Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 19 Januari 2017

TAJUK RENCANA:Kedepankan Kaderisasi (Kompas)

Melonjaknya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah yang akan digelar 15 Februari 2017 sungguh menjadi ironi demokrasi.

Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum, ada sembilan calon tunggal yang akan bertanding dengan kotak kosong dalam pilkada nanti. Mereka ada di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara; Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung; Pati, Jawa Tengah; Landak, Kalimantan Barat; Buton, Sulawesi Tenggara; Maluku Tengah, Maluku; Tambrauw, Papua Barat; Kota Sorong, Papua Barat; dan Kota Jayapura, Papua.

Jumlahnya sekilas tidak terlihat luar biasa, 8,9 persen dari 101 daerah yang akan menggelar pilkada. Namun, jika dibandingkan dengan pilkada serentak 2015, yang hanya ada di tiga daerah dari total 269 daerah, berarti melonjak luar biasa, meningkat sembilan kali lipat.

Dengan calon tunggal ini, sumber daya manusia yang tersebar luas di pelosok negeri seakan sudah habis tak bersisa. Ujungnya, warga juga yang dirugikan karena tidak memiliki alternatif untuk memilih pemimpinnya.

Kita yang sudah hidup di era reformasi seakan kembali ke era otoritarianisme. Partisipasi politik warga untuk mencalonkan diri terbelenggu. Kebebasan partai politik untuk memunculkan kader-kadernya dikekang. Kader partai pun seakan-akan tak memiliki nyali bertanding di arena pilkada. Padahal, faktanya jauh berbeda.

Faktor penyebabnya, kini, justru karena partai-partai yang semestinya bisa mengajukan calonnya berbondong-bondong mendukung calon yang sama sehingga menutup kesempatan calon lain memasuki arena. Di Tulang Bawang Barat, Lampung, misalnya, pasangan Umar Ahmad-Fauzi Hasan didukung semua partai politik yang mempunyai kursi di DPRD. Keduanya mendapat dukungan 30 kursi (100 persen) dari PKS, Demokrat, PPP, PDI-P, Gerindra, Golkar, PAN, PKB, Hanura, dan Nasdem.

Di Kota Sorong, hampir serupa. Pasangan Lambert Jitmau-Pahima Iskandar didukung Partai Golkar, Demokrat, PDI-P, PAN, Nasdem, Gerindra, Hanura, dan PKB dengan total dukungan 27 kursi (90 persen). Partai Bulan Bintang dan PPP yang memiliki tiga kursi akhirnya tidak bisa mengajukan calon karena syarat minimal pengajuan calon adalah enam kursi.

Tugas partai politik sebagaimana dipaparkan dalam undang-undang, sesungguhnya, adalah pengaderan dan melakukan perekrutan politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin. Lalu, mengapa partai politik tidak memunculkan kadernya sendiri?

Semoga bukan karena pragmatisme kalah menang, terlebih lagi soal uang. Kini, saatnya partai politik kembali mengedepankan kaderisasi untuk merawat demokrasi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Kedepankan Kaderisasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger