Pembentukan induk perusahaan adalah untuk mendorong BUMN jadi agen pembangunan, demikian isi berita Kompas edisi 27 April 2016 tentang rencana pembentukan induk perusahaan untuk BUMN. Ini adalah ide yang sangat baik untuk efektivitas-efisiensi manajemen.
Saya pernah menulis "Saran untuk Menteri Dahlan" bahwa kunci untuk keberhasilan Menteri BUMN adalah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 dan menyederhanakan BUMN. Dalam Pasal 33 ditetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Cabang-cabang produksi dimaksud adalah usaha-usaha yang melekat dengan bumi: pertambangan, perkebunan, juga telekomunikasi, jalan tol, pelabuhan udara dan laut, bank, dan BUMN lainnya.
Menurut Anwar Nasution, pakar ekonomi, inti dari industri perbankan Indonesia terdiri dari empat bank BUMN dan 26 BPD yang menguasai lebih dari 50 persen pasar perbankan nasional (Kompas, 19/5). Jika hal serupa diterapkan pada semua cabang-cabang industri strategis, minimal 55 persen jenis usaha harus dikuasai BUMN dan BUMD. Itulah sesungguhnya hakikat Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, penguasaan aset, produksi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat lebih terkendali.
Kementerian BUMN dapat studi banding ke Temasek di Singapura. Banyak tenaga Indonesia berkompeten, yang mampu mengembangkan BUMN/BUMD jika diberi kesempatan. BUMN juga dapat ditugaskan mengelola kompensasi saham dari grup usaha penerima kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank bermasalah tahun 1997, nilainya Rp 650 triliun ditambah Rp 7 triliun penyelesaian utang dari Bank Century.
Kementerian BUMN harus mampu mengendalikan berbagai perusahaan induk BUMN. Yang penting memahami portofolio dari berbagai bisnis dan sektor ekonomi.
HASIHOLAN SIAGIAN, JATIPADANG, PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN
Politik Kekuasaan
Mengikuti dinamika perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini, kita mendapat tontonan benderang dan transparan, betapa "menggiurkan" suatu kekuasaan dibandingkan idealisme politik yang selalu menjadi janji setiap kampanye partai politik.
Berpindahnya sejumlah parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung pemerintahan Jokowi-Kalla, adalah salah satu contoh nyata betapa rendah komitmen dan idealisme parpol dalam memperjuangkan cita-cita awal sebagai oposisi kritis-konstruktif. Padahal, ini sangat diperlukan demi keseimbangan politik untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menyimpang.
Memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, tidak harus masuk dan menjadi bagian dari "pusat kekuasaan". Kontrol melalui jalur legislatif sebagai oposisi kritis-konstruktif, tidak kalah mulia dan bermartabat.
Saya mengimbau para elite partai untuk kembali ke jalur politik sebagai sarana menuju cita-cita mulia, yakni untuk kesejahteraan rakyat bukan kesejahteraan kelompok tertentu.
Jangan jadikan rakyat "pijakan politik" untuk meraih kekuasaan. Mereka sudah semakin dewasa dan matang untuk menilai dan memilih parpol yang benar-benar berjuang demi kebaikan dan kesejahteraan.
YOSMINALDI, JATIKRAMAT INDAH I, JATIASIH, BEKASI, JAWA BARAT
Masih Ditagih
Saya pemegang kartu kredit BNI tahun 2006. Awal 2009 saya melunasi dan menutup kartu kredit tersebut. Saat itu kartunya langsung dipotong oleh layanan pelanggan BNI. BI checking (SID) per 17 Juni 2011 menyatakan lunas dan tidak ada tunggakan. Namun, lima tahun kemudian, BI checking (SID) per 17 Mei 2016, BNI menyatakan kondisi 5 (macet) dengan nilai tunggakan Rp 452.166.
Tanggal itu pula saya komplain ke BNI Cabang Basuki Rahmat Malang, tetapi layanan pelanggan tidak bisa memberikan solusi. Ia hanya mengarahkan ke BNI Card Center Surabaya, yang ternyata hanya menelepon dan bahkan memaksa saya untuk melunasi tunggakan yang tidak pernah saya lakukan.
Saya minta pihak BNI segera menerbitkan surat keterangan lunas dan menyelesaikan masalah ini secara langsung, bukan hanya via telepon.
GURUH EKO PRASETYO, BOROBUDUR AGUNG, MALANG, JAWA TIMUR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar