Di sepanjang Jalan Affandi di Yogyakarta, berderet pohon gelodogan (Polyalthia longifolia). Pohon setinggi rata-rata empat meter itu membelah jalan yang dulu bernama Jalan Gejayan menjadi dua jalur, dari pertigaan Jalan Kolombo di sisi selatan hingga perempatan Jalan Lingkar Utara Condongcatur di sisi utara. Itulah "pohon reformasi"!

Pohon-pohon itu ditanam menggantikan deretan pohon terdahulu yang hancur bersama pot-potnya pada gelombang peristiwa demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto tahun 1998. Pohon yang lama, entah apa namanya, tercerabut hingga ke akarnya. Berserak bersama tanah, batu dan pasir, pohon-pohon lama meninggalkan suasana Jalan Affandi bagaikan medan perang pada Jumat 15 Mei 1998. Selama sekitar tiga bulan, pohon-pohon lama menjadi "saksi bisu" gelombang demi gelombang demonstrasi yang sering kacau akibat hantaman peluru karet, gas air mata, dan kejaran pasukan anti huru-hara.

KOMPAS/EDDY HASBI

Mahasiswa se-Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur.  Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap gedung DPR/MPR.

Sekarang, 20 tahun setelah gerakan Reformasi 1998, pohon-pohon gelodogan tumbuh hijau dan rindang. Pohon-pohon itu menggendong ingatan dan refleksi tentang perubahan rezim pada periode kontemporer Indonesia. Ke arah mana dan pada tingkat apa kesadaran politik bangsa ini telah berubah? Apa buah dari "Pohon-pohon Reformasi"?

Ingatan tak tercatat

Jalan Affandi di Yogyakarta, khususnya pada ruas antara kampus Univesitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Sanata Dharma, di Kampung Mrican, adalah situs demonstrasi yang dimotori mahasiswa pada bulan Maret, April dan Mei 1998. Ruas jalan tersebut menjadi lokasi aksi setelah lokasi-lokasi "favorit", yaitu pertigaan Jalan Solo-UIN Sunan Kalijaga dan Bunderan-Boullevard UGM Bulaksumur, dijaga ketat pasukan keamanan pasca-demonstrasi masif menentang naiknya harga bahan bakar minyak pada Oktober 1997.

Setidaknya lima kali aksi demonstrasi pernah berlangsung di Jalan Affandi. Demonstrasi Maret dan April 1998 menandai semakin luasnya cakupan kelompok gerakan dan titik-titik baru lokasi aksi. Namun, sebagai akibatnya, operasi intel militer juga semakin intensif atas rumah-rumah kos mahasiswa.

Aparat keamanan melakukan penggerebegan stasiun radio komunitas mahasiswa di daerah Karangmalang. Radio amatir ini biasa siaran selepas magrib dengan program musik, lawak dan canda khas mahasiswa Yogya. Selepas tengah malam, siaran radio mengudarakan rencana-rencana aksi dan berita-berita politik dan ekonomi dari sumber-sumber tertentu, misalnya dari Radio BBC. Akibat penggerebegan, alat-alat siaran dirusak atau disita.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Peringatan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru mulai dari kasus 12 Mei 1998 dan sejumlah kasus kejahatan HAM masa lalu yang hingga kini masih belum selesai dan mendapat keadilan dilangsungkan di halaman Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (12/5/2017). Peringatan dilakukan oleh Persatuan Nasional Aktivis 1998 tersebut juga mengajak masyarakat untuk mengingat mahalnya perjuangan meraih era reformasi sehingga harus dijaga dari ancaman pemecah belahan yang akhir-akhir ini terasa pada masyarakat.

Aparat juga melakukan penyisiran atas sejumlah rumah kos dan tempat fotokopi di Mrican dan Papringan. Mereka menyita semua selebaran aksi, khususnya dari kelompok Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sayap organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh jaringan aktivis mahasiswa. Aparat juga mengambil bacaan-bacaan yang mereka anggap "berbahaya". Di antaranya buku kumpulan surat Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dan majalah mahasiswaBalairung edisi khusus bisnis militer.

