Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Menanti Narasi Lain (Kompas)

Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah melewati 18 bulan. Survei harian ini menunjukkan ada capaian di bidang politik dan hukum.

Hasil survei yang dipublikasikan pada Selasa dan Rabu (3-4/5) terungkap ada peningkatan kepuasan publik terhadap bidang politik, keamanan, dan hukum. Namun, tertangkap ada kesan kekhawatiran publik terhadap jual beli perkara.

Kesigapan KPK menangkap aparat di lingkungan Mahkamah Agung dan anggota DPR memicu sentimen positif dari publik. Namun, pada sisi lain, masih terjadinya jual beli perkara, nepotisme melalui "surat sakti", memantik rasa prihatin publik. Sudahkah reformasi hukum berjalan?

Selama 18 bulan pemerintahan, Presiden Joko Widodo menonjol dalam pembangunan infrastruktur. Membangun jalan tol. Jalur kereta api. Membuka isolasi kawasan timur di Indonesia. Membangun bandara dan pelabuhan. Bendungan atau waduk. Pembangunan fisik dominan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kunjungan ke luar negeri Presiden pun tak luput dari upaya Presiden untuk menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Presiden Jokowi lekat dengan pembangunan infrastruktur. Bekerja fokus memang tidak ada yang salah. Namun, seiring dengan gencarnya pembangunan infrastruktur, publik ingin mendengar narasi lain. Narasi soal reformasi hukum yang kian kedodoran, misalnya.

Praktik jual beli perkara, sebagaimana yang mencuat akhir-akhir ini, menuntut narasi dari Presiden. Bagaimana narasi Presiden menjadikan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Bagaimana menempatkan hukum sebagai panglima dan bukan kapital sebagai panglima. Kini ada kekhawatiran soal independensi kekuasaan kehakiman. Kalau pada Orde Baru, kekuasaan kehakiman tak lepas dari intervensi kekuasaan, kini tak independen pada kekuasaan kapital.

Pandangan Profesor Gary Goodpaster, Guru Besar Emeritus Universitas California, seperti dikutip Azyumardi Azra di harian ini, menyebut, "Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya—sunggguh, tidak bisa digunakan untuk dapat memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan korup."

Pernyataan Goodpaster patut direnungkan. Ke mana reformasi hukum ini bergerak. Melihat fakta, reformasi hukum tidak bergerak ke mana-mana. Transaksi jual beli perkara masih terjadi. Kekuatan kapital bermain atau memengaruhi pasar gelap keadilan. Berdasarkan Indeks Rule of Law 2015 yang dikeluarkan World Justice Project, penegakan hukum Indonesia berada di peringkat ke-52 dari 102 negara. Kendati kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan mandiri, masyarakat ingin mendengar narasi reformasi hukum dari Presiden Joko Widodo. Ke mana hukum akan dibawa?

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Menanti Narasi Lain".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger