Laporan internal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menulis, sebuah "kegagalan sistemik" pada organisasi itu menyebabkan kasus Rohingya tak kunjung teratasi. Kegagalan ini terdiri dari ketiadaan strategi menyeluruh dan minimnya dukungan Dewan Keamanan PBB terhadap penyelesaian masalah Rohingya.

Hingga kini, sekitar 700.000 pengungsi Rohingya berada di Bangladesh. Mereka meninggalkan Negara Bagian Rakhine, Myanmar, untuk menghindari kekerasan yang dilakukan petugas pada 2017. Myanmar membela diri, menyatakan aksi yang dilakukan petugas adalah respons terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kelompok milisi Rohingya.

Seperti diberitakan harian ini, Rabu kemarin, keterlibatan PBB di Myanmar berlangsung sejak 2010 sampai 2018. Dalam kurun waktu ini, Myanmar mulai membuka diri, menggelar pemilu, dan bergerak ke arah ekonomi terbuka. Namun, di tengah kecenderungan positif itu, terus terjadi perlakuan diskriminatif terhadap kaum minoritas, terutama Rohingya.

Ketika krisis di Rakhine kemudian pecah, pejabat senior PBB tak dapat menyetujui apakah akan menempuh pendekatan keras bersifat publik terhadap Myanmar atau melakukan diplomasi "diam-diam". Upaya penyelesaian konkret lewat Dewan Keamanan PBB juga terganjal. Lembaga beranggotakan 15 negara ini menghadapi jalan buntu karena pendukung Myanmar, yakni China dan Rusia, berseberangan dengan negara Barat dalam isu Rohingya.

Kegagalan PBB itu mengingatkan kita betapa penting peran lembaga internasional untuk mencegah krisis kemanusiaan, termasuk konflik bersenjata, agar tidak berlangsung berlarut-larut. Menilik sejarah, penyerbuan Jepang ke kawasan China (1931), perang Italia-Etiopia (1935), dan Perang Dunia II (1939) yang menyengsarakan begitu banyak orang terjadi karena lembaga dunia Liga Bangsa-Bangsa tak mampu menghasilkan keputusan efektif untuk mencegah invasi.

Belajar dari pengalaman Liga Bangsa-Bangsa itulah, didirikan PBB seusai Perang Dunia II. Maka, kemunculan laporan internal PBB mengenai penanganan kasus Rohingya merupakan sesuatu yang positif. Jika ditindaklanjuti secara baik, laporan itu bisa menjadi pendorong bagi perbaikan PBB agar tak mengulangi kekeliruan serupa. Hanya dengan cara ini, PBB dapat selalu menjaga perdamaian serta menghindari kekerasan yang mengancam begitu banyak orang.