Menurut rencana, AS akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem pada 14 Mei mendatang. Pada bulan Mei, Israel akan memperingati hari ulang tahun ke-70 kemerdekaannya.

Kemerdekaan Israel, yang dalam bahasa Yahudi disebut Yom Ha'atzmaut, menurut kalender Israel sebenarnya jatuh pada 18 April. Padahal, tanggal 15 Mei, rakyat Palestina akan memperingati 70 tahun hariNakba, hari bencana, hari kehancuran. Pada hari itu, ratusan ribu orang Palestina diusir oleh Israel keluar dari kampung halaman dan tanah mereka, setelah Israel merdeka, terjadi perang Arab-Israel.

Bukan tidak mungkin keputusan memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Jerusalem itu akan memprovokasi perasaan ketidaksukaan negara-negara Arab dan banyak negara lain yang sejak semula menentang pemindahan kedutaan besar tersebut. Trump pada 6 Desember lalu menyatakan akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem sekaligus mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.

Ketika itu, Trump mengatakan hanya menjalankan keputusan Kongres yang diambil pada 1995. Ketika itu, Kongres memberikan batas waktu bahwa pemindahan harus dilaksanakan sebelum 21 Mei 1999. Akan tetapi, tak satu presiden AS pun, sejak 1999 hingga Januari 2017, yakni dari George HW Bush, Bill Clinton, George W Bush, hingga Barack Obama, yang melaksanakan keputusan Kongres itu.

Trump, yang pada masa kampanyenya berjanji akan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, melaksanakan keputusan Kongres itu. Keputusan Trump tersebut memancing reaksi dari banyak negara, termasuk negara-negara sekutu di Eropa dan Timur Tengah. Sikap Indonesia pun sangat jelas dan tegas: menentang serta mengecam keras.

Kini, keputusan tersebut hendak sungguh dilaksanakan. Ia ingin menunjukkan bukan semata-mata memenuhi janji kampanye, melainkan lebih ingin memperlihatkan bahwa dia berkuasa; bahwa ia seorang presiden yang sangat berkuasa dan karena itu bisa bertindak apa pun maunya. Akan tetapi, tindakan Trump tersebut menegaskan pula bahwa ia tidak peduli terhadap sikap penentangan yang diteriakkan oleh hampir seluruh dunia; Trump menutup hati dan mata serta hanya mementingkan maunya sendiri. Selain itu, ia juga tidak mempertimbangkan akibat buruk dari keputusannya tersebut, yakni akan menghambat proses perdamaian.