Perdamaian baru akan terwujud, kalau, paling tidak tercipta saling percaya di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Apabila di antara pihak yang berkonflik tidak saling percaya, perundingan perdamaian tidak akan menghasilkan apa-apa. Membuka pintu untuk memasuki jalan perdamaian pun tidak akan terjadi jika, sekali lagi, tidak ada saling percaya.
Adakah saling percaya antara rezim yang berkuasa di Damaskus dan Komite Negosiasi Tingkat Tinggi (NHC) dari kelompok oposisi bersenjata di Suriah yang saat ini bertemu di Geneva, Swiss, untuk merundingkan perdamaian? Sangat diragukan ada saling percaya di antara mereka. Bahkan, Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura tidak yakin bahwa pertemuan di Geneva yang difasilitasi PBB akan menghasilkan sebuah terobosan. Terobosan untuk mengakhiri peperangan sejak 2011 dan telah menewaskan sekitar 310.000 orang.
Bukan tanpa alasan yang mendasar kalau seorang Mistura tidak yakin akan ada terobosan. Bukan kali ini PBB memfasilitasi perundingan perdamaian Suriah. Paling tidak sudah empat kali. Dan, tidak ada hasil. Minggu terakhir bulan lalu (23-24 Januari), dilakukan perundingan perdamaian di Astana, ibu kota Kazakhstan, antara rezim yang berkuasa di Damaskus dan kelompok pemberontak, termasuk pihak-pihak sponsor, antara lain Rusia.
Kalau kesepakatan antara Rusia, Turki, dan Iran dikatakan sebagai hasil perundingan Astana, ya hanya itulah. Ketiga negara bersepakat untuk mengembangkan mekanisme pemantauan dan pelaksanaan gencatan senjata bersama yang diperantarai Rusia dan Turki, akhir Desember silam. Rusia memang mengatakan bahwa perundingan Astana hanyalah langkah awal untuk menuju ke perdamaian. Pertanyaannya adalah apakah akan ada langkah-langkah selanjutnya yang akan menggiring semua pihak yang terlibat untuk menciptakan perdamaian?
Rusia, sebagai negara pendukung rezim Bashar al-Assad yang berkuasa, memiliki peran penting dalam usaha mengupayakan perdamaian itu. Negara-negara lain, seperti Turki, Iran, dan sejumlah negara Arab, serta AS, juga memiliki tanggung jawab untuk mengupayakan perdamaian. Hal itu karena mereka selama ini terlibat dalam perang berkelanjutan di Suriah.
Memang usaha di meja perdamaian harus pula selaras dengan situasi di lapangan. Situasi di lapangan sudah banyak berubah. Kelompok NIIS banyak menderita kekalahan dan pasukan pemerintah banyak merebut wilayah. Namun, oposisi yang terpecah belah juga menjadi penghambat untuk tercapai perdamaian yang rasanya masih lama datangnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Perdamaian Masih Jauh dari Suriah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar