Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 02 November 2014

Politik sesungguhnya bagi Romo Mangun (Abdul Hakim)

"Saya ini daging tua, tidak menarik diterjang peluru... Ya... paling-paling jadi pupuk...."

Ucapan Romo Mangun itu terdengar panitia seminar di Hotel Le Meridien Jakarta, dalam obrolan saat rehat di suatu siang awal tahun 1999.

Tak lama kemudian, ia meninggal dunia karena serangan jantung.

Romo Mangun menghembuskan napas terakhir dengan cara mulia, sebagai cendekiawan, saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar.

Budayawan Mohamad Sobary menjadi salah seorang saksi terakhir kehidupan Romo Mangun.

Siang itu tiba-tiba saja Romo memeluk Sobary, selanjutnya kepalanya jatuh terkulai di pundak Sobary.

Sosok Romo Mangun yang memiliki nama asli Y.B. Mangun Wijaya, sepak terjangnya bisa ditelusuri dalam sebuah buku mungil berjudul "Kata-Kata Terakhir Romo Mangun" dengan editor Bambang Murtianto.

Ada inisiatif besar melalui buku yang diterbitkan Kompas pada 2014 ini yakni menghidupkan pesan moral Romo Mangun bagi kehidupan generasi bangsa Indonesia di era modern saat ini.

Dalam buku itu, pembaca juga dapat mengetahui rekam jejak menjelang akhir hidup Romo Mangun, baik dalam hal pemikiran politik maupun religiusitas.

Melihat sepak terjangnya selama hidupnya, mungkin masyarakat umum tidak banyak yang mengetahui.

Tapi, bagi masyarakat miskin dan lemah, khususnya kaum petani Kedungombo yang kampungnya bakal terendam air waduk di penghujung dekade 1980-an, sosok Romo Mangun merupakan pahlawan "wong cilik" sekaligus inspirator buat mereka yang ingin bangkit dari keterpurukan.

Selain rohaniawan, Romo Mangun juga dikenal sebagai arsitektur, novelis, dan seorang esais. Selama hidupnya diabdikan bagi kepentingan masyarakat yang memerlukan bantuannya. Bahkan ia suka berbaur dengan lingkungan sosial.

Romo Mangun tidak apatis dalam hal politik.

Ia membagi pengertian politik itu ada dua macamnya. Pertama, politik dalam rangka kekuasaan, yaitu bagi yang berkuasa untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasan.

Nah, inilah yang masyarakat umum selama ini memahaminya, sehingga muncul istilah "politik itu kotor".

Kedua, politik moral, yaitu niat demi kepentingan orang banyak. Inilah sebenarnya arti politik sesungguhnya.

Romo Mangun juga mengatakan kalau sampai akademisi dan pengamat politik berpendapat bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi, maka hal itu menyedihkan sekali.

Baginya, mereka hanya ikutan-ikutan dengan paradigma politik kekuasaan tersebut.

Dari segi politik moral, teman abadi cuma ada tiga yaitu prinsip memperjuangkan apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang indah. Ini temannya yang abadi-sejati, dan jelas tidak bisa berubah.

Keberanian Romo Mangun membela kaum petani dalam masa Orde Baru patut mendapat apresiasi.

Tentu, ini ada hubungannya dengan pemikirannya mengenai kekayaan budi yang terdapat dalam kaum miskin.

Dalam buku ini dijelaskan juga pandangan Romo Mangun mengenai kaum miskin.

Menurut Romo Mangun, Dalam banyak perkara mereka yang disebut miskin itu sungguhlah kaya.

Kaya dalam sikap dan keuletan, kaya dalam sifat yang benar-benar memanusiakan manusia, kaya akan sikap dan penghayatan keadilan, pengorbanan, dan pertolongan kepada sesama senasib, kaya dalam peradaban dan budaya manusia sejati.

Kaum miskin punya bentuk-bentuk kekayaan yang tidak kita punyai dan yang sering membuat mereka berstatus mahaguru rohani untuk kita.

Dia menulis, ada aspek-aspek perjuangan untuk dan demi kaum miskin dari pihak kita, akan tetapi ada aspek lain juga, yakni lewat dialog eksistensial dengan mereka.

"Kita dapat belajar banyak dari kekayaan mereka berupa kemanusiawian sejati yang adil dan beradab, yang ulet, yang sabar dan kokoh-bertahan dalam situasi kondisi yang begitu berat sehingga boleh jadi membuat kita sudah amat pagi berputus asa seandainya kita digilas seperti mereka digilas."

Romo Mangun juga menyadarkan pembaca betapa mental kolonial itu masih terasa dan nyata adanya di sekitar kita meski Indonesia telah resmi merdeka pada 17 Agustus 1945.

Sebelum meninggal, di tempat yang sama, Romo Mangun sempat bercakap dengan editor buku ini tentang tugas generasi muda selanjutnya bagaimana.

Romo Mangun menulis artikel di Kompas, 5 Desember 1997 yang berjudul: "Tugas Generasi Muda: Demi Tahun 2045".

Dalam artikel tersebut, Romo Mangun mengungkapkan bahwa dari generasi mudalah akan timbul perbaikan secara fundamental.

Generasi muda, dia mencontohkan Soekarno-Hatta, Gandhi-Nehru dan lainnya, telah memberi pencerahan-pencerahan lewat paradigma baru.

Pada bagian berikutnya, buku ini berisi surat terbuka Romo Mangun untuk BJ Habibie yang waktu itu menjadi presiden setelah lengsernya Soeharto.

Dari surat tersebut, tampak hubungan erat Romo Mangun dengan BJ Habibie.

Sumber: http://m.antaranews.com/berita/461970/politik-sesungguhnya-bagi-romo-mangun
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger