Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 12 Januari 2017

Freeport, Sejarah Kelam Amerika di Indonesia (FREDDY NUMBERI)

Perebutan Irian Barat (Papua) antara Indonesia dan Belanda membuat hubungan kedua negara memburuk. 

Di samping itu, ada upaya untuk membunuh Sukarno. Sukarno menuduh Belanda  sebagai dalang rencana pembunuhan tersebut. Sukarno kemudian menasionalisasi semua aset milik asing dan menyita semua perusahaan milik Belanda.

Kebijakan ini sangat merugikan kepentingan bisnis Amerika, khususnya Freeport Sulphur Company yang  sudah teken kontrak dengan Oost Borneo Company (OBC) untuk mengeksplorasi kekayaan alam di Papua.  OBC kemudian diubah menjadi Nederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Untuk antisipasi tekanan dari Director Central Intelligence (DCI) Allen Dulles, Belanda dan Inggris pada 1907 bekerja sama membentuk Royal Dutch Shell (RDS) sebagai anak perusahaan NNGPM. Kemudian RDS bekerja sama dengan anak  perusahaan   Rockefeller, yaitu Standard Vacuum Oil (SVO) dengan pembagian saham Belanda 40 persen dan AS 60 persen (Greg Poulgrain, 2015: 64). 

Isu Irian Barat

Perusahaan NNGPM sejak operasi di Papua sudah "diboncengi"  Freeport Sulphur Company melalui DCI Allen Dulles, khusus untuk minyak di Sorong. Untuk pertambangan tembaga di Papua, setelah mengetahui adanya deposit yang begitu besar, dibentuk anak perusahaan PT Freeport Indonesia (PT FI) yang berkedudukan di Jakarta.

 Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) tidak tinggal diam. Setelah gagal membentuk pemerintahan pro Barat melalui pemilu tahun 1958, Deputi Direktur Perencanaan CIA Frank Wisner menggelar Operasi Hike. Operasi ini bertujuan menjatuhkan Bung Karno. Puluhan ribu rakyat Indonesia yang pro Barat dipersenjatai dan menyewa tentara bayaran dengan sasaran menggulingkan pemerintahan Sukarno. Semua bukti menjurus kepada keterlibatan CIA (Tim Weiner, 2008: 164). Sukarno tak gentar. Ia menggalang kekuatan yang setia kepadanya dan berhasil menghancurkan semua pemberontakan yang didalangi CIA.

Pada masa pemerintahan Kennedy, AS berpandangan bahwa akrabnya Sukarno dengan komunis lebih disebabkan  karena Sukarno  butuh bantuan senjata dan ekonomi dalam rangka pembebasan Irian Barat. Padahal, Sukarno adalah nasionalis tulen, bukan komunis. Terbukti, pada 1948, Sukarno menghancurkan pemberontakan komunis di Madiun. Departemen Luar Negeri  AS pun mengakui Sukarno lebih nasionalis ketimbang komunis.

Namun, sengketa Irian Barat menjadi buah "simalakama"  bagi Amerika. Satu sisi Belanda adalah sekutu dekat, di sisi lain Amerika pun tengah berusaha menggandeng Indonesia. Akhirnya Kennedy menekan Belanda di belakang layar dengan membuat surat kepada PM Belanda Dr JE de Quay, 2 April 1962 untuk mundur dari Irian Barat (Ben Koster, 1991: 100).  Belanda pun mundur karena sangat menyadari apabila terjadi  peperangan antara Belanda dan Indonesia, tanah Papua akan menjadikilling ground dan yang pasti banyak orang Papua akan ikut mati akibat pertempuran tersebut (John Saltford, 2003: 13).

 Mundurnya Belanda membuat perjanjian kerja sama Freeport dengan OBC/NNGPM mentah kembali. Freeport makin marah begitu mengetahui Kennedy juga akan memberikan bantuan 11 juta dollar AS kepada Indonesia.

Menurut banyak pihak, peristiwa pembunuhan Kennedy, 22 November 1963, tidak lepas  dari kebijakan-kebijakan Kennedy yang tidak mewakili kepentingan kaum globalis, antara lain orang paling kaya saat itu di AS, yaitu Rockefeller. DCI Allan Dulles membohongi Presiden Kennedy saat intervensi isu Papua bahwa: "that territory did not contain any worthwhile deposits of oil minerals" (teritori itu tidak ada deposit minyak). Alasannya, Allen  ingin bisnisnya di Indonesia lancar dan dia sedang menghindar dari Komisi Waren karena dicurigai terlibat dalam pembunuhan Kennedy (Greg Poulgrain, 2003: 119).

Pada 1963, Presiden Johnson membuat kebijakan yang berbalik 180 derajat. Johnson mengurangi program bantuan atas Indonesia. Salah satu tokoh di belakang keberhasilan Johnson adalah Augustus C Long, yang juga  seorang anggota dewan direksi Freeport. Ia sangat terpukul oleh kebijakan  Sukarno pada waktu itu karena 60 persen laba perminyakan harus diserahkan kepada Indonesia.

Kolonialisme modern

Freeport bukan hanya investasi ekonomi, melainkan juga merupakan mata rantai investasi politik dan simbol penjajahan kolonialisme modern di Indonesia, khususnya di Papua.  Benturan kepentingan asing versus nasional sejak awal Indonesia merdeka sudah ada dan diciptakan oleh kaum kapitalis, utamanya dari AS. Bagi AS dan kepentingan-kepentingan korporasi tambang dan batubara di bawah kendali kekuasaan dinasti Rockefeller di Indonesia, Papua adalah fokus utama sebagai sasaran strategis dan vital bagi bisnis mereka.

Tidak salah jika dikatakan bahwa Freeport adalah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) gaya modern di Indonesia.  Hampir setengah abad Freeport di Papua, orang Papua tetap miskin dan menderita. Kita sering mendengar apabila kontrak Freeport tidak diperpanjang tahun 2021, akan terjadi sengketa arbitrase internasional, eskalasi instabilitas bermotif SARA (suku, agama, ras, antargolongan), separatisme, embargo ekonomi, ataupun invasi terhadap Indonesia seperti di Timur Tengah.

Isu-isu ini adalah teror yang mencoba untuk menggoyahkan pendirian pemerintah dalam rangka menegakkan konstitusi negara Indonesia. Pemerintah harus jeli melihat permasalahan yang ada serta mencari solusinya dengan keberpihakan  pada kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia di atas segalanya.

Indonesia jangan mau didikte oleh perusahaan kapitalisme Freeport McMoran Copper and Gold Inc yang bergaya VOC ini. Kuncinya adalah pegang teguh aturan dan ketentuan serta prinsip  keadilan demi kesejahteraan bangsa Indonesia.

FREDDY NUMBERI

Duta Besar; Tokoh Masyarakat Papua

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Freeport, Sejarah Kelam Amerika di Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger