Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 17 Juli 2016

Revisi UU Terorisme, Penegakan Hukum, dan Perlindungan HAM (INDRIYANTO SENO ADJI)

Kehendak mendorong perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak saja muncul searah serangan terorisme di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Namun, lebih pada upaya mengubah wajah UU No 15/2003 yang terkesan represif menjadi suatu aturan campuran dengan berbasis awal pada aturan yang preventif, sebagai kekuatan berimbang dari produk regulasi bagi penanggulangan ancaman terorisme.

Revisi UU Terorisme ini sekarang pembahasannya berada pada tingkat panitia khusus (pansus) dalam bentuk gabungan dari Komisi I dan Komisi III DPR. Memang, substansi revisi dari inisiatif pemerintah ini memperoleh masukan secara luas dari masyarakat, baik pemerhati hak asasi manusia (HAM), keagamaan maupun institusi penegak hukum, dan lainnya. Jadi, kehendak adanya revisi UU Terorisme ini tidak saja berbasis pada hukum pidana, tetapi juga terkait dengan hukum tata negara dengan memperhatikan sisi HAM.

Kewenangan negara

Revisi UU Terorisme ini memang memerlukan suatu payung politik dengan memberikan keseimbangan keterkaitan antara hukum pidana dengan hukum tata negara. Sebab, terdapat dua kutub kepentingan yang harus dilindungi, yaitu penegakan hukum dengan penghargaan atas HAM yang sama-sama memiliki sifat primaritas. Produk regulasi sebaiknya selain dicermati sebagai ketentuan yang bermakna bagi kepentingan yang sifatnya positif, juga bagaimana agar implementasi tidak berdampak pada kekuasaan yang eksesif.

Perlu juga dipahami bahwa ancaman terorisme haruslah diartikan sebagai suatu kejahatan yang serius, selain diartikan secara masif sebagai kejahatan luar biasa. Dengan pemahaman sebagai kejahatan serius dan luar biasa inilah, maka perlu suatu kebijakan negara untuk menanggulangi ancaman terorisme yang imperatif sifatnya, suatu keharusan yang tak tertunda, sehingga dengan begitu negara dapat memberikan jaminan keamanan masyarakat secara luas.

Mengingat sifat khusus dari revisi UU Terorisme tersebut, hukum pidana (formil dan materiil) sebaiknya memuat aturan dan ketentuan pelaksanaan kewenangan negara secara jelas dan tegas sesuai asas lex certa. Jadi, memberikan muatan aturan yang tidak menimbulkan multi- interpretatif dalam implementasi regulasinya.

Meski demikian, pemuatan aturan ketentuan revisi UU Terorisme ini haruslah dibuat secara jelas dengan memberikan basis mixed rules, yaitu UU Terorisme yang semula terkesan represif (repressive rules), kemudian menempatkannya sebagai preventif (preventive rules) sebagai bentuk kontribusi regulasi ke dalamnya. Karena itu, perlu beberapa atensi dalam pembahasannya sebagaimana dimaknai di bawah ini.

Pertama, perlu dipahami bahwa ancaman terorisme—lokal maupun global—merupakan kejahatan serius dan luar biasa. Karena itu, dalam konteks hukum tata negara darurat (Staatsnoodrecht) relasinya dengan hukum pidana darurat (Strafnoodrecht), kejahatan yang demikian sudah dikategorikan secara universal dalam karakter the principles clear and present danger (sesuai asas keadaan bahaya yang nyata dan ada), sehingga memberlakukan aturan-aturan yang eksepsional sifatnya adalah dibenarkan.

Dalam alam demokrasi, berbagai regulasi yang preventif memang perlu suatu penghindaran. Namun, karakter hukum yang memberikan pengakuan adanya suatu "bahaya yang nyata dan ada" tersebut justru pengaturan regulasi yang preventif sebagai basis yang diutamakan.

Konsep deradikalisasi merupakan karakter pendekatan preventif yang menjadi acuan revisi UU Terorisme, mengingat pendekatan represi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ternyata tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara untuk melakukan pemberantasan terorisme. Karena itu, diperlukan sarana legalitas lain untuk melakukan pencegahan tindakan terorisme yang lebih komprehensif, dan dalam hal ini pendekatan preventif adalah salah satu sarana untuk mencegah meluasnya tindakan terorisme di Indonesia, yaitu melalui program deradikalisasi yang terarah sesuai sistem peradilan pidana.

UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai payung hukum yang bermuara dari Perppu No 1/2002 hanya memberikan landasan implementasi terhadap tindakan represif (pemberantasan) terorisme, sehingga yang terjadi adalah berjatuhan korban masyarakat yang signifikan dan baru dilakukan tindakan represi terhadap pelakunya. Atas dasar pertimbangan tersebut, konsep deradikalisasi seharusnya memberikan langkah-langkah preventif untuk mengintensifkan deteksi terhadap ancaman dan sumber-sumber aksi terorisme guna mengantisipasi secara dini, serta mengintensifkan upaya pengungkapan jaringan terorisme guna mengantisipasi dan mengeliminasi perekrutan pelaku aksi teror. Semua ini masih ranah peran dan fungsi penegakan hukum dan dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban umum.

Bentuk revisi UU ini justru akan mengundang kritik dan bersentuhan dengan isu HAM, yang tentunya tidak diartikan sebagai meniadakan HAM, tetapi hanya mengurangi HAM dengan pertimbangan yang dapat dibenarkan. Bahwa, dalam kondisi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara terhadap ancaman terorisme sebagai kejahatan yang serius dan luar biasa, dapat diambil suatu langkah luar biasa, baik itu menyangkut hukum (pidana) materiil maupun formil. Karena itu, revisi UU ini harus tidak bersifat all purposing act, juga tidak bermakna all embracing actkarena memang revisi UU ini hanya limitatif terhadap deradikalisasi terorisme dengan pendekatan preventif dan bukan bagi kepentingan dan kekuasaan politik.

Dari pengamatan keterkaitan hukum tata negara (isu HAM) dan hukum pidana (isu penegakan hukum), konsep deradikalisasi justru menghindari peran dan fungsi penegakan hukum dari norma-norma tersamar yang dapat memberi kesan adanya penyimpangan atas perlindungan HAM. Tentunya revisi ini tidak dimaksudkan untuk mengembalikan makna pemberantasan subversif yang lebih berlatar belakang politik (praktis). Revisi ini diharapkan dapat memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk melakukan tindak pencegahan terhadap kegiatan- kegiatan yang diduga kuat berdasarkan hukum sebagai "perbuatan persiapan" terorisme.

Ranah hukum pidana

Kedua, revisi UU Terorisme ini lebih pada ranah hukum pidana, berisi 10 pasal baru, 9 pasal perubahan, dan 1 pasal penghapusan. Dari sisi subtansi/materiil delik, antara lain soal pemilikan, perdagangan, pendistribusian senjata/bahan peledak/komponen untuk tindak pidana terorisme (Pasal 10A), perekrutan menjadi anggota terorisme (Pasal 12A), ujaran kebencian yang mengarah tindak pidana terorisme (Pasal 15A), hingga soal pencabutan paspor pelaku dan kehilangan warga negara pelaku yang menjadi wewenang kementerian terkait.

Dari sisi formil prosedural, antara lain memperpanjang lingkup kewenangan penangkapan menjadi 30 hari (Pasal 28), pemeriksaan saksi melakukan komunikasi jarak jauh (Pasal 32 dan 34A), perlindungan terhadap penegak hukum (Pasal 33), dan hukum acara terorisme sama dengan hukum acara tindak pidana pendanaan terorisme.

Sebenarnya, revisi tidaklah selalu berpedoman pada penambahan maupun pengurangan pasal pada UU Terorisme, tetapi lebih memaknai asas pokok revisi UU dan tujuannya, yaitu kebijakan dan strategi nasional terhadap terorisme. Polemik Pasal 43A Ayat (1) yang memberikan wewenang penyidik/penuntut umum untuk membawa atau menempatkan orang tertentu dan di tempat tertentu selama 6 bulan untuk tujuan program deradikalisasi, yang sama sekali lepas dari soal pro-yustisia, yaitu meliputi arah re-identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi dan resosialisasi, sehingga sama sekali tidak ada asumsi berbentuk soft detention. Lagi pula kekhawatiran adanyasoft detention itu sudah diantisipasi melalui lembaga praperadilan atau kelak yang dinamakan lembaga pemeriksaan pendahuluan yang melakukan pemeriksaan terhadap segala upaya paksa, apabila "penempatan orang tertentu" diasumsikan sebagai soft detention.

Berbasis HAM

Ketiga, UU Terorisme yang ada sekarang ini lebih pada pendekatan represif, sehingga perlu suasana kondusif pendekatan preventif berbasis HAM. Asas hukum pidana terhadap UU Terorime memerlukan perubahan mendasar mengenai tahapan perbuatan yang pemidanaannya hanya bersifat represif saja. Artinya, dengan pendekatan preventif, tahapan persiapan perbuatan yang tidak bersifat pidana akan menjadi pemidanaan.

Dalam UU Terorisme, persiapan perbuatan (voor bereidigings handeling) tidak merupakan pidana. Namun, dengan revisi UU Terorisme, semua persiapan perbuatan yang mengarah pada terorisme adalah perbuatan yang dapat dipidana yang disamakan atas pemidanaan terhadap tahap permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) maupun tindakan pelaksanaan (uitvoering handeling).

Jadi, yang terpenting adalah bagaimana perbuatannya, bukan kalimat revisi UU Terorisme. Tindakan pencegahan melalui program deradikalisasi memang melakukan perbuatan deteksi dini secara bertanggung jawab, yang dibenarkan dan bersifat universal. Program pencegahan deradikalisasi haruslah dimaknai facta sunt potentiora verbis, suatu penegakan hukum yang berbasis perlindungan HAM!

INDRIYANTO SENO ADJI, GURU BESAR HUKUM PIDANA PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU HUKUM UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Revisi UU Terorisme, Penegakan Hukum, dan Perlindungan HAM".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger