Ribuan pasien di Indonesia telah melakukan cuci otak model dokter Terawan. Istilah tindakan tersebut memang belum standar, kadang disebut "cuci otak" atau "kuras otak", kadang "brain flushing", "brain spa", "brain wash" atau salah kaprah disebut DSA.  Banyak pejabat, orang penting, bahkan dokter pun telah menjalani tindakan tersebut.

Beberapa tahun terakhir, metode cuci otak memang menjadi pembicaraan. Tidak hanya  di lingkungan masyarakat awam, melainkan juga di lingkungan profesi dokter. Beberapa memperdebatkannya.

Isu meledak setelah rekomendasi MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran) tentang   rekomendasi "pemecatan sementara" Dr Terawan dari keanggotaan IDI tersebar luas di media sosial. Bahkan media elektronik dan TV membahas dengan berbagai komentar baik yang positif atau negatif, yang pro dan kontra.

Banyak pejabat juga memberikan tanggapan, bahkan bisa semakin seru, dinamis dan panas, bahkan bisa mengarah ke politis jika tidak segera dikendalikan. Untuk itu perlu solusi jitu yang ilmiah, objektif, transparan, dan tidak memihak. Lebih pada solusi esensi masalahnya.

"Cuci otak" vs DSA
DSA (Digital Substraction Angiography) telah lama digunakan, bahkan sejak tahun 1970-an, untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah baik otak atau jantung.
Awalnya DSA bukan untuk terapi, melainkan lebih untuk membantu menegakkan diagnosis. Teknik DSA kemudian dikembangkan oleh dr Terawan menjadi "inovasi" untuk terapi bahkan preventif untuk pencegahan stroke dengan menambahkan suntikan heparin.

Inilah yang menjadi persoalan inti. Apakah ada bukti bahwa DSA dengan heparin ini dapat menyembuhkan stroke, baik untuk terapi maupun untuk pencegahan? Beberapa kolega dokter mulai mempertanyakan terutama dari sisi bukti ilmiah.

Dr Terawan amat yakin dengan metodenya. Ini karena beberapa pasien yang stroke dan kesulitan bicara, bahkan yang kesulitan atau tidak bisa berjalan, setelah mendapat tindakan cuci otak—menurut pengalamannya—jadi bisa bicara, mulai bergerak, dan berjalan dalam waktu relatif singkat.

Untuk itu Dr Terawan mengambil program Doktor di Unhas dan dengan disertasi tentang masalah "cuci otak" ini. Ia tidak mengambil semua jenis stroke, hanya pasien dengan stroke iskemik kronis. Beberapa publikasi telah dihasilkannya.

Saya pribadi waktu itu menyarankan untuk mengumpulkan data dan mengambil program Doktor di UGM, tetapi akhirnya ia mengikuti program Doktor di Unhas.

Etika profesi
Profesi kedokteran adalah profesi yang termasuk tua, dibanding beberapa profesi lain. Kedokteran tidak saja terkait dengan panggilan kemanusiaan tetapi dekat dengan masalah kehidupan dan kematian. Oleh karena itu, etika profesi kedokteran sangat penting dan dijunjung tinggi oleh para dokter.

Bahkan ada sumpah dokter yang harus diucapkan sebelum seorang calon dokter menjadi dokter dan mendapatkan izin untuk praktik kedokteran. Etika profesional ditegakkan tidak saja untuk menjaga marwah dan keluhuran profesi dokter tetapi juga untuk melindungi masyarakat.

Pelanggaran etika profesi kedokteran tentu ada konsekuensi yang harus ditegakkan. Pelanggaran mulai dari peringatan lisan, tertulis, pemberian sanksi ringan, sedang, hingga berat, tergantung derajat pelanggaran.

MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) adalah majelis yang bertanggung jawab tentang etika kedokteran ini. Kasus cuci otak Dr Terawan telah disidangkan di Majelis ini oleh para "hakim" yang untuk menjaga netralitas, independensi dan jauh dari conlict of interest atau kepentingan dicarikan mereka yang tidak langsung terkait.

Mereka bukan neurolog atau bedah saraf yang praktiknya bersinggungan. Saya tahu, mereka yang dipilih memiliki integritas tinggi dan memiliki rekam jejak yang baik. Kita tahu MKEK telah menjatuhkan sanksi rekomendasi pemberhentian sementara Dr Terawan dari keanggotaan IDI.

Pengurus IDI setelah itu tampaknya masih belum membuat keputusan. Orang penting di negeri ini menyarankan agar IDI (MKEK) mengevaluasi keputusannya. Tentu ini bukan hal yang mudah ketika kemudian IDI mencabut keputusannya dan menyerahkannya kepada Kementerian Kesehatan.

Oleh karena itu perlu dicari pemecahan persoalan ini dengan fasilitasi dan metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterima semua fihak sesuai kaidah evidence based medicine (kedokteran berbasis bukti).

Maka kasus "cuci otak" Dr Terawan dapat diselesaikan dengan kedokteran berbasis bukti.

Berbasis bukti
Dalam dunia pengetahuan dan kedokteran inovasi dan temuan baru adalah hal lumrah. Temuan dapat berupa teori baru, teknologi baru, produk baru, prosedur baru, terapi baru dan lain sebagainya. Sudah jamak teori baru muncul dan teori lama dipatahkan. Obat baru ditemukan, obat lama digantikan meski bisa juga masih digunakan.

Bisa terjadi prosedur atau terapi baru yang lebih berdaya guna dan berhasil guna sehingga yang lama ditinggalkan. Intinya seorang ilmuwan, peneliti, dokter yang ilmuwan harus diberi kesempatan untuk berkembang dan menghasilkan obat atau terapi baru yang lebih baik. Tetapi metode yang digunakan untuk menemukan hal baru harus memenuhi kaidah, baik etika atau standar ilmiah. Maka kasus "cuci otak" Dr Terawan dapat diselesaikan dengan kedokteran berbasis bukti. Diteliti dengan metode yang minim subjektivitas dan bias. Contohnya dengan double blind randomized control trial (uji klinik secara acak buta ganda), sehingga dokter pemberi terapi dan pasien sama sama tidak tahu, mana yang diterapi dan mana sebagai control.

Metode seperti ini jelas harus ditinjau dari sisi etika penelitian untuk subyek manusia yang diintervensi. Metode lain lagi bisa dengan meta-analysis systematic review  yaitu kajian secara sistematik dengan meta-analisis dari beberapa hasil penelitian.

Belum lama ini penulis ikut mendeklarasikan  Cochrane Indonesia suatu jaringan peneliti kesehatan dunia yang kantor pusat di Inggris.  Cochrane dapat menjadi sumber rujukan yang dapat diakses tentang berbagai hasil penelitian kualitas tinggi dan hasil meta-analisis dan  dari berbagai terapi, obat, dan prosedur medis yang masih dipertanyakan seperti DSA atau heparin.
Peneliti kesehatan Indonesia dapat bergabung tidak hanya mengakses informasi tetapi juga berkontribusi hasil penelitian ilmiah dalam Cochrane seperti kasus "cuci otak" ini.

Alternatif solusi 
Sebaiknya persoalan ilmiah medis diselesaikan dengan ilmiah medis dengan kedokteran berbasis bukti. Sekarang ini telah dibentuk Komite Bersama Kemenristekdikti-Kemkes (KBKK) di bawah arahan Menristekdikti dan Menkes. Tugas pokok KBKK adalah mencari solusi masalah irisan antara wilayah Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Kesehatan selain tugas yang lain.

Kasus kedoteran berbasis bukti praktik "cuci otak" Dr Terawan sebenarnya contoh yang jelas irisannya: terkait dengan penelitian ilmiah dan praktik layanan kesehatan. KBKK siap jika diberikan kesempatan menyelesaikan masalah ini. Kami optimis bisa menyelesaikan masalah dengan damai dan dapat diterima secara ilmiah dengan pendekatan kedokteran berbasis bukti dan tidak menimbulkan hiruk pikuk masyarakat yang tidak perlu.


ALI GHUFRON MUKTI, KETUA KOMITE BERSAMA KEMENRISTEKDIKTI-KEMKES


Kompas, 12 April 2018