Mengapa holding (perusahaan induk) sektoral diperlukan? Menurut Kementerian BUMN ada empat alasan. Pertama, rightsizing BUMN dengan pendekatan sinergi secara sektoral. Kedua, transformasi BUMN sebagai agen pembangunan. Ketiga, peningkatan daya saing di pasar global. Keempat, akselerasi pertumbuhan BUMN lewat pertumbuhan anorganik (inorganic growth).
Menurut Pasal 1 UU No 19/2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Kedudukan pemerintah sebagai regulator dan pemegang saham melalui Kementerian BUMN serta penugasan BUMN sebagai agen pembangunan menegaskan misi pemerintah untuk menjadikan BUMN berperan besar dalam perekonomian nasional.
Peta persaingan global
Peringkat BUMN dibandingkan sejumlah korporasi lain di masing-masing sektor menggambarkan ukuran kontribusi BUMN pada pertumbuhan ekonomi. Dengan segala kesempatan dan kelebihan yang dimiliki, sebagian BUMN belum berkontribusi optimal dan bahkan 13 BUMN (2017) dari 143 BUMN masih merugi kendati dengan jumlah dan nilai nominal yang menurun dari tahun sebelumnya. Jika pada 2014, ada 27 BUMN dengan total kerugian Rp10,18 triliun, maka pada Q1 2018, tinggal 4 BUMN (Rp263 miliar).
Dari 143 BUMN yang tersebar di 15 sektor ekonomi penting, Pertamina berada di peringkat 289 di Fortune 500 pada 2017 tertinggal dari Petronas Malaysia (184) dan PTT Thailand (192). Ketiganya merupakan BUMN. Singapura menempatkan Wilmar International di posisi 239. Tren terkini menunjukkan semakin banyak BUMN, terutama BUMN China yang masuk peringkat Fortune 500.
Menurut The Global5000.com, berdasarkan pendapatan di sektor migas seluruh dunia (2017), Pertamina di peringkat 30 (42,47 miliar dollar AS). Petronas peringkat 19 (57,50 miliar dollar AS). Sinopec (China) peringkat 1 (304,69 miliar dollar AS). Di bidang pertambangan, menurut www.mining.com, berdasarkan kapitalisasi pasar, PTBA di peringkat 93 (2,87 miliar dollar AS).
Di sektor perbankan, BRI pemilik aset perbankan terbesar di Indonesia (81,74 miliar dollar AS) menduduki peringkat 10 di ASEAN dan ke 87 di Asia pada 2017. Pada Forbes Global 2000, BRI, Mandiri, Telkom dan BNI masing-masing di peringkat 386, 494, 654 dan 924.
Merujuk pada pakar manajemen Michael E Porter dalam The Competitive Advantage of Nations, kekuatan suatu negara terletak pada korporasi-korporasi yang dimilikinya, dalam persaingan global, BUMN-BUMN Indonesia masih bak bonsai di antara raksasa korporasi multinasional (Multi National Corporation/MNC). Dengan kebijakan dan strategi yang tepat serta peran sebagai agen pembangunan, BUMN selayaknya mampu bersaing di pasar global. Misi ini harus diawali dengan memperkuat kedudukan di negeri sendiri.
Efektivitas daya saing lewat peng-"holding"-an
Daya saing korporasi dipengaruhi kekuatan modal dan ukuran korporasi dengan berlandaskan pada kebijakan bisnis yang tepat, efektivitas kepemimpinan, efisiensi biaya, dan pangsa pasar. Keseragaman kultur korporat dan strategi pertumbuhan anorganik merupakan kunci penting pendukung sukses.
Untuk menciptakan daya saing, sejumlah MNC melakukan merger dan akuisisi yang secara disiplin menerapkan keseragaman visi dan misi. Merger atau peng-holding-an antar-empat BUMN perbankan (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), apabila dilakukan, akan mengangkat mereka ke peringkat 4 (2017) di ASEAN dari peringkat 10, 11, 16 dan 37 setelah DBS, OCBC dan UOB, suatu indikasi menjanjikan tentang penciptaan kekuatan melalui akumulasi modal dan pasar yang akan memberi berbagai manfaat daya saing.
Pemerintah telah membentuk perusahaan holding pada sektor pupuk (2012), semen (dirintis sejak 1998, strategic holding terbentuk 2012) dan perkebunan (PTPN, mulai 2002, terbentuk 2014) yang akan disusul holding sektor keuangan, migas dan pertambangan. Pemerintah menilai BUMN-BUMN harus besar dan kompetitif. Mampukah kebijakan ini menciptakan landasan terbentuknya daya saing yang akan membawa mereka menjadi pelaku bisnis utama di sektor masing-masing, baik di dalam negeri maupun paling tidak di tingkat regional?
Sesuai kedudukannya, perusahaan holding dapat mengarahkan kebijakan strategis (peluasan pasar, pengangkatan pengurus dan investasi) yang akan menjadi pedoman dari masing-masing anak perusahaannya dan memiliki kewenangan yang dimiliki oleh pemegang saham umumnya. Dengan kata lain, perusahaan holding mungkin tidak lain dari kepanjangan tangan dari atau menggantikan peran Menteri BUMN. Operasional sehari-hari sepenuhnya di tangan manajemen masing-masing perusahaan anak
Kebijakan peng-holding-an bukanlah langkah mundur. Sinergi antar-BUMN sesuatu yang sangat mungkin dilakukan, seperti dalam pembagian wilayah pemasaran, kebijakan pembelian, riset dan pengembangan, pelatihan dan pendidikan, dan bahkan sumber daya bersama (shared resources). Contoh sinergi antar-BUMN antara lain program "BUMN Hadir untuk Negeri": pembangunan jalan tol Jakarta-Surabaya (Waskita Karya, Jasa Marga dan IIF), program wira usaha petani, program Mekar, Rumah Kreatif BUMN.
Dalam konteks holding, pemilihan pemimpin yang tepat di jajaran pengurus dan sistem pengawasan pada masing-masing perusahaaan holding akan sangat menentukan. Jika tidak, perubahan yang diharapkan mustahil tercapai dan semua akan berjalan business as usual. Pendekatan birokrasi tidak akan menciptakan BUMN yang besar, kuat, lincah, efisien yang siap bersaing di tingkat global. Kajian independen sejak dini tentang efektivitas strategi holding yang sudah berjalan akan sangat bermanfaat dan dapat menjadi pelajaran bagi holding BUMN berikutnya.
Perubahan pengawasan
Tata kelola (governance) adalah faktor kunci. Apabila selama ini disinyalir BUMN mungkin dapat menjadi obyek kepentingan parpol atau golongan, pembentukan holding mungkin akan mengurangi tekanan ini. Perubahan ini akan membuat DPR kehilangan hak "pengawasan" langsung terhadap anak perusahaan holding.
Untuk memberikan kepastian hukum, misalnya kapan BUMN memerlukan persetujuan dan kapan konsultasi, diperlukan harmonisasi antara UU tentang BUMN dan UU tentang Keuangan Negara. Perlu juga dikaji implikasi dan solusi tentang ada tidaknya peran BPK. Kepemilikan saham 90 persen anak-anak perusahaan di holding dan hanya 10 persen pemerintah (lewat Kementerian BUMN) seperti yang terjadi di PTPN Holding (PTPN I-PTPN XIV) memberikan mandat dan kewenangan mengelola yang lebih luas kepada direksi holding sekaligus mengurangi "peran" langsung Kementerian BUMN ke anak-anak perusahaan.
Pemerintah harus tetap berpijak pada visi bahwa peng-holdingan-an bukan hanya bertujuan mengakumulasi modal dan efisiensi, tetapi strategi mengakselerasi BUMN untuk menjadi pelaku bisnis global. Konsekuensi dari ambisi tersebut adalah kesiapan dan kesediaan semua pemangku kepentingan untuk mereplikasikan kunci keberhasilan MNC yaitu terlaksananya praktik bisnis yang terbaik.
Swasta sebagai mitra
Daya saing korporasi Indonesia dan pertumbuhan ekonomi nasional adalah buah dari kinerja BUMN dan sektor swasta, baik nasional maupun PMA. Untuk memperkuat daya saing BUMN, pemerintah dituntut untuk memberikan kesempatan yang sama kepada sektor swasta, terutama kepada perusahaan nasional. Kesempatan yang berimbang kepada sektor swasta akan mempercepat lahirnya pusat-pusat keunggulan nasional, baik melalui klaster, wilayah, sektor bisnis, bisnis pendukung dan lainnya.
Jika untuk sektor-sektor tertentu, kesempatan untuk memenangkan persaingan regional dan global ada pada sektor swasta, pemerintah selayaknya berbesar hati untuk menerimanya. Sektor swasta harus didudukan sebagai kompetitor sekaligus mitra berkolaborasi BUMN.
Persaingan tak lepas dari inovasi. Usaha patungan dengan sektor swasta juga akan membuka dimensi baru yang dapat mendorong inovasi. Jika BUMN berkesempatan lebih besar, dudukkanlah sebagai agen pembangunan yang berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Perubahan yang berkelanjutan berpijak pada perubahan institusi dan dan alas hukum yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar