Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 September 2017

Populisme Digital Warganet Indonesia (WASISTO RAHARJO JATI)

Pemanfaatan internet oleh masyarakat Indonesia mengalami kenaikan 10 juta pengguna di semester I-2017. Sebelumnya, pada tahun 2016, pengguna internet di Indonesia telah menyentuh 132,7 juta penduduk (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia/APJII, 2016).

Persentase tersebut telah mencapai 51,5 persen dari 256 juta penduduk Indonesia yang kini hampir setengahnya mengakses internet. Dari jumlah itu, 69,9 persen penduduk Indonesia mengakses informasi setiap saat, baik untuk mencari informasi, urusan profesi, sosialisasi, maupun hiburan diri.

Keempat aktivitas tersebut (mencari informasi, urusan profesi, sosialisasi, dan hiburan) paling dominan di dunia maya. Warganet Indonesia yang didominasi kelas menengah berupaya membangun peradaban digital bahwa mereka tetap bisa terhubung dan bersinergi dengan membuat dan memperluas jaringan masing-masing.

Demokrasi hari ini bukanlah berbicara mengenai suksesi dan supremasi publik, melainkan lebih pada respons dan artikulasi kepentingan publik. Konteks demokrasi dalam bingkai digital meletakkan negara harus responsif terhadap tuntutan publik. Selain itu, publik juga dituntut senantiasa aktif terhadap negara dalam artikulasi kepentingan.

Hal itulah yang sebenarnya mulai meminggirkan adanya institusi politik formal dan berikut konstitusionalnya. Sebab, publik secara konektif dapat memengaruhi-aktif ataupun pasif-negara. Dengan kata lain, warganet kian menunjukkan eksistensinya sebagaidemos digital dalam demokrasi Indonesia.

 Masifnya internet di kalangan pengguna media sosial pada dasarnya menimbulkan pertanyaan penting mengenai ekspresi populisme di kalangan kelas menengah Indonesia. Populisme berbeda halnya dengan revolusi ataupun demonstrasi yang secara bersamaan menginginkan adanya perubahan mendasar. Namun, dibandingkan dengan revolusi yang secara mendasar mengarah pada suksesi, populisme lebih mengarah pada negosiasi. Kalau demonstrasi lebih pada aksi, populisme lebih mengarah pada reaksi.

Ekspresi populisme

Dibandingkan dua jenis gerakan tersebut, populisme sebenarnya bentuk jalan tengah bagi kelas menengah hari ini sebagai aktor politik di tingkat informal. Jalan tengah yang dimaksudkan adalah kelas menengah Indonesia ini mewakili masyarakat minim ideologi dalam menyampaikan aspirasi politik mereka. Jangankan menjadi kapitalis, kelas menengah Indonesia lebih condong menjaga relasi harmoni antara memperluas aset dan bergantung kepada negara.

Selain itu, kelas menengah Indonesia tidaklah mengarah pada sosialis karena cenderung tereksklusi secara sosial berbasis pada identitas masing-masing. Oleh karena itulah sebenarnya populisme ini tumbuh dan berkembang sebagai upaya memastikan posisi ekonomi politik kelas mereka aman sambil berupaya memengaruhi kelompok kelas lain agar bergabung.

Maka, keberadaan media sosial ini menjadi penting dalam mewakili praktik populisme yang berkembang dalam kelas menengah warganet hari ini. Setidaknya, dalam populisme digital terdapat dua narasi penting yang perlu dianalisis, yakni (1) verifikasi informasi, dan (2) militansi isu. Verifikasi informasi ini sebenarnya terkait dengan upaya narasi populisme ini dibangun dengan cara mempertautkan elite versus publik dengan narasi payung besar. Hal itu seperti tertuang lewat slogan: "Jokowi adalah Kita" dan "Saya Indonesia Saya Pancasila".

Pola itu sebenarnya melihat bahwa masalah yang dihadapi berbagai macam kelompok kelas menengah ini berujung pada kristalisasi figur atau isu yang kuat dan menyentuh. Militansi isu menciptakan gelombang populisme yang mengarah pada polarisasi massa, seperti penistaan versus kebinekaan yang keduanya berkontestasi narasi besar antara agama dan identitas.

Hal yang menarik ketika membicarakan populisme kelas menengah di dunia digital adalah bagaimana upaya menarik massa itu dilakukan dengan cara membesarkan isu sensitif di ruang publik daring. Harus diakui apabila media sosial itu membuka ruang pribadi untuk dibiarkan menjadi konsumsi publik. Hanya saja, hal itu bisa terjadi apabila telah dikaitkan masalah politik.

Namun, hal itulah yang menjadi runyam karena rekonsiliasinya di tingkat akar rumput menjadi lama untuk diselesaikan. Keduanya sebenarnya ingin melihat bagaimana konteks rasionalitas dalam kelas menengah Indonesia: apa masih layak diperbincangkan ataukah tidak.

Hal itu sebenarnya terkait dengan beredarnya berita bohong yang alih-alih dihindari malah justru diminati warganet hari ini. Bahkan, populisme yang digerakkan oleh berita bohong ini lebih berbahaya ketimbang populisme berbasis pada agama dan identitas. Dikatakan berbahaya karena sebenarnya hal itu sudah menjelaskan kepada kita bahwa begitu mudahnya kelas menengah terhasut demi kepentingan dan isu tertentu.

Oleh karena itu, patut diselidiki, berkembangnya berita bohong itu apakah dibentuk secara kebetulan atau sengaja dibentuk. Yang jelas, provokasi di dunia digital lebih berbahaya untuk diterima, bahkan oleh awam sekalipun. Terlebih lagi mengingat karakteristik kelas menengah Jakarta yang kompetitif tetapi intoleran seolah melegitimasi bahwa berita bohong adalah bagian dari justifikasi kuasa-menguasai kelompok tertentu.

Pada akhirnya kita dihadapkan pada bentuk populisme kelas menengah yang parsial dan artifisial karena media digital yang harusnya membuka ruang negosiasi justru menjadi alat intimidasi. Ke depan perlu dibuat rumusan baru populisme kelas menengah agar lebih konstruktif. 

WASISTO RAHARJO JATI

Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Populisme DigitalWarganet Indonesia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger