirisasi mineral tembaga adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam proses peleburan dan pemurnian konsentrat tembaga menjadi tembaga logam, dihasilkan produk lain, yaitu lumpur anoda (anode slime). Dalam lumpur anoda (khususnya konsentrat PT FI dan PT NNT) terkandung emas dan perak, timbal dan logam-logam selenium, serta platina dan paladium. Sesuai Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, lumpur anoda juga harus dimurnikan sehingga dihasilkan logam-logam emas, perak, selenium, platina, dan paladium dalam negeri.
Selama ini, PT Smelting Gresik, satu-satunya pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia, mengekspor lumpur anoda ke Jepang. Hingga saat ini PT Smelting juga masih berkesempatan mengekspor lumpur anoda dengan syarat melaporkan kemajuan pembangunan pabrik pemurnian lumpur anoda ini kepada pemerintah. PT Smelting sedang bernegosiasi dengan PT Antam untuk bekerja sama mengolah dan memurnikan lumpur anoda.
Pembangunan smelter tembaga baru dari konsentrat PT FI dan PT NNT juga harus diikuti pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian lumpur anoda. Apa hubungannya dengan PPN?
Sebagaimana diatur UU No 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Pasal 4A), emas batangan tidak dikenai PPN. Saat PT Smelting mengekspor lumpur anoda, perusahaan ini dapat merestitusi PPN-nya karena yang dijual adalah lumpur.
Saat lumpur anoda diproses menjadi logam emas dalam bentuk emas batangan (seperti produk PT Antam), PT Smelting tidak dapat lagi mendapatkan restitusi PPN karena produknya berupa emas batangan yang tidak dikenai PPN. Saat PT Smelting membeli konsentrat tembaga ke PT FI dan PT NNT, PT Smelting dikenai PPN sesuai kandungan emas dalam konsentrat tembaga itu. Nilai PPN 10 persen dari harga emas dalam konsentrat tembaga ini cukup besar dan memengaruhi cashflow. Jika tidak dapat direstitusi (lumpur anoda diproses menjadi logam emas di dalam negeri), cashflow perusahaan akan bermasalah.
Jika perusahaan lain, misalnya PT Antam, ingin memproses lumpur anoda itu dan membeli lumpur anoda dari PT Smelting (buying scheme), PT Antam juga akan kesulitan apabila pembeliannya dikenai PPN dan tidak dapat direstitusi saat produknya berupa emas batangan diekspor. Perlu dipahami, margin keuntungan pabrik pemurnian lumpur anoda hanya 2-3 persen sehingga jika kena PPN 10 persen, sudah tentu akan merugi (dengan kerugian 7-8 persen dari nilai emas dalam lumpur anoda).
Dengan skema bisnis tolling, yaitu melalui jasa pengolahan dan pemurnian, di mana pemilik lumpur anoda membayar biaya pengolahan dan pemurnian (treatment charge-refining charge), memang perusahaan penyedia jasa pemurnian lumpur anoda tidak terkena PPN, tetapi pabrik peleburan tembaga yang menanggung bebannya karena saat produk dijual dalam bentuk emas, PPN tidak bisa direstitusi. Berbeda kasusnya dengan jasa pemurnian dore bullion dari kontrak karya (KK) tambang emas, di mana perusahaan-perusahaan tambang emas ini tidak punya masalah PPN karena emas batangannya diekspor setelah dimurnikan di Unit Pemurnian Logam Mulia, PT Antam dan perusahaan-perusahaan KK emas ini dapat memperoleh kembali restitusi PPN-nya.
Alternatif restitusi
Beberapa alternatif telah disarankan, mulai dari pemberlakuan PPN nol persen terhadap emas batangan hasil proses pemurnian lumpur anoda, pemberlakuan skema tolling di hulu, yaitu antara perusahaan tambang tembaga dan smelter tembaga, hingga produksi emas dari lumpur anoda bukan dalam bentuk emas batangan. Misalnya dalam bentuk granul sehingga PPN dapat direstitusi saat produk diekspor.
Permasalahan PPN ini sebenarnya sudah diketahui dan sering dibahas antara pelaku dan pelaku bisnis, yaitu Antam, PT Smelting, dan pemerintah dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Sebagai orang yang terlibat di dalam pembahasan dengan pemerintah dan pelaku usaha mengenai hilirisasi komoditas mineral dan pernah menjadi ketua tim perumus percepatan hilirisasi mineral di Direktorat Jenderal Minerba-ESDM tahun 2013, saya merasa perlu menuliskannya dengan harapan memberikan resonansi yang lebih besar.
Selain permasalahan PPN untuk emas, tantangan lain pembangunan smelter tembaga adalah pemanfaatan asam sulfat sebagai produk samping yang cukup besar jumlahnya. Karena itu, harus direncanakan dengan baik pemanfaatannya sebagaimana yang telah diterapkan PT Smelting dengan PT Petrokimia Gresik sebagai bahan baku pupuk. Lokasi pabrik PT Smelting dipilih dekat PT Petrokimia Gresik sehingga transportasi asam sulfat mudah dan murah menggunakan jaringan pipa.
Diharapkan by product asam sulfat ini dapat memberikan tambahan revenue smelter dan juga sekaligus mendukung industri strategis lain di dalam negeri, seperti industri pupuk dan ekstraksi nikel. Alangkah ironisnya bila asam sulfat ini diekspor ke luar negeri, sementara pabrik pupuk di Indonesia membeli bahan baku sulfur dari luar negeri.
Tantangan berikutnya adalah pengembangan industri hilir di dalam negeri yang dapat menyerap produk tembaga katoda dari smelter yang baru dibangun. Konsumsi per kapita tembaga di dalam negeri masih kecil ketimbang Tiongkok, Malaysia, dan Thailand yang sudah berada pada kisaran 5 kg per kapita pada 2012, sementara di dalam negeri baru sekitar 1,2 kg per kapita.
Kebutuhan logam tembaga di dalam negeri masih akan terus meningkat dilihat dari koefisien elektrifikasi Indonesia yang masih 73 persen, di mana energi listrik perlu media transmisi kabel dengan bahan baku utama tembaga. Jika proyeksi konsumsi tembaga per kapita 5 kg pada 2025 terpenuhi, kebutuhan pasokan tembaga di dalam negeri lebih kurang 1,37 juta ton (lebih dari 4 kali kapasitas produksi smelter yang ada saat ini).
Hubungan antara industri hulu dan hilir ini harus dijaga, dikelola dengan baik, dan ditingkatkan. Praktik-praktik tata niaga yang tak sehat dan pungutan-pungutan ilegal pada jalur suplai bahan baku logam ke industri hilir harus dibasmi sehingga industri hilir dapat tumbuh dengan baik dengan suplai bahan baku tersedia di dalam negeri.
Zaki Mubarok
Dosen dan Ketua Program Studi Teknik Metalurgi, ITB
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009101421
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar