Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 29 Agustus 2017

Komodifikasi Hoaks (RAHMA SUGIHARTATI)

Ujaran kebencian, provokasi yang bisa memantik konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan informasi bohong atau hoaks ternyata tidak ubahnya seperti komoditas-komoditas yang bisa diperjualbelikan.
TOTO SIHONO

Di tengah kesulitan pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnis yang wajar, hal-hal yang melanggar hukum dan moral ternyata justru menawarkan peluang bagi sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan yang tidak sedikit.

Kelompok Saracen yang berhasil dibongkar dan anggotanya ditangkap aparat kepolisian karena menjual dan menawarkan informasi bohong merupakan salah satu bukti bahwa era digital telah melahirkan efek samping di luar nalar akal sehat. Dengan memanfaatkan euforia dan penggunaan media sosial yang makin masif, kelompok Saracen mampu mengubah hoaks menjadi komoditas yang memiliki nilai guna dan nilai jual kepada konsumen.

Siapa menduga bahwa menebar fitnah, memecah belah bangsa, dan pembunuhan karakter tokoh lawan politik melalui penyebaran hoaks secara sengaja dan sistematis ternyata bisa dikemas dalam proposal bisnis yang ditawarkan kepada calon konsumen dengan tarif puluhan juta rupiah. Pada era penyelenggaraan pilkada, misalnya, untuk menjatuhkan nama lawan politik, Saracen menawarkan tarif Rp 60 juta-Rp 70 juta dengan masa kerja satu bulan untuk memproduksi informasi bohong yang menyudutkan lawan hingga menjadi viral (Kompas, 25/8).

Dengan mengandalkan 800.000 akun Facebook yang ada yang telah diretas dan di bawah koordinasinya, Saracen memang terbukti mampu mengolah informasi bohong menjadi pemberitaan yang dikutip media massa dan disirkulasikan melalui media sosial secara cepat hanya dalam hitungan menit.

Komodifikasi

Selain Saracen, di Indonesia diduga kuat masih ada kelompok lain yang menjadikan informasi bohong atau hoaks sebagai ladang bisnis baru yang menguntungkan tanpa berpikir lebih jauh bahwa yang mereka lakukan dapat memecah belah bangsa dan menstimulasi terjadinya konflik yang bermanifes di kalangan elite politik. Bagi kelompok pragmatis seperti Saracen, yang penting tentunya adalah bagaimana mengeruk keuntungan dengan cara memanfaatkan situasi dan perkembangan informasi yang makin tidak terkontrol.

Manuel Castells, salah seorang teoretisi masyarakat jaringan, sejak 1990-an sebetulnya telah mengingatkan kita semua tentang risiko dari perkembangan penggunaan teknologi informasi yang makin meluas di masyarakat. Castells (1996-1998) dalam trilogi bukunya yang terkenal, The Information Age: Economy, Society and Culture, telah menulis bahwa perubahan sosial yang berlangsung dewasa ini bukan lagi sekadar dipicu kekuatan modal kapitalisme, melainkan juga ditandai makin dominannya peran pengetahuan dan revolusi teknologi informasi yang kemudian melahirkan kapitalisme informasi dan masyarakat informasi.

Information superhighway dan booming informasi di dunia maya tidak saja mengakibatkan perubahan yang dahsyat di bidang pengelolaan dan peran informasi, tetapi juga melahirkan restrukturisasi fundamental terhadap posisi informasi sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Informasi tidak lagi sekadar menjadi fondasi bagi pelaku ekonomi untuk dasar menentukan arah pengembangan usaha, tetapi informasi itu sendiri akhirnya menjadi komoditas yang menguntungkan ketika dikemas untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Secara garis besar, ada dua akibat yang terjadi ketika informasi berkembang menjadi komoditas yang makin menguntungkan. Pertama, terjadinya peleburan batas antara kepentingan ekonomi dan politik dengan peran informasi sebagai komoditas yang dapat dikemas dan diperdagangkan. Lebih dari sekadar data, saat ini informasi telah bermetaformosis menjadi senjata yang berbahaya ketika penyebaran dapat direkayasa.

Kedua, terjadinya proses komodifikasi informasi bohong yang sengaja dikemas dan kemudian disirkulasikan melalui media sosial sebagai bagian dari instrumen baru untuk melakukan hegemoni publik yang menjanjikan di dunia politik yang makin kehilangan etika.

Apa yang dilakukan Saracen, misalnya, adalah bukti bagaimana sebuah informasi bohong tidak lagi bisa dilacak dasar kebenarannya ketika informasi itu menjadi viral dan sengaja secara sistematis disebarluaskan. Pada titik tertentu, hoaks yang disebarluaskan secara terus-menerus jangan kaget jika kemudian dianggap sebagai realitas dan kebenaran tersendiri meski realitas asli yang menjadi rujukan tidak ada. Informasi bohong yang menjadi komoditas terbukti menjadi media yang sangat ampuh untuk membangkitkan kebencian, menyimpangkan kebenaran, yang ujung-ujungnya rawan memecah persatuan.

Literasi kritis

Sebuah komoditas, secara teoretis, tidak akan laku dan dibeli konsumen jika tidak menawarkan nilai guna atau manfaat yang bisa dirasakan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Informasi bohong yang dikemas dan ditawarkan kelompok Saracen niscaya tidak akan laku di pasaran jika tidak ada konsumen yang memang membutuhkannya. Sebuah komoditas dikatakan memiliki nilai guna yang lebih tinggi jika komoditas itu menawarkan manfaat yang dibutuhkan masyarakat konsumen.

Untuk menuntaskan penanganan kasus jual-beli informasi bohong untuk kepentingan ekonomi ataupun politik, kasus ini harus diusut hingga tuntas dan menjadi pelajaran bagi semua pihak agar tidak terulang kasus yang sama. Yang tak kalah penting adalah bagaimana membentengi masyarakat agar tidak mudah menjadi korban penyebarluasan informasi bohong.

Kata kunci penting untuk mencegah agar hoaks tak mudah memengaruhi masyarakat adalah melalui literasi informasi dan literasi kritis. McLaughlin dan De Voohd (2004) menyatakan literasi kritis adalah kemampuan di mana pembaca sebagai partisipan aktif dalam pembacaan dan menjadikan praktik tersebut bergerak melampaui kepasifan menuju penerimaan pesan teks dengan disertai pertanyaan, pengujian atau mengaitkan dengan suatu kekuasaan yang hadir di antara pembaca dan penulis.

Ada empat hal yang tercakup dalam literasi kritis: (1) literasi kritis berfokus pada isu-isu kekuasaan (power) dan mementingkan refleksi, transformasi dan aksi, (2) literasi kritis berfokus pada problem dan kompleksitasnya, (3) strategi literasi kritis adalah dinamis dan beradaptasi pada konteks yang digunakan, (4) literasi kritis memeriksa dan mengevaluasi dari berbagai perspektif.

Mendidik masyarakat sejak dini untuk selalu bersikap skeptis dan kritis pada informasi bohong niscaya akan jauh lebih bermanfaat daripada semata hanya menekankan kasus penindakan hukumnya. Pada saat di dunia maya terjadi ledakan atau bom informasi yang luar biasa pesat, para pengguna yang tidak didukung dan memiliki literasi kritis bukan tak mungkin terjebak dalam pusaran informasi yang sekadar hoaks, atau informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

RAHMA SUGIHARTATI,

Dosen Program Studi S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga; Mengajar Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Komodifikasi Hoaks".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger