Hal itu juga terjadi dalam dunia seni, terutama seni sinematografi, mulai dari tema, orientasi, hingga misi masih didominasi pola pikir kolonial, sehingga budaya nasional yang hendak dibangun belum mewujud. Tokoh perfilman nasional Usmar Ismail mengatakan, hanya ada satu cara mengatasinya: revolusi.
Usmar mewujudkannya dalam berbagailangkah. Pertama, ia merevolusi tema. Kalau selama ini film di Tanah Air banyak bercerita tentang dongeng, Usmar mengangkat tema realitas sosial dengan segala ironinya.
Kedua, merevolusi orientasi. Kalau selama ini film semata untuk hiburan, Usmar menjadikan film sebagai sarana perjuangan dan pembentukan karakter bangsa.
Ketiga, revolusi penguasaan. Kalau selama ini pasar film nasional dikuasai asing, khususnya AS, Usmar dan kawan-kawan mampu membalik situasi, menggeser pasar asing dan menempatkan film nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Karya budaya
Usmar memanfaatkan film sebagai sebuah karya budaya, dengan daya tarik estetik dan agenda etik. Paduan ini membuat film indah dan sekaligus bermanfaat. Hal ini bisa dilihat dari film Usmar pertama The Long MarchatauDarah dan Doa, yang diproduksi oleh Perfini. Film itu menggambarkan watak manusia Indonesia yang diempas revolusi, mulai dari agresi, gerakan subversi hingga penyerahan kedaulatan. Semua divisualisasikan secara alami. Karena itu, sebagai penanda penyerahan kedaulatan saat Bung Karno kembali menempati Istana Merdeka tahun 1950, diputar film The Long March.
Bung Karno berkomentar, pada dasarnya film adalah sarana perjuangan, karena itu memang seharusnya film Indonesia memiliki karakter tersendiri, jangan seperti film Amerika yang serba cepat, sepintas, dan dangkal. Jangan pula seperti film Rusia yang terlampau njlimetsehingga lamban dan membosankan. Usmar diminta belajar pada film Italia atau Perancis yang film-filmnya bermutu sekaligus menarik.
Atas keberhasilannya menciptakan genre baru perfilman nasional, Musyawarah Nasional Dewan Film Indonesia tahun 1950 menetapkan hari permulaanshooting film The Long March, 30 Maret 1950, sebagai hari lahir Film Nasional. Sang sutradara Usmar Ismail bersama DjamaluddinMalik ditetapkan sebagai bapak film nasional.
Hidup di tengah revolusi yang tak kunjung usai memang susah dan penuh ketidakpastian. Apalagi dasawarsa 1950-1960 diwarnai dengan benturan ideologi yang keras. Karena itu, Usmar mencari topangan partai.
Banyak partai, tetapi tidak semua cocok. Dari cara beragama, sikap politik dasar, ideologi, maupun iramanya. Namun, ternyata Usmar bersama sineas lain, yaitu Asrul Sani, menemukan partai yang sejalan, yaitu Partai Nahdlatul Ulama, di mana sineas lain, yaitu Djamaluddin telah lama berada di sana.
Selain menjadi petinggi partai, tahun 1962 mereka mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).Lewat Lesbumi mereka menjalankan kiprah kesenian.
Kembangkan perfilman
Usmar kemudian mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) sementara Djamaluddin mendirikan Perseroan Artis Republik Indonesia (Persari), ditambahlembaga film lain, termasuk milik negara, yang menjadikan produksi film nasional terus meningkat dan mampu mengimbangi dominasi film asing. Terutama Inggris danAmerika, yang dikendalikan American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI).
Dominasi AMPAI dalam pasar film Indonesia yang hampir 100 persen itu, juga membuat berang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lembaga kebudayaan PKI itu menyerukan boikot AMPAI. Namun, seruan ditanggapi dingin oleh Usmar dan kawan- kawan, yang sadar akan timbulnya kekacauan kalau dihapus begitu saja sebelum ada alternatifnya. Sikap Usmar, Sani, dan Djamaluddin itumembuat Lekra marah dan menuduh merekaanti revolusi.Menghadapi tuduhan itu Usmar mengatakan bahwa perjuangan melawan dominasi film asing bukan pekerjaan yang mudah.
Pada awalkemerdekaan hanya film Amerika danEropa saja yang diimpor oleh maskapai Amerikadan maskapai Inggris,J Arthur Rank, serta beberapa maskapai Belanda. Sisanya ditangani importir nasional untukimpor film dari berbagai negara Asia.
Di tengah dominasi film-film asing itulah perusahaan film nasional berusaha bangkitdengan membuat berbagai film tanpa bantuan siapa pun. Di tengah suasana liberalisme dan free fight itulah film Indonesia membangun karakter.
Menurut statistik, sekitar tahun 1954 peredaran film AMPAI cukup besar, 250 per tahun. Usmar dan kawan-kawan terus berjuang sehingga pada 1962 jumlahnya turun menjadi 120. Akhirnya pada 1964tinggal 80 dantiap tahun jumlah film-film Amerika yang masuk ke Indonesia terus berkurang.
Menghadapi dominasi menurut Usmar memang harus kreatif,dengan cara mendorongpercepatan produksi film nasional.Ketika Menteri Perdagangan Adam Malik melikuidasi AMPAI dan menghentikan aksi boikot, hal itu belum menyelesaikan masalah mengisi kekosongan film dibioskop nasional. Disitulah Usmar dan kawan-kawanmembangun perfilman nasional dengan menciptakan film-film bermutu.
Orde Baru
Memasuki era Orde Baru kejayaan film nasional merosot. Selain pembatasan politik oleh rezim penguasa, juga terjadi monopoli film Hollywood. Kalau dulu masuknya film ke Indonesia melalui AMPAI, pada masa Orde Baru film Hollywood masuk melalui Motion Picture Export Association of America (MPEAA). Lembaga ekspor film Amerika ini mendominasi total pasar film Indonesia, sehingga mengancam industri film nasional.
Ketika Pemerintah Indonesia pada 1970-1980 hendak menerapkan kuota impor film agar film nasional berkembang. Namun, kapitalisme adalah predator, tuntutan itu bukan dipenuhi oleh MPEAA, malah Pemerintah Amerika turun tangan dan mengancam akan memboikot produk Indonesia, yaitu tekstil dan kayu lapis. Runtuhlah film nasional.
Pukulan terhadap film nasional makin bertambah, ketikagedung bioskop dimonopoli pemodal raksasa. Akibatnya film nasional sulit masuk. Satu per satu gedung bioskop rakyat runtuh karena kehabisan penonton akibat tidak mendapat jatah film.
Runtuhnya bioskop rakyat diikuti runtuhnya film nasional. Runtuh pula selera masyarakat terhadap film dan kesenian pada umumnya.
Hadirnya era reformasi juga tidak memberikan dampak positif terhadap perfilman nasional. Rupanya waktu untuk bangkit dari keterpurukan tidak cukup satu dekade. Apalagi menghidupkan selera penonton yang sudah mati rasa. Butuh waktu lebih lama lagi.
Berbagai momentum bangkitnya perfilman nasional yang pernah muncul selalu tenggelam kembali. Ada beberapa faktor, antara tidak adanya kesepahaman antara penonton dengan para sineas. Sering sineas membuat film yang berkutat dengan dunianya sendiri, jauh dari realitas, sehingga fim seperti itu tidak menyentuh minat tonton masyarakat. Sebaliknya, apresiasi penonton yang masih rendah juga semakin buruk ketika hiburan kelas rendah yang muncul.
Sebenarnya genre film revolusi yang dirintis Usmar terus hidup karena ada yang melanjutkannya. Mulai dari film Teguh Karya yang berjudul November 1828 maupun film Eros Djarot,Cut Nyak Dien, semua muncul di era 1980-an.
Belakangan film serupa juga terus berkembang, seperti Soekarno, Jenderal Soedirman, Soegija, Sang Kiai (Revolusi 1945), Merah Putih, dan banyak lagi yang lain. Film semacam ini memiliki penggemar cukup besar, termasuk kalangan remaja, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan genre semacam ini dengan alasan tidak sesuai dengan selera pasar.
Meneruskan Usmar
Dengan modal yang ada itu, kita bisa melanjutkan langkah Usmar 66 tahun yang lalu untuk membangun kembali perfilman nasional. Apalagi kondisi saat ini juga mengulang keadaan 1950-an.
Catatan panitia perayaan Hari Film Nasional ke-65 tahun 2015 yanglalu menunjukkan bahwa film Hollywood menguasai 70 persen pasar film nasional. Sebenarnya produksi film nasional sudah mulai menggeliat, sayangnya penonton film nasional menurun dari 16,8 juta orang tahun 2010 menjadi 15,4 juta orang pada 2014. Hal itu terjadi karena produksi tidak disertai apresiasi dan promosi yang memadai.
Persoalannya sekarang orang tidak tahu film apa yang sedang tayang karena nyaris tiada iklan, bahkan juga poster. Kalaupun berniat menonton film, orang tidak tahu di mana gedung bioskop berada. Tidak semua ibu kota kabupaten memiliki gedung bioskop, padahal di masa lalu gedung bioskop menyebar hingga ke kecamatan. Itupun masih didukung promosi melalui bende dengan menggunakan sado keliling kampung, menempel poster di pasar, di sekolah, dan di gardu.
Di gedung bioskop dipasang poster film yang sedang bermain dan yang akan diputar minggu berikutnya. Sementara saatini gedung bioskop tersamar tidak ada tanda. Semakin putuslah hubungan masyarakat dengan dunia film. Apalagi, tersedia televisi layar lebar sehingga orang cenderung menonton di rumah atau nonton bareng di kafe.
Memang untuk membangkitkan perfilman nasional—sebagaimana dirintis Usmar Ismail—kita perlu membenahi semuanya. Karena kerja film ini bukan hanya kerja seni, tetapi merupakan kerja peradaban, semua pihak mestinya ikut berkewajiban melaksanakan, tidak hanya insan film, tetapi juga pemerintah, kalangan pengusaha, dan masyarakat perlu dibangun kembali seleranya.
Negara lain, seperti India mampu menghidupkan perfilman mereka di tengah dominasi Hollywood dengan membangun Bollywood. Demikian juga Nigeria, negeri yang penuh konflik, mampu membangun industri perfilman dengan mendirikan Nollywood yang bisa menerobos pasar film dunia.
Momentum peringatan Hari Film Nasional ke-66 tahun 2016 ini seyogianya menjadi momentum untuk menggerakkan lagi perfilman nasional.
ABDUL MUN'IM DZ, AKTIVIS KEBUDAYAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar