Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 01 Juni 2016

TAJUK RENCANA: Ke Mana Suriah Melangkah (Kompas)

Judul ulasan singkat ini bernada bertanya. Memang, melihat per- kembangan terakhir di Suriah yang ada hanyalah pertanyaan menyangkut prospek negeri itu.

Apakah Suriah, yang sudah dikoyak-koyak peperangan sejak 2011, akan menemukan jalan perdamaian? Jalan perdamaian sebenarnya sudah mereka temukan, yakni dalam perundingan di Geneva.

Akan tetapi, ternyata, jalan perdamaian tersebut tidak mampu membawa seluruh pihak yang berkonflik di Suriah bersedia bersepakat untuk menciptakan perdamaian, mengubur permusuhan, membuang perselisihan, dan akhirnya menegakkan perdamaian. Tidak. Perdamaian tidak mereka temukan. Yang terjadi justru sebaliknya, permusuhan, pembunuhan orang-orang yang tidak berdosa terus terjadi. Suriah tetap dikuasai oleh permusuhan.

Mundurnya ketua tim perunding oposisi utama, Mohammed Alloush, menjadi pertanda bahwa sangat sulit menemukan—bahkan—jalan perdamaian; belum kesepakatan perdamaian. Alasan pengunduran diri Mohammed Alloush juga menegaskan betapa sulitnya mencari perdamaian. Mohammed Alloush merasa bahwa pemerintah pimpinan Bashar al-Assad tidak serius dalam mengusahakan perdamaian. Bahkan, Mohammed Alloush juga berpendapat komunitas internasional tidak serius mengusahakan solusi bagi perang di Suriah.

Dengan kata lain, Mohammed Alloush mundur sebagai ketua tim perundingan karena putus asa. Putus asa melihat keadaan. Putus asa melihat proses perdamaian tidak beranjak maju. Bahkan, ia juga putus asa melihat perkembangan di lapangan: pasukan pemerintah, dukungan Rusia, tetap menggempur pasukan oposisi bersenjata yang dianggap sebagai teroris. Gencatan senjata juga tidak efektif. Sementara kelompok bersenjata yang menyebut diri Negara Islam di Irak dan Suriah seperti mendapat angin untuk bernapas lebih lega meski terdesak.

Kondisi di Suriah sekarang ini mirip dengan kondisi di Lebanon pada 1978. Ketika itu, faksi-faksi yang berbeda mulai memperkuat zona-zona sektarian. Misalnya, tentara mulai menarik diri dari wilayah-wilayah yang mayoritas Kristen, sementara itu banyak orang Kristen mulai meninggalkan wilayah yang dikuasai milisi non-Kristen. Hal itu menandakan situasi bertambah buruk. Sebab, Suriah sebelumnya dikenal sebagai negeri yang sangat plural, dan pluralitas itu menjadi kekuatan.

Di antara kelompok oposisi hingga kini tetap belum bisa bersatu dalam menghadapi pemerintah. Hal-hal pokok, misalnya, tentang masa peralihan juga belum bisa disepakati antara oposisi dan pemerintah. Dengan demikian, upaya masyarakat internasional pun akan sulit menemukan hasil. Semuanya akan sangat tergantung rakyat Suriah sendiri, apakah mereka akan mengakhiri peperangan atau membiarkan negerinya terpecah belah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Ke Mana Suriah Melangkah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger