Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menetapkan Jamaah Ansharut Daulah atau JAD sebagai organisasi teroris, membubarkan dan menetapkannya sebagai organisasi terlarang merupakan langkah sistemik dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme. Akan tetapi, proses persidangan terhadap JAD sebagai korporasi baru dimulai pada 24 Juli atau sesudah penangkapan lebih dari 200 orang terduga teroris: 242 orang terduga teroris, 21 di antaranya tewas karena melawan petugas.

Menurut Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, (Kompas, 17 Juli 2018), operasi pengawasan, penjejakan, pengejaran, dan penangkapan tersebut merupakan pengembangan pengusutan teror di Surabaya, Mei 2018, yang dilakukan JAD. Seluruh terduga teroris yang ditangkap dalam gelombang berikutnya di Riau dan Banten juga disebut polisi memiliki keterkaitan dengan JAD (Kompas, 30 Juli 2018).

Sebelum putusan pembubaran dan penetapan sebagai organisasi terlarang, JAD dan banyak organisasi baru ditetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai individu dan entitas ke dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT). Namun, daftar yang dipublikasikan oleh kepolisian dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lebih terfokus pada pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013. Tujuannya, agar semua pihak tidak melakukan transaksi keuangan kepada individu dan entitas itu, apalagi memberikan bantuan keuangan demi mendukung kegiatan terorisme.

Oleh karena banyak orang ditangkap sebelum putusan tersebut, ada celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh mereka, setidaknya sebagai bahan pembelaan. Kecuali yang terbukti terkait langsung dengan pelaku teror Surabaya atau serangan teroris sejenisnya, para terduga teroris lain juga dapat menggugat praperadilan karena ditangkap akibat terkait JAD dan organisasi semacamnya. Sebagian gugatan mungkin telah diantisipasi polisi, tetapi begitu ada satu kasus yang dikabulkan pengadilan, citra dan kredibilitas polisi akan merosot. Risiko itu terbukti muncul sesudah (alm) Siyono mendapat kekerasan dalam proses penangkapannya.

Hal berbeda akan terjadi apabila pengadilan lebih dulu menetapkan JAD sebagai organisasi teroris kemudian polisi menyelidiki, menangkap, dan menahan para anggota, simpatisan, atau siapa pun yang terlibat dengannya. Tindakan represif polisi atau aparat keamanan lain akan terlegitimasi oleh putusan pengadilan. Hal itu sesuai Pasal 12A Ayat (2) dan (3) UU No 5/2018 yang merevisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dapat menjerat anggota dan perekrut anggota, pendiri, pemimpin, pengurus, atau pengendali organisasi yang ditetapkan pengadilan sebagai organisasi terorisme.

Terlebih apabila putusan tersebut dipublikasikan secara luas, publik akan mendukung penegakan hukum, seperti memberi informasi kepada aparat atau ikut membujuk individu terduga teroris agar menyerahkan diri. Tokoh agama dan pemimpin publik juga akan aktif mengingatkan masyarakat agar tidak bergabung atau mendukung organisasi teroris dan terlarang.

Siasat mengubah nama

Masalah lain, siasat perubahan nama organisasi. Sebelum ada organisasi bernama JAD, muncul organisasi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Meski berbeda nama, organisasi-organisasi tersebut punya ideologi dan tujuan politik serupa, termasuk penggunaan taktik teror atas warga sipil seagama yang telah dianggap kafir. Hal serupa juga terjadi pada JAT, yang muncul sesudah pengadilan menetapkan Al Jamaah Al Islamiyah (JI) sebagai organisasi teroris dan terlarang.

Karena itu, sesudah JAD dibubarkan dan menjadi organisasi terlarang, mereka akan membuat organisasi dengan nama baru sepanjang secara teknis dan finansial memungkinkan. Terlebih dalam paparan pimpinan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada seminar pertahanan internasional, 11-12 Juli, terlihat banyak nama entitas terduga teroris yang jarang atau belum pernah disebut di media massa. Ini indikasi mereka aktif menciptakan organisasi dengan nama baru atau menjalin relasi dengan organisasi lain.

Sungguh pun demikian, proses hukum terhadap organisasi teroris tetap perlu dilanjutkan oleh pemerintah dan institusi penegak hukum dengan penyempurnaan strategi dan taktik. Misalnya, proses hukum terhadap organisasi perlu didahulukan daripada penangkapan ratusan anggotanya yang disebut terduga teroris. Terlebih bila persidangan organisasi teroris bisa berlangsung cepat dan efektif. Persidangan JAD, misalnya, dimulai 24 Juli dan diputus hakim pada 31 Juli.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengakselerasi pembuatan peraturan pelaksana UU No 5/2018. Misalnya, untuk pelaksanaan kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi dan deradikalisasi sebagai strategi pencegahan terorisme. Begitu pula pengorganisasian, penganggaran, dan pengembangan kapasitas SDM untuk pencegahan terorisme.

Aturan pelibatan TNI dan mekanisme kerjanya juga mendesak diselesaikan. Terlebih TNI punya kemampuan deteksi dan pencegahan dini sehingga mubazir jika tidak dioptimalkan. Pelibatan TNI semakin penting karena organisasi teroris lintas batas negara telah menjadi organisasi hibrida (campuran) dengan kejahatan penyelundupan barang dan orang, narkoba, perompakan, penyanderaan dan pembajakan, serta pencucian uang.

Seluruh strategi dan taktik peningkatan kapasitas pencegahan terorisme diperlukan untuk meminimalisasi korban, baik korban langsung maupun tidak langsung serangan teroris, termasuk korban dari keluarga terduga teroris yang tidak beruntung karena keterlibatan kepala/anggota keluarganya.