KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan pemantau pemilihan kepala daerah (pilkada) di Provinsi Banten dan Kabupaten Bekasi memberikan penjelasan mengenai "Dana Kampanye dan Masa Kritis Pilkada 2017" dalam sebuah acara di Jakarta, Jumat (10/2). Masa tenang setelah berakhirnya kampanye publik dalam pilkada menjadi masa yang perlu diawasi karena rawan pelanggaran, seperti beredarnya politik uang dari dana kampanye.

Dana kampanye merupakan salah satu poin penting yang diatur dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada. KPU juga telah mengeluarkan peraturan teknis mengenai dana kampanye dalam Peraturan KPU No 5/2017.

Pengaturan dana kampanye ini setidaknya bertujuan untuk menciptakan lapangan kontestasi yang setara antar-kandidat, mencegah potensi korupsi akibat tingginya biaya pemenangan pemilihan kepala daerah (pilkada), dan menjaga integritas pilkada dari segi pendanaan.

Dibanding pada pilkada sebelumnya, pengaturan dana kampanye pilkada saat ini cenderung lebih "ketat". Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pengaturan baru, seperti subsidi negara melalui APBD pada beberapa pos kampanye, adanya pembatasan maksimal pengeluaran dana kampanye, dan adanya ketentuan pembatalan sebagai pasangan calon apabila laporan akhir dana kampanye terlambat dilaporkan.

Dari berbagai informasi dan hasil penelitian pada Pilkada Serentak 2015, permasalahan yang cukup mendasar adalah audit dana kampanye. Melalui audit akan dapat diukur tingkat kepatuhan dan kewajaran serta transparansi pasangan calon dalam menerima dan menggunakan dana kampanye sesuai dengan UU dan peraturan penyelenggaraan pilkada serentak ini.

Tak ada perbaikan aturan

Namun, pengaturan dana kampanye tersebut tidak disertai perbaikan aturan mengenai audit dana kampanye. Hal tersebut akan berimplikasi pada tidak terwujudnya tujuan pengaturan dana kampanye. Padahal, audit dana kampanye merupakan salah satu penyangga dipatuhi atau tidaknya pengaturan dana kampanye.

Beberapa hal yang masih jadi permasalahan dalam pengaturan dana kampanye di antaranya, pertama, tujuan audit dana kampanye tidak menjawab/mendukung tujuan pengaturan dana kampanye. Audit dana kampanye tak hanya dilakukan dalam rangka mewujudkan terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik atas pencatatan, pengelolaan, dan pelaporan dana kampanye kandidat. Lebih dari itu, audit dana kampanye diharapkan menjaga integritas kampanye.

Namun, dalam PKPU terkait dana kampanye dan Keputusan KPU No 121/2015 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye disebutkan bahwa bentuk perikatan audit dana kampanye dalam pilkada sebatas audit kepatuhan. Tujuannya hanya untuk menilai kesesuaian pelaporan dana kampanye dengan peraturan perundang-undangan dana kampanye. Maka, audit kepatuhan pada pilkada tidak akan memberikan gambaran utuh atas realitas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.

Dua isu krusial

Kedua, tahapan pemilihan atau penunjukan kantor akuntan Publik (KAP). Pada tahapan ini terdapat dua isu krusial, yakni, pertama, proses penunjukan langsung tertutup. Seleksi KAP dilakukan oleh KPUD. Proses seleksi tersebut mengacu pada proses seleksi konsultan dalam UU Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Dengan mengacu pengaturan tersebut, mayoritas KAP akan dipilih melalui penunjukan langsung.

Sebab, anggaran audit dana kampanye umumnya kurang dari Rp 50 juta. Proses penunjukan KAP secara langsung ini berpotensi  adanya "transaksi terlarang" antara oknum KPUD dan KAP. Seharusnya, hal ini dapat diantisipasi dengan proses pemilihan yang terbuka.

Namun proses pemilihan KAP sejauh ini cenderung tertutup dan bahkan tidak diketahui dengan jelas oleh asosiasi profesi akuntan publik. Padahal, KPUD tentu akan memperoleh banyak input mengenai rekam jejak dan kompetensi KAP yang akan ditunjuk.

Isu krusial berikutnya, yakni audit potensial tidak dilakukan oleh akuntan KAP yang ditunjuk oleh KPUD melainkan oleh tenaga lepas atau bahkan disubkontrakkan pada pihak lain yang tidak kompeten.  PKPU tentang dana kampanye mengatur bahwa setiap KAP hanya bisa mengaudit dana kampanye satu pasangan calon di daerah bersangkutan.

Namun, KAP dapat melakukan audit dana kampanye pasangan calon di daerah lain. Tidak ada batasan berapa banyak pasangan calon yang dana kampanyenya dapat diaudit oleh satu KAP.

Dampaknya, satu KAP dapat mengaudit banyak pasangan calon di berbagai daerah melebihi kemampuan akuntan publik (AP) yang dimilikinya. Peluang audit tidak dilaksanakan oleh akuntan publiknya atau bahkan disubkontrakkan kepada pihak lain. Dihawatirkan yang terjadi adalah proses "audit-auditan".

Selain itu, pengaturan ini tidak berangkat dari tujuan yang jelas. Proses audit dana kampanye dikhawatirkan tidak efektif dan efisien. Proses audit dana kampanye akan lebih efektif dan adil apabila dilakukan oleh satu KAP di satu daerah pilkada (satu KAP mengaudit semua pasangan calon di satu daerah).

Ketiga, audit dana kampanye tidak disertai anggaran yang wajar/memadai. Dilihat dari besarannya, anggaran audit dana kampanye sangat tidak wajar atau sangat rendah. Persoalan ini memunculkan kekhawatiran kualitas hasil audit dana kampanye jauh di bawah standar dan tidak profesional. Di beberapa daerah bahkan diketahui anggaran auditnya di bawah Rp 10 juta.

Padahal, audit dana kampanye memerlukan banyak prosedur audit, seperti verikasi fisik beberapa penyumbang. Proses tersebut rawan dilewati  dengan alasan keterbatasan biaya.

Keempat, audit dana kampanye tak disertai proses audit yang komprehensif. KAP hanya melakukan audit laporan dana kampanye yang disampaikan oleh pasangan calon. Padahal, umumnya tak semua penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dilaporkan.

Apabila ingin dicapai kualitas audit dana kampanye yang maksimal, maka auditor harus difasilitasi dapat menjangkau penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan.

Untuk itu, pemilihan/penunjukan KAP sebaiknya dilakukan sebelum masa kampanye dimulai. AP yang ditunjuk harus melakukan tugas di lapangan selama masa kampanye berlangsung dengan melakukan sampling atas seluruh aktivitas kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon.

Sebagai alternatif, KAP seharusnya bersinergi dengan pengawas pemilu yang juga telah dimandatkan memantau potensi adanya pengeluaran kampanye yang tak dilaporkan dalam laporan dana kampanye.

Apabila ingin dicapai kualitas audit dana kampanye yang maksimal, maka auditor harus difasilitasi dapat menjangkau penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan.

Tak ada kontrol

Kelima, tidak adanya kontrol audit dana kampanye. Hingga saat ini belum diatur adanya kontrol atas pelaksanaan audit dana kampanye yang dilakukan oleh KAP. Selama ini, kontrol terhadap para KAP di seluruh Indonesia dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) selaku satu-satunya asosiasi profesi yang menaungi para akuntan publik Indonesia.

Namun, kenyataannya, belum ada mekanisme kontrol atas pelaksanaan audit dana kampanye khususnya pada pelaksanaan pilkada.

Keenam, potensial berujung pada dampak buruk. Dampak itu, baik terhadap profesi akuntan publik dan KAP maupun terhadap akuntabilitas hasil audit dana kampanye. Selain berpotensi menyuburkan KAP dan akuntan publik yang belum berkompeten dalam mengaudit dana kampanye, hasil audit juga dikhawatirkan tidak memenuhi standar dan tidak dilakukan dengan profesional.

Hasil audit dana kampanye pun kemudian hanya sebagai "syarat" dana kampanye disebut transparan dan akuntabel tetapi mengabaikan hal-hal substansial di dalamnya.

Permasalahan dana kampanye seperti dipaparkan di atas, tentu merupakan bagian yang harus menjadi fokus pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu Republik Indonesia, dengan berbagai tingkat kompleksitas dan kerumitan yang harus dihadapi.