Puncak aksi di Jalan Affandi terjadi bulan Mei 1998 melalui tiga kali peristiwa demonstrasi. Pada aksi ketiga, Jumat, 15 Mei 1998, massa mahasiswa dan warga yang sangat banyak membentuk formasi blokade jalan sedemikian taktis sehingga dua peleton pasukan anti huru-hara justru terkepung oleh demonstran. Menjelang sore, kendaraan panser polisi melindas median jalan tempat tumbuhnya pohon-pohon dan merangsek ke pusat kerumunan massa. Gas air mata ditembakkan ke arah demonstran. Bunyi letusan senjata terdengar beberapa kali. Massa lari ke segala arah. Pasukan keamanan terus mengejar dan menangkap siapa pun.

Dalam peristiwa malam itu, seorang pemuda Kampung Mrican bernama Mozes Gatotkaca menjadi korban salah sasaran. Ia tewas di tangan aparat keamanan. Sekitar 60 orang demonstran tertangkap aparat, dimasukkan ke truk tentara. Pimpinan sejumlah perguruan tinggi melakukan negosiasi dengan pihak keamanan untuk membebaskan mereka. Tetapi tak diketahui kapan (dan apakah) mereka semua akhirnya dipulangkan.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Seorang mahasiswi tergeletak pada bentrokan di samping Universitas Trisakti, Jakarta, 12 Mei 1998.

Pada 20 Mei 1998 masyarakat Yogya melakukan demonstrasi damai "rembug agung" di alun-alun utara Keraton Kesultanan Yogyakarta. Jumlah orang yang ikut dalam aksi tersebut luar biasa besar. Media massa menyatakan sekitar satu juta orang. Mereka berjalan kaki dari tempat asal masing-masing menuju alun-alun. Luapan massa memenuhi seluruh kompleks utara keraton, meluber ke jalan-jalan hingga Malioboro. Mereka mendengarkan orasi-orasi untuk mengatakan "cukup" kepada Soeharto dan Orde Baru. Sejarah mencatat, sehari kemudian, yaitu pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan diri mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Sayang sekali peristiwa-peristiwa di Yogyakarta itu belum tercatat dalam narasi sejarah. Beberapa publikasi tentang Gerakan 1998, misalnya buku Penakluk Rejim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998 karya Muridan S Widjojo (1999), dan artikel "Jakarta 2039: Forty Years After May 13-14, 1998" karya Seno Gumira Ajidarma bersama Zacky (dalam buku The Indonesian Reader suntingan Tineke Hellwig dan Eric Tagliacozzo, 2009), sama sekali tidak mengintegrasikan peristiwa-peristiwa Yogyakarta sebagai bagian penting gerakan Reformasi 1998. Begitu pula upaya lain berupa film dokumenter (lihat: twg.org dan www.rappler.com), cenderung fokus pada peristiwa di Jakarta semata.

Hilangnya "pohon-pohon"

Semangat dan cita-cita reformasi telah membuat Indonesia hari ini jauh berbeda dibandingkan 20 tahun lalu. Indonesia kini memiliki sejumlah lembaga baru negara yang memperkuat kepastian hukum di berbagai bidang. Misalnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Komisi, Badan Narkotika Nasional dan Detasemen Satuan Khusus Antiteror.

Proses politik jadi semakin transparan dan partisipatif. Melalui sistem multi-partai, rakyat memilih langsung presiden-wakil presiden, kepala daerah dan anggota parlemen. Sekarang siapa pun dengan latar belakang sosial apa pun berpeluang menempati posisi jabatan publik. Contohnya, Presiden Joko Widodo sendiri. Hal ini tak mungkin terjadi di era Orde Baru.

Dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, reformasi Indonesia telah berada pada jalur yang tepat. Kita melihat Filipina, yang telah menumbangkan rezim diktaktor melalui gerakan People's Power pada 1986, hingga kini masih harus berjuang mengatasi kekuasaan klan-klan keluarga dan kepemimpinan megalomania. Thailand mengalami 18 kali kudeta dalam 100 tahun terakhir. Jelas bukan cara demokratis pergantian rezim.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Mahasiswa Memperjuangkan Reformasi 19 Mei 1998

Singapura, meskipun pendapatan ekonomi warganya sangat tinggi, tidak memiliki ruang bagi kebebasan berpendapat sehingga sebagian warga Singapura harus pergi ke Pulau Batam di Indonesia untuk sekadar berdemonstrasi mengkritik pemerintahnya. Malaysia adalah bom waktu politik karena pemerintahannya telah lama didominasi oleh satu partai saja. Myanmar sedang memulai proses demokrasi dan membutuhkan perombakan struktur politiknya secara total. Vietnam menghadapi dilema eksistensi sistem sosialis di tengah kuatnya neo-liberalisme. Singkatnya, gerakan Reformasi 1998 telah mendorong pembaruan sistem politik dan demokratisasi Indonesia secara signifikan.

Meskipun demikian, akhir-akhir ini berkembang pendapat bahwa gerakan Reformasi 1998 gagal mewujudkan agenda yang dicita-citakan. Pengadilan atas (mantan) Presiden Soeharto, sebagaimana dituntut oleh gerakan mahasiswa, tak pernah terlaksana hingga ia meninggal. Upaya membongkar jaring struktur oligarki dalam kehidupan politik Indonesia juga belum sepenuhnya berhasil. Korupsi masih terjadi di mana-mana.

Yang paling mengkhawatirkan, militerisme dalam wujud pendekatan kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan antarwarga seolah menjadi tren pasca-Reformasi. Pendekatan kekerasan sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok vigilante atau pengamanan swakarsa. Sebagaimana pada masa Orde Baru, sejumlah elite politik sekarang mengendalikan kelompok-kelompok vigilante itu demi kepentingan kelompoknya. Gejala kembalinya militer(isme) ke panggung politik tak terbantahkan lagi.

Kebebasan individu untuk menyampaikan pendapat di muka umum adalah buah simalakama era Reformasi. Kebebasan itu esensi demokrasi yang telah lama didamba. Tetapi sekarang menjadi bumerang. Terfasilitasi oleh teknologi komunikasi, kebebasan berpendapat telah memudahkan tersebarnya pandangan dan sikap yang meremukkan sendi kehidupan bersama, misalnya intoleransi. Dengan dalih kebebasan berpendapat, kelompok-kelompok tertentu menyerang nilai-nilai demokrasi yang melahirkan kebebasan yang mereka nikmati.

Ironi dan paradoks juga terjadi dalam transformasi garis politik. Ini menyangkut bukan hanya fakta bahwa sejumlah pejabat di era Orde Baru berganti "baju", menyaru sebagai reformis dan tetap duduk di pemerintahan hingga sekarang. Tetapi juga fakta bahwa para reformis yang dulu menyuarakan pentingnya kualitas kepemimpinan alternatif sekarang justru mereplikasi pola-pola politik Orde Baru yang rakus kekuasaan.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Habibie Meninjau Glodok 26 Mei 1998

Situs Deutsche Welle, misalnya, menyatakan bahwa 12 dari 13 orang aktivis mahasiswa-pemuda yang diculik pada 1998, kini bergabung dengan eks penculiknya (http://www.dw.com/id/bergabung-dengan-sang-penculik/a-16820862). Mereka yang dijuluki "Empat Tokoh Reformasi" di era 1998, sebagian sekarang menunjukkan sikap-sikap anti terhadap kemajemukan yang merupakan ciri keindonesiaan, hanya demi meraih atau mempertahankan kekuasaannya. Masih banyak sosok yang pada periode 1998 berhaluan reformis, kini menjadi pelaku kekuasaan politik kita.

Reformasi 1998 telah melahirkan buah yang baik dan buruk sekaligus karena tumbangnya "pohon-pohon" pembaruan. Jalan bagi kemajuan yang fundamental bangsa ini masih sangat panjang dan rentan "dibajak" oleh para pencetusnya sendiri.

Oleh karena itu, pembaruan gerakan Reformasi hari ini memerlukan tumbuhnya "pohon-pohon baru". "Pohon-pohon baru" adalah sumber keteladanan bagi terbentuknya keadaban publik. "Pohon-pohon baru" memiliki kualitas sikap dan standar moral perilaku yang konsisten dan tidak mudah meliuk oleh goncangan angin kekuasaan.