Cuaca ekstrem yang melanda beberapa wilayah di Indonesia pada musim hujan ini memaksa penduduknya hidup dalam ketidaknyamanan. Hujan deras disertai puting beliung, banjir, dan tanah longsor kerap terjadi.
Rusaknya lingkungan dijadikan alasan banyaknya bencana alam yang melanda. Okupasi hutan dan lahan hijau di Indonesia yang tidak terkendali menyisakan sedikit lahan hijau dengan tutupan vegetasi pohon sebagai pengendali air dan tanah saat musim hujan.
Padahal, lahan hijau dan hutan dibutuhkan agar Indonesia menjadi lebih beradab, selain memberi manfaat ekologis, ekonomi, sosial, budaya, dan estetika.
Kondisi seperti inilah yang seharusnya jadi isu kampanye para calon presiden dan calon wakil presiden. Sebab, kerusakan lingkungan akibat penyusutan luasan hutan dan lahan hijau di Indonesia menimbulkan ketidakseimbangan ekologis dan mempercepat proses pemanasan global.
Imbasnya ialah hilangnya kemampuan tanah mengikat sekaligus menahan air pada saat musim hujan, krisis sumber air tanah layak konsumsi, tanah longsor, banjir bandang, terbatasnya persediaan udara bersih, lingkungan semakin panas, hingga percepatan tingkat stres masyarakat.
UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 1 Ayat (2) menegaskan tentang upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Masyarakat perlu juga terus diingatkan terkait tanggap bencana. Memang tak mudah mewujudkannya, tetapi harus dilakukan kalau ingin Indonesia lebih beradab.
Mulailah berbenah
Ketika calon dinyatakan lolos persyaratan pilpres, isu utama yang sering disampaikan ialah memperbaiki ekonomi, meningkatkan kesejahteraan warga, memperluas lapangan kerja, tidak bergantung pada utang luar negeri, menaikkan upah pekerja, hingga memenuhi kebutuhan pokok.
Masalah tanggap bencana dan lingkungan belum mendapat tempat dalam kampanye. Padahal, hutan dan lahan hijau di Indonesia semakin berkurang karena adanya okupasi ataupun konversi lahan jadi perkebunan, bangunan, dan pertambangan.
Memang, isu ekonomi masih jadi variabel penting yang bisa menentukan kemenangan calon dalam pilpres. Meski begitu, isu lingkungan terkait tanggap bencana bisa jadi magnet penarik para pemilih ketika dikemas baik sehingga layak jual. Ini bisa menjadi sarana edukasi ke masyarakat untuk lebih paham akan pentingnya tanggap bencana.
Perlu langkah baru yang bisa ditawarkan para calon pemimpin itu untuk penataan kembali format tanggap bencana lingkungan hidup di Indonesia. Di sinilah peran inovasi dan teknologi dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Konsep yang bisa diadopsi terkait dengan isu lingkungan kaitannya dalam hal tanggap bencana ialah geotekstil. Konsep hasil riset peneliti ini diterapkan dengan membuat sebuah jalinan lembaran sintetis yang tipis, fleksibel, berpori yang digunakan untuk stabilisasi dan perbaikan tanah.
Pemanfaatan geotekstil merupakan cara modern dalam usaha untuk perkuatan tanah lunak yang memanfaatkan lahan kritis maupun lahan yang kurang tutupan vegetasi pohonnya untuk menahan dari terjadinya tanah longsor.
Konsep geotekstil digunakan pertama kali pada tahun 1950 berupa woven, anyaman. Salah satu peristiwa yang tercatat sejarah adalah penggunaannya dalam struktur pengairan di Florida, AS, tahun 1958.
Ini menjadi hal penting karena geotekstil yang banyak digunakan masih dominan dengan bahan tak ramah lingkungan, seperti serat gelas, polimer plastik, dan bahan sintetis lainnya. Penggunaan bahan-bahan itu cenderung tidak ramah lingkungan dan cukup mahal harganya.
Hal itu memacu berkembangnya inovasi teknologi dalam konsep geotekstil, baik untuk menekan biaya produksi, investasi, maupun menjadikan geotekstil lebih bersahabat terhadap lingkungan.
Inovasi dilakukan dengan penggantian material untuk geotekstil yang umumnya berbahan sintetis menjadi berbahan dasar alam dan ramah lingkungan. Material ramah lingkungan juga disebut biomaterial.
Inovasi dan integritas
Inovasi penggantian material geotekstil bisa dari serat alam non-kayu dan hasil ikutan pertanian seperti serat dari tandan kosong kelapa sawit, bambu, jerami padi, batang jagung, dan sabut kelapa. Serat tandan kosong kelapa sawit merupakan produk samping dari industri minyak sawit mentah, sedangkan sabut kelapa merupakan hasil ikutan dari industri kopra.
Sampai saat ini pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit dan sabut kelapa masih belum banyak menghasilkan produk dengan nilai ekonomi tinggi yang lebih tinggi. Padahal, tandan kosong kelapa sawit di Indonesia memiliki potensi 13,6 juta ton (asumsi 17 persen dari 80 juta ton tandan buah segar) yang bisa diproses menghasilkan serat.
Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, luas areal tanaman kelapa di Indonesia 2016 tercatat 3,6 juta hektar. Produksi kelapa tercatat 15,4 miliar butir/tahun, yang mampu menghasilkan 1,8 juta serat sabut dan 3,3 juta ton debu serat.
Adapun bambu merupakan tanaman yang mudah tumbuh cepat secara alami. Ada 60 jenis bambu di Indonesia dari sekitar 200 jenis bambu di Asia Tenggara.
Ini peluang besar dalam inovasi pemanfaatan serat alam berbasis industri sebagai material geotekstil yang ramah lingkungan dan murah. Proses teknologi pembuatan geotekstil berbasis serat alam ini cukup sederhana dan mudah dilakukan.
Sisi-sisi tebing yang rawan longsor, sempadan sungai, bendungan, lahan kritis, lahan bekas penebangan, dan daerah aliran sungai di beberapa wilayah Indonesia dapat diisi dengan geotekstil dari serat alam ini.
Nilai lain yang didapat ialah harga jual geotekstil tersebut relatif lebih murah ketimbang produk geotekstil dari bahan sintetis. Kelestarian lingkungan juga bisa diwujudkan karena bahan itu dengan mudah didaur ulang oleh alam.
Kerugian, kerusakan, dan korban akibat bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan hilangnya kesuburan tanah bisa diminimalkan.
Gagasan menjadikan pilpres sebagai sarana edukasi kepada masyarakat untuk paham akan tanggap bencana dan peduli lingkungan bisa digunakan para calon dalam meraih kemenangan.
Sinergi pilpres dengan inovasi teknologi dan lingkungan untuk membangun politik berkelanjutan dengan prinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Integritas para calon untuk mewujudkan pilpres peduli lingkungan dalam kaitannya dengan tanggap bencana jadi hal yang dinanti masyarakat. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tak akan laku karena para pemilih lebih rasional dalam pilpres.
Pada akhirnya, calon dengan kapasitas dan integritas yang cakap bisa jadi pemenang ketika mampu mengajak seluruh elemen bergerak bersama dalam langkah baru mewujudkan pilpres peduli tanggap bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar