Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 Oktober 2014

Likuiditas dan Pembatasan Bunga Deposito (A Prasetyantoko)

MINGGU lalu, ada dua hal menarik terjadi dalam perekonomian kita. Pertama, rupiah melemah mendekati Rp 12.200 per dollar Amerika Serikat, sementara Indeks Harga Saham Gabungan sempat menyentuh level 4.990 meski akhirnya ditutup pada level 5.000. Padahal, IHSG pernah mencapai 5.200-an. Pada Jumat lalu, investor asing melakukan penjualan bersih senilai lebih kurang Rp 1,5 triliun, mengindikasikan terjadi aliran modal keluar yang, jika berlanjut, bisa mengganggu stabilitas makroekonomi kita.

Kedua, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan pembatasan bunga deposito di atas Rp 2 miliar maksimum 200 hingga 225 basis poin di atas suku bunga acuan Bank Indonesia. Tujuannya, untuk meredam perang suku bunga yang marak terjadi, terutama pada semester I-2014 ini.

Apa kaitan kedua hal tersebut? Jika persaingan bunga deposito bisa ditekan, biaya bank memperoleh dana dari masyarakat bisa lebih rendah sehingga bunga kredit bisa diturunkan. Namun, tujuan itu bisa tak tercapai jika likuiditas makro justru mengetat. Di sinilah letak paradoksnya.

Apa sebenarnya faktor pendorong pengetatan likuiditas makro akhir-akhir ini? Benarkah akibat faktor politik? Perkembangan
politik di parlemen memang memengaruhi sentimen pasar keuangan. Sama halnya sewaktu Joko Widodo diumumkan menjadi calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, hanya dalam beberapa jam terjadi pembelian saham senilai Rp 1,5 triliun. Minggu lalu, kejadian sebaliknya terjadi. Jadi, memang ada faktor sentimen yang bekerja.

Namun, faktor yang lebih penting sebenarnya adalah faktor fundamental ekonomi, baik pada level domestik maupun global. Sentimen politik hari-hari ini hanya membuat nilai tukar berfluktuasi pada rentang
Rp 12.000 hingga Rp 12.200. Itu pun terjadi saat situasi fundamental domestik kita serta situasi global sedang tidak kondusif sehingga pelemahan nilai tukar akhir-akhir ini didorong gabungan faktor sentimen dan fundamental. Lebih penting melihat faktor fundamental perekonomian kita ketimbang diombang-ambingkan oleh perkembangan politik yang masih terus bergulir.

Kebijakan OJK membatasi bunga deposito diharapkan memengaruhi fundamental perbankan kita, khususnya dari sisi likuiditas dan kualitas kredit (nonperforming loan/NPL). Jika bunga deposito turun, ruang menurunkan bunga pinjaman tersedia. Semakin rendah bunga kredit, pertumbuhan dan kualitas kredit berpotensi ditingkatkan.

Pada Juli 2014, tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) industri perbankan kita sebesar 19,39 persen, jauh di atas ukuran Basel III yang paling berat sekalipun, sebesar 10,5 persen. Tingkat kredit bermasalah secara industri juga relatif rendah, sebesar 2,23 persen. Meski secara industri sehat, ada beberapa bank, terutama bank kecil, yang mengalami persoalan, baik CAR maupun NPL.

Sementara rasio tabungan terhadap kredit (loan to deposit ratio/LDR) mencapai 92,19 persen. Padahal, pada awal 2009, LDR perbankan baru sekitar 70 persen dan pada 2003 hanya sekitar 37 persen. Hal ini menandakan sektor perbankan mulai kehabisan amunisi untuk menopang penyaluran kredit. Bahkan, di beberapa bank, LDR sudah mendekati 100 persen, bahkan lebih. Dengan kata lain, semua dana pihak ketiga yang dikumpulkan bank tersebut disalurkan kembali sebagai kredit.

Persaingan ketat mendapatkan dana masyarakat menjadi kian berat karena dua hal penting. Pertama, kompetisi dengan suku bunga obligasi dan instrumen keuangan lain yang kian menarik seturut dengan meningkatnya kebutuhan pemerintah menutup defisit fiskal yang terus melebar. Kedua, pasar keuangan kita semakin bergantung pada likuiditas asing sehingga suku bunga domestik cenderung ketat. Di tengah melebarnya
defisit transaksi berjalan, ketergantungan terhadap neraca modal dan finansial semakin tinggi. Untuk mempertahankan aliran modal asing tersebut, suku bunga acuan Bank Indonesia tidak bisa diturunkan meski inflasi rendah.

Tekanan makro ini masih ditambah dengan struktur deposan yang oligopolis atau hanya segelintir deposan besar yang menguasai seluruh dana kelolaan bank.

Pembatasan suku bunga deposito maksimum 2 persen dan 2,25 persen di atas suku bunga acuan Bank Indonesia untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 dan 4 memiliki implikasi penting. Pertama, perang suku bunga akan bergeser pada kelompok BUKU 1 dan 2 atau bank dengan modal di bawah Rp 5 triliun. Pada BUKU 4 atau bank dengan modal di atas Rp 30 triliun, bunga deposito maksimum 9,5 persen. Sementara pada BUKU 3 boleh sampai 9,75 persen. Deposan besar di atas Rp 2 miliar mempunyai pilihan untuk memindahkan dananya ke bank kecil untuk mendapatkan bunga lebih tinggi. Namun, migrasi ini diperkirakan tidak akan besar mengingat deposan besar memperhitungkan risiko. Semakin kecil bank, semakin besar risikonya.

Kedua, dana ritel mungkin lebih tertarik masuk ke instrumen keuangan lain, terutama reksa dana dan saham. Selain itu, semakin banyak pemerintah mengeluarkan obligasi, pasar surat utang semakin sesak (crowding out) yang berpotensi mendorong kenaikan imbal hasil sehingga investor tertarik untuk masuk.

Meskipun tidak ada jaminan pembatasan bunga deposito akan diikuti penurunan bunga kredit karena komplikasi dengan faktor lain, kebijakan tersebut tetap diperlukan. Prinsipnya, kebijakan tersebut memperbaiki transmisi moneter di dalam industri perbankan meskipun tantangan penurunan bunga kredit sesungguhnya ada pada level makro.

Di sinilah paradoks dalam mengelola perekonomian yang dinamikanya kompleks dan sering saling menegasikan satu dengan yang lain. Untuk itu, kebijakan harus melihat semua aspek secara berjenjang dalam keseluruhan.

A Prasetyantoko Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009310770
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger