REUTERS/OSMAN ORSAL

ILUSTRASI: Demonstran membawa poster wartawan yang paling menyita perhatian publik global adalah kasus pembunuhan Jamal Khashoggi.

Laporan sebuah organisasi nirlaba menunjukkan, dunia kini menjadi tempat yang lebih berbahaya bagi wartawan. Ancaman terhadap jurnalis pun meningkat.

Komite Perlindungan Wartawan (Committee to Protect Journalists/CPJ) menyatakan, tahun 2018, jumlah wartawan yang tewas di seluruh dunia bertambah hampir dua kali lipat ketimbang tahun lalu. Menurut organisasi internasional itu, sampai dengan 14 Desember 2018, ada 34 wartawan tewas karena terkait pekerjaan mereka. Adapun pada 2017 terjadi 18 pembunuhan terhadap wartawan.

Kisah kematian wartawan yang paling menyita perhatian publik global adalah kasus pembunuhan Jamal Khashoggi. Beberapa bulan lalu, jurnalis Arab Saudi yang memilih tinggal di Amerika Serikat untuk "menyelamatkan diri" itu tewas di Konsulat Arab Saudi, di Istanbul, Turki. Jenazahnya belum ditemukan dan terduga pelakunya adalah pejabat di Arab Saudi, yang memiliki hubungan dekat dengan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman. Dulu dikenal dekat kekuasaan, Khashoggi belakangan berseberangan dengan penguasa dan terus mengkiritiknya. Ia terakhir kali tercatat sebagai kolumnis The Washington Post.

Kisah Khashoggi dan laporan dari CPJ menegaskan besarnya tantangan yang dihadapi oleh pers dan wartawan sekarang ini. Situasi ini tampaknya disadari betul oleh majalah Time. Dalam edisi terbarunya, majalah itu menampilkan wartawan yang dinilai menjadi panutan dalam mempertahankan kebebasan pers sebagai Person of the Year.

Selain Khashoggi, mereka yang dipilih sebagai Person of the Year ialah dua wartawan Myanmar yang ditahan pemerintah negara itu, karena menulis kekerasan pada warga etnis Rohingya; para wartawan Capital Gazette, media di AS, yang kehilangan lima rekan mereka akibat diserang pria bersenjata di kantor redaksi; serta Maria Ressa, pendiri media Rappler di Filipina, yang dikenai proses hukum, diduga terkait kritiknya terhadap pemerintah.

Di tengah ancaman terhadap keselamatan wartawan yang tak berkurang, bahkan meningkat, jurnalis juga kini menghadapi kenyataan maraknya hoaks. Penyebabnya, kemajuan teknologi informatika dan komunikasi membuat siapa saja bisa bertindak seolah sebagai juru warta. Hoaks yang bertaburan di internet itu menyebabkan kebenaran faktual menjadi sulit dikenali. Mereka yang bekerja secara jujur dan penuh dedikasi untuk menemukan kebenaran faktual menjadi kian mengalami hambatan.

Hal itu pada akhirnya mengancam demokrasi karena demokrasi seharusnya dibangun di atas dialog antarwarga dengan berlandaskan argumen rasional dan memiliki kebenaran empiris. Bahkan, jangan-jangan, meningkatnya ancaman terhadap wartawan memiliki kaitan erat dengan situasi mutakhir yang ditandai maraknya hoaks.