Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 02 Februari 2016

TAJUK RENCANA: Novel dan Revisi UU KPK (Kompas)

KPK kembali menarik perhatian publik. Niat anggota DPR merevisi Undang-Undang KPK dan pelimpahan kasus Novel ke pengadilan jadi pemicu.

Sebagian pegiat anti korupsi langsung bereaksi ketika Badan Legislasi DPR berniat menghidupkan kembali gagasan merevisi UU KPK. Seperti dikutip harian ini, politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengatakan, pihaknya akan membawa naskah akademis dan draf Rancangan UU KPK yang sudah mereka rumuskan Oktober 2015.

Ada empat poin yang disepakati DPR dan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni pembentukan Dewan Pengawas, penambahan kewenangan KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, pengaturan penyadapan, dan kewenangan KPK mengangkat penyidik sendiri.

Rencana DPR merevisi UU KPK dibaca publik sebagai upaya melemahkan KPK. Pemahaman itu tak bisa disalahkan karena hasrat melemahkan KPK memang selalu ada. UU KPK termasuk undang-undang yang berulang kali dimintakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan diusulkan untuk direvisi. Pelemahan KPK itu berjalan sejak pemilihan pimpinan KPK, pelimpahan perkara Novel Baswedan, dan revisi UU KPK. Kita tentunya tak ingin menghalangi proses hukum. Namun, proses hukum terhadap Novel dihadapkan pada rasionalitas publik. Novel telanjur menjadi ikon pemberantasan korupsi.

Novel sepertinya ditarget setelah dia memimpin penyelidikan kasus yang melibatkan Direktur Lalu Lintas Polri tahun 2012. Peristiwa itu memicu ketegangan antara KPK dan Polri. Sejumlah penyidik Polri mendatangi KPK untuk menangkap Novel. Pada tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, "Waktu dan penegakan hukum terhadap Novel tidaklah tepat." Namun, proses hukum terhadap Novel kembali berlanjut sampai sekarang. Presiden Joko Widodo pernah memerintahkan Kepala Polri untuk tidak menahan Novel Baswedan.

Meski dalihnya adalah penegakan hukum, penuntutan terhadap Novel tetaplah memicu tanda tanya. Tuduhan penganiayaan yang dilakukan Novel terjadi tahun 2004 atau dua belas tahun lalu. Saat itu, Novel adalah Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu berpangkat inspektur satu. Dia naik pangkat menjadi komisaris. Ketika Novel memimpin penyelidikan terhadap perwira tinggi kepolisian, jeratan kriminal itu kembali diarahkan.

Latar belakang psikologis politis itulah yang kembali mencuatkan prasangka bahwa operasi pelemahan KPK melalui berbagai cara sedang dikerjakan. Bagaimana nasib pemberantasan korupsi di negeri ini berada di tangan Presiden Joko Widodo. Komitmen Presiden Jokowi terhadap eksistensi KPK dinantikan publik.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Novel dan Revisi UU KPK".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger