Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Mei 2015

TAJUK RENCANA: 17 Tahun Reformasi (Kompas)

Tanggal 21 Mei, 17 tahun lalu, Indonesia memasuki era baru. Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden setelah berkuasa 32 tahun.

Setelah 21 Mei 1998, Indonesia meninggalkan sistem pemerintahan otoriter dan memasuki era demokrasi. Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto membuka keran kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, dan kebebasan berpolitik. Konstitusi diubah dan menjadikan lembaga negara dalam posisi setara dan seimbang.

Tahapan transisi demokrasi bisa dilalui Indonesia. Sirkulasi elite kekuasaan berlangsung periodik setiap lima tahun melalui pemilihan umum yang damai. Proses alih kekuasaan berlangsung membaik dari periode ke periode.

Terakhir, peralihan kekuasaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2014, berlangsung mulus. Peralihan kekuasaan yang mulus itu tak lepas dari peran Presiden Yudhoyono yang ingin mewariskan tradisi alih kekuasaan yang baik, dan Presiden Yudhoyono berhasil.

Apa yang telah berjalan di Indonesia selama 17 tahun merupakan sebuah capaian demokrasi. Demokrasi kian matang karena transisi kekuasaan selalu berjalan dengan mekanisme konstitusional melalui pemilu. Tidak boleh ada pikiran untuk mengambil kekuasaan tanpa melalui proses pemilihan umum. Pemilihan umum adalah satu-satunya aturan main dalam sirkulasi elite kekuasaan.

Kita memandang demokrasi prosedural telah relatif matang. Namun, masalahnya bagaimana prosedur-prosedur demokrasi bisa menghadirkan apa yang ditegaskan dalam konstitusi sebagai hadirnya kesejahteraan rakyat. Peran pemimpin dan elite politik amat penting untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat itu. Itulah tugas konstitusional seorang pemimpin.

Menggunakan momentum kebangkitan nasional, kita sependapat dengan pandangan sejarawan Anhar Gonggong seperti dikutip harian ini. Anhar mengajak elite politik belajar dari proklamator Soekarno-Hatta yang mempunyai semangat berkorban untuk nusa dan bangsa.

Melengkapi pandangan tersebut, kita menambahkan, selain kejujuran dan kerelaan berkorban, seorang pemimpin harus menunjukkan kualitas kepemimpinan serta mampu memberikan arah ke mana bangsa ini akan dibawa. Seorang pemimpin harus mampu memimpin dan mengarahkan bagaimana negara ini mencapai tujuan konstitusionalnya.

Bangsa ini tentunya tidak ingin terjebak pada apa yang disebut John Markoff sebagai demokrasi beku (frozen democracy). Demokrasi beku ditandai dengan tidak membaiknya kondisi perekonomian bangsa, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak kunjung tuntas, serta penyelesaian kasus hukum masa lalu yang tak pernah terselesaikan.

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla punya tugas untuk mencegah Indonesia masuk dalam jebakan demokrasi beku.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "17 Tahun Reformasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger