REUTERS

Serangan bom mobil kembar mengguncang kota Benghazi, Libya timur pada Selasa (23/1/2018) malam waktu setempat, menyebabkan sedikitnya 33 orang tewas dan 50 orang terluka. Foto ini bukan terkait serangan terbaru tersebut, namun kejadian terdahulu untuk ilustrasi.

Di tengah keraguan banyak pihak, Perancis tetap melaksanakan pertemuan semua pihak yang bertikai di Libya untuk mencari peta jalan menuju pemilu.

Namun, pada pertemuan Selasa (29/5/2018) di Paris, semua faksi di Libya sepakat untuk mengadakan pemilihan parlemen dan presiden pada 10 Desember 2018. Empat pihak yang terlibat dalam pertikaian yang kemarin berunding juga sepakat "menyelesaikan dasar konstitusional untuk pemilihan" sebelum 16 September 2018.

Empat pihak yang terlibat dalam pembicaraan di Paris adalah Perdana Menteri Fayez Sarraj, yang diakui dunia internasional termasuk PBB; pemimpin tentara nasional Libya yang mengontrol Libya timur, Khalifa Haftar; Ketua DPR yang berbasis di Tobruk, Aghela Saleh; dan Ketua Dewan Tinggi Negara, sebuah dewan yang berbasis di Tripoli, Khaled Mishri.

Perwakilan dari sekitar 20 negara yang terlibat dalam krisis di Libya diundang ke pertemuan ini. Hal ini wajar karena kekuatan regional akan ikut menentukan keberhasilan pelaksanaan hasil kesepakatan.

Setelah Moammar Khadafy tumbang pada 2011, Libya menjadi negara yang terpecah belah. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengambil keuntungan dari konflik berkepanjangan ini, hingga mereka bisa mengontrol sebagian wilayah pantai, termasuk Sirte, hingga pertengahan 2017.

PBB dan Italia pernah menginisiasi pertemuan untuk menjembatani kepentingan setiap kelompok, tetapi selalu gagal. Namun, pada pertemuan Paris kemarin, jalan untuk dapat menggelar pemilihan umum presiden dan parlemen tahun 2018 ini sudah disepakati.

Yang belum jelas, mana yang harus didahulukan: voting untuk konstitusi atau pemilu. Negara seperti Italia, Turki, Qatar, dan AS percaya konstitusi harus selesai lebih dahulu sebelum pemilu berlangsung. Sebaliknya, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Perancis menginginkan pemilu presiden terlebih dahulu.

Para pemimpin Eropa yakin, stabilitas di Libya menjadi salah satu kunci bagi keamanan Eropa dari ancaman kelompok radikal dan migrasi warga tanduk Afrika. Upaya menstabilkan Libya menjadi lebih rumit dengan berbagai kepentingan negara di Timur Tengah, yang kadang-kadang mendukung pihak yang berseberangan dalam pertempuran, serta persaingan antarnegara Eropa.

Perancis, sebagai inisiator pertemuan, mendapat kritik dari banyak pihak. Perancis dicurigai mendukung Haftar (75), seorang pemimpin militer kuat yang telah memerangi milisi Islam dan yang baru-baru ini dirawat di rumah sakit Paris. Namun, tuduhan itu tidak ditanggapi Perancis.