Melalui pengalaman masa kampanye sepuluh tahun yang lalu dan seiring dengan berjalannya waktu, sikap saya terhadap politikus—maaf—tetap saja menakutkan.

Terseok-seok di kegelapan malam mencari air untuk radiator mobil yang mogok dalam perjalanan Padang-Bukittinggi, tepatnya di Lembah Anai yang angker, dengan pandangan sangat terbatas saya dikagetkan bayangan sesosok wujud manusia tergantung berayun di ketinggian setengah pohon tanpa pijakan kaki di tanah. Meski saya tak percaya takhayul, bulu kuduk saya tetap merinding.

Setelah mengusap lagi mata, samar-samar terlihat baliho setengah badan caleg lengkap dengan embel gelar adat di depan nama dan gelar akademis berjajar di belakang nama. Kontras dengan ranah Minang pada Pemilu 1955 dengan tokoh politik beken yang cukup ditulis: Moh Natsir, Sutan Sjahrir, Muh Rasjid, dll.

Berlanjut kiprah mereka di lembaga dengan modal hanya gelar adat dan akademis tanpa prestasi berarti, berperan sebatas satpam partai, pencari kerja karena sulit bersaing di luar sana, minim dengan kualitas kenegarawanan. Produk apalah yang bisa diharapkan? Malas sidang, rajin bikin kontrak politik dengan fraksi dan koalisi, serta bernafsu membuat aturan membentengi diri dari kritik rakyat. Mungkin masih ada sedikit daya kritis tapi hanya sebatas kepentingan internal siapa tahu dapat promosi, langsung berbalik bakul, bahkan bubar jalan.

Tahun ini tahun politik, tapi seharusnya juga tahun berkaca diri bagi partai baru dan mungkin dengan politikus baru, para petahana, dan trah dinasti yang rata-rata minimal berpendidikan S-1. Di samping memikirkan melimpahnya berbagai fasilitas, bayangkan jugalah apa yang terjadi pada maling ayam, copet yang bonyok, tanpa sempat mengumbar senyum, bersisir rambut dengan pomade harum. Bagi petahana dan trah dinasti, kenang jualah pengalaman Louis XVI dan Marie Antoinette: ketika kepepet baru merasa muncul visi kenegarawanan untuk minta perlindungan presiden dan itu sudah terlambat.

Saat ini malam Lembah Anai sudah terang benderang, tapi tak tertutup adanya genderuwo berbentuk lain.

Nasrul Idris
Kelurahan Jati Cempaka,
Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat


Hukuman Mati Kapan Lagi?

Penyeludupan narkoba mencapai angka mengejutkan. Lewat laut pada bulan lalu tiga kapal tertangkap membawa narkoba masing-masing bernilai di atas Rp 1 triliun. Berita utama Kompas, 1 Maret 2018, menuturkan terbongkarnya pencucian uang dari tiga bandar narkotika: Rp 6,4 triliun.

Angka-angka di atas menunjukkan betapa luas dan menggiurkan perdagangan narkoba. Sayang, Jaksa Agung menunda eksekusi hukuman mati begitu lama. Ini harus segera dilaksanakan lagi.

Sebaiknya hukuman mati dilakukan secara rutin saja, misalnya tiap bulan. Hal ini akan memberikan gaung terus-menerus yang menimbulkan efek jera lebih efektif ketimbang cara yang selama ini dijalankan: ramai-ramai, tapi lama kosongnya. Juga biaya sudah dianggarkan secara rutin sehingga tidak perlu alokasi dana besar seperti sebelumnya.

Sugiarto
Binong Permai, Curug,
Tangerang, Banten


Rambu Lalu Lintas di Pancoran Timur

Sejak 2017 di Jalan Pancoran Timur II, Jakarta Selatan, diberlakukan lalu lintas satu arah: hanya boleh menuju selatan. Padahal, volume kendaraan sehari-hari lebih banyak menuju utara. Saat ini, rambu lalu lintas di sana selalu dilanggar para pengendara karena memang selayaknya jangan ada larangan ke utara. Mohon kebijakan pemasangan rambu lalu lintas tersebut diuji. Diperbaiki saja.

Yulis
Pasar Minggu